3. Dia dan Dia

4.9K 410 7
                                    

"Sejatinya, tujuan Allah menciptakan hati hanyalah untuk menunjukan cinta kepada-Nya."
-Ibnu Taimiyah-

...

Satu minggu telah berlalu dan hari-hariku tak lagi sama. Semua berubah semenjak pria itu memilih orang lain. Sementara aku? Aku masih bertahan dalam patah hati yang terus saja mengusik. Mengapa patah hati ini masih saja menetap? Kapan ia pergi dan menghilang dalam hatiku?

Kak Ardan, kenapa selalu saja memberi harapan yang akhirnya hanya membuat jatuh. Sudah cukup aku menikmati luka ini, jangan tambah dengan harapan baru yang semu.

"Nadin! Ada kak Ardan!" Teriakan seseorang membuatku tersentak kaget. Benarkah pria itu ada di sini? Di mana aku harus sembunyi?

"Hah? Mana? di mana kak Ardan?" Dengan cepat, aku menelanjangi seisi kelas. Perasaan was-was mulai menyelinap dalam hatiku, tapi ternyata tak ada siapapun selain aku dan Putri.

"Hahaha ...." Aku memberi Putri tatapan maut karena telah membuat singa betina mengeluarkan asap. Aku benar-benar ketakutan seperti sedang berolahraga jantung dan gadis itu malah tertawa.

"Putri!" Aku bersiap-siap mengeluarkan api, gadis yang satu ini harus diberi pelajaran. Putri mengangkat kedua tangannya, seperti tersangka yang tertangkap basas.

"Ampun cantik jangan marah ya, nanti jeleknya hilang." Dasar Putri masih saja menggoda, untung stok kesabaranku masih penuh.

"Gak lucu." Aku kembali duduk dengan wajah kesal, membereskan beberapa buku dan memasukannya ke dalam tas.

"Abis dari tadi melamun terus, gak mau pulang gitu? Udah sore tahu." Aku terdiam mendengar pertanyaannya. Sekali aku mengembuskan napas kasar, lelah dengan diriku sendiri.

"Bentar lagi," jawabku sambil merilik sekilas arloji.

"Mau sampai kapan menghindar?" Pertanyaan Putri hanya bisa kujawab dengan gelengan. Aku juga tak tahu sampai kapan, yang jelas tidak untuk sekarang.

Semenjak kejadian itu aku selalu menghindar dan memperlambat kepulangan hanya karena tak ingin bertemu dengannya. Aku benar-benar belum siap, butuh waktu untuk bisa mengembalikan semua seperti semula.

Aku juga tak pernah mengangkat panggilan atau membuka pesan darinya. Aku sudah bertekad untuk melupakan semua rasa yang pernah ada untuknya. Sekarang tujuan utamaku adalah lulus dengan gelar sarjana terbaik dan memberikan sepenuh cinta hanya pada-Nya.

"Kalau gitu, aku pulang duluan. Urgent banget nih." Aku menyadari, apa yang aku lakukan telah banyak menyusahkan orang lain. Salah satunya, Putri. Gadis itu selalu setia menemaniku.

"Ada apa? Terus aku gak bisa nginep dong." Aku sedikit memanyunkan bibir karena tak bisa menginap di rumahnya.

"Adiknya ibu mau datang sore ini, Magrib juga udah pulang. Boleh 'kan?" Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Oh iya, kalau nanti ketemu Kak Ardan sama Mala jangan lupa sebut namaku tiga kali, oke!" lanjutnya.

"Mau apa emang?" Aku menatap heran, gadis ini selalu aneh.

"Enggak, cuma mau lihat Nadin sakit hati aja. Mereka pasti sangat serasi," ucapnya sok polos.

"Maksudnya? Sepertinya kamu memang musuhku? Put," ucapku dengan nada sedikit menekan. Tak habis pikir dengan apa yang ada di otaknya, gadis itu selalu saja membuatku naik darah.

"Aku bukan musuhmu, tapi orang yang kau cintai. Hahaha ...."

"Putri!" Gadis itu sudah pergi sebelum aku mengejarnya.

Kalau saja bisa, mungkin aku akan mengejarnya. Namun, aku masih terjebak di ruangan ini. Dasar Putri, lihat saja nanti.

"Nadin!"

"Apa lagi!" Aku benar-benar kesal saat ini. Tunggu dulu, siapa tadi yang memanggilku.

Suara itu? Aku sangat mengenal suara itu tanpa harus melihatnya. Kak Ardan? Kenapa ia datang ke sini?

"Aku mau bicara!" Suara bariton itu kembali terdengar, kali ini sangat tegas. Aku sangat merindukan suaranya, tapi sekarang rasa itu malah semakin memberikan kepedihan.

"Maaf Kak, aku harus pulang sekarang." Berjalan melewati sesosok bertubuh tegap itu, langkah kakiki terasa berat seperti ada paku yang menusuk. Aku tak berani melihat wajahnya, cukup dengan mendengar suara saja sudah membuatku hancur.

"Sampai kapan mau menghindar?" Pertanyaannya sungguh membuatku terpojokkan. Tak berniat membalasnya, aku mempercepat langkah dan melewati koridor dengan terburu-buru. Pria itu masih mengikutiku, bagaimana ini? Aku tak ingin bicara dengannya.

"Nadin, tunggu!"

Aku berlari hingga sampai di tempat parkir. Sebelum kak Ardan melihat, aku harus segera sembunyi. Kemana aku harus menghindar?

Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya aku berhasil masuk. Masih mengamati gerak-gerik kak Ardan dari luar, semoga ia tak melihatku bersembunyi di sini. Aku tak tahu siapa pemilik mobilnya yang jelas sekarang hanya ini cara agar bisa bersembunyi dari kak Ardan. Jangan sampai pemiliknya masuk, bisa-bisa aku dihukum mati.

"Maaf, anda siapa?" Aku mendadak mati kutu, tubuhku menegang. Aku ketahuan, bagaiamana ini? Jangan sampai diberi hukuman mati, aku masih mau hidup.

Satu Doaku, Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang