"Angin tidak berembus untuk menggoyangkan pepohonan, melainkan menguji kekuatan akarnya."
-Ali bin Abi Thalib-...
Lembaran langit menampakkan birunya yang membentang, hanya menyisakan sedikit gumpalan memutih. Aku kembali melirik arloji setelah melakukan kewajiban sebagai seorang muslim.
Aku menatap penjuru yang tersisa beberapa orang. Dia, ada di sini? Dengan cepat kualihkan pandangan dan bangkit dari duduk, sebelum dia benar-benar melihatku.
"Nadin, tunggu!" Aku mempercepat langkah, berpura-pura tak mendengar suara itu.
Untuk sekarang aku hanya ingin menjauh, kejadian tadi siang belum sepenuhnya membuatku tegar. Aku hanya takut menitikkan air mata kembali. Namun, baru beberapa langkah seseorang mencekal lenganku. Mau tak mau aku harus berbalik dan menghadapinya.
"Eh, Kak Mala. Ada apa?" tanyaku disertai senyum canggung. Wanita itu membalas dengan senyum yang hangat.
"Bisa kita bicara sebentar?" Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Siap tidak siap hari ini akan tiba, meskipun nyatanya tetap aku yang kalah.
Aku mengikuti langkahnya dari belakang, dan di sinilah sekarang. Teras masjid. Cukup lama keheningan tercipta, hingga akhirnya suara lembut itu kembali terdengar.
"Gimana kabar kamu, Nadin?" Aku tersenyum singkat. Kak Mala memang tak pernah berubah, hanya aku yang tak pernah melihat kebaikannya.
"Alhamdulillah, seperti yang terlihat." Keneningan kembali tercipta. Aku tak berniat menanyakan kabarnya, sudah kutemukan jawaban ketika melihatnya bersama Kak Ardan.
"Gimana hubungan kamu dengan Mas Ardan sekarang?" Aku menghentikan tangan yang tengah mengikat sepatu. Ikut menatapnya yang juga tengah menatapku.
"Baik." Lagi-lagi aku menampilkan senyum yang dipaksakan. Kemudian menunduk lemah. Mengapa hari ini aku lebih banyak tersenyum?
"Lalu gimana perasaanmu, apakah baik-baik saja?" Aku membeku seketika, rasanya tenggorokanku tercekat. Aku tak berucap dan itu sudah menjadi jawaban.
"Aku tahu semuanya, Nadin." Kak Mala mengembuskan napas berat, nada bicaranya mulai melemah dan aku tahu saat ini semua akan berakhir.
"Apa maksudnya? Ini tidak ...." Aku mencoba menyangkal, tapi lagi-lagi ia berucap.
"Dari caramu menatapnya, dan ketika kamu menangis. Aku menyadari sesuatu, ada yang telah berubah." Aku diam, tak ingin menyela apa yang diucapkannya.
"Dan ketika melihat sorot sendu Mas Ardan, aku menemukan jawabannya. Aku terlambat menyadari satu hal. Seharusnya saat pertama bertemu denganmu, aku ... aku--" Wanita itu tersedu-sedu, aku benar-benar tak kuat melihatnya menangis. Aku memeluknya erat, tak mampu untuk kutahan lagi.
Detik itu juga, semua yang mengganjal dalam hatiku luruh. Aku telah keliru, tak seharusnya aku membenci dia yang bahkan tak bersalah. Ya Allah, aku telah membuat seseorang menangis.
"Maaf, Nadin. Aku yang salah. Seharusnya aku tak pernah hadir di antara kalian berdua." Aku menggeleng, memegang bahunya erat. Aku tak mampu berkata, terlalu lemah.
Dia terlalu baik untuk kusakiti, apa yang selama ini telah kulakukan? Mengapa aku bisa bentindak sebodoh ini. Aku merasakan dia memelukku begitu erat, saat itu aku sadar. Aku terlalu egois.
"Nadin, kembalilah. Biar aku yang pergi," ucapnya ketika pelukan kami terlepas. Sekali lagi aku menggelang lemah. Kali ini, tak akan kubiarkan dia menyerah.
"Tidak, jangan pernah pergi." Aku memegang tangannya, mencoba memperbaiki semuanya. Aku tersenyum, benar-benar senyum.
"Aku seharusnya memang tak pernah ada di sini."
"Jangan pergi dan membuatnya kecewa. Dia mencintaimu." Sekaki lagi aku meyakinkannya akan sebuah kebenaran dan menyadarkanku dari kenyataan.
"Bisakah kita menjadi teman?" Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya. Namun, sedetik kemudian aku kembali tersenyum dan telah kutemukan jawabannya.
"Tentu. Bukankah kita memang teman?" Binarnya membuatku semakin merasa bersalah, ia kembali memelukku. Mungkin, memang ini cara Allah untuk membuat semuanya lebih mudah.
Cukup lama kami berpelukan, sebelum akhirnya ia kembali berusara. Kak Mala adalah orang yang baik, hanya mungkin aku terlalu menutup kehadirannya.
"Berikan satu kesempatan lagi untuknya. Siapapun yang dia pilih, aku ikhlas." Aku kembali bungkam. Benarkah aku bisa memberinya kesempatan, rasanya tak sanggup meski hanya bertatap wajah. Apalagi melihat kebencian di matanya.
"Aku pamit, Nadin. Syukron untuk waktunya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Wanita itu telah menghilang dari pandangan, tersisa aku yang berdiam tanpa tujuan. Aku tak lagi mampu berkata, sesak dan perih membuatku menjadi lemah.
Kak Ardan dengan kebencian dan raut sendu di matanya. Kak Mala dengan senyum hangat dalam kesedihannya. Mereka telalu baik untuk kukecewakan.
Tak ada yang bisa kulakukan selain meremas erat gamis dan memeluk lutut. Aku benar-benar telah dibutakan oleh keegoisan, menganggap bahwa hanya aku pihak yang tersakiti di sini. Ya Allah, telah banyak hati yang patah karena ulahku. Aku telah jahat, dan hanya memikirkan diri sendiri.
"Angin tidak berembus untuk menggoyangkan pepohonan, melainkan menguji kekuatan akarnya." Suara bariton seseorang membuatku kalang-kabut. Tubuhku panas seketika, mana mungkin aku tak mengenal suara itu. Benar saja, dia berdiri tepat beberapa meter di depanku.
"Menangislah, aku akan menunggu." Ia masih di sana, seperti patung. Apa mentari di atas sana tak membuatnya kepanasan, padahal ini sangat terik.
"Mengapa Kak Fatih ada di sini?" Setelah menghapus cairan bening dan menormalkan suara, aku mulai bertanya.
"Menurutmu?" Pria itu balik bertanya, dan seketika aku teringat seseorang. Tak salah lagi, pasti ini ulah Putri. Apa lagi yang direncanakan gadis itu.
"Jangan lupakan sapu tanganmu jika kau masih sering menangis," ucapnya sembari memberikan kain putih yang persis sama dengan waktu itu. Perkataannya memang mulai melembut, tapi aku jadi berpikir apa dia mempunyai banyak sapu tangan untuk diberikan kapada wanita lain?
"Ini yang terakhir, jangan dihilangkan karena aku tak bisa memberikannya lagi jika kau menangis." Aku sedikit terkejut, apa pria ini bisa membaca pikiran seseorang? Namun, hari ini dia berbeda, lebih manis dan aku menyukainya. Eh, apa yang kukatakan barusan!
"Jika tidak mau, aku bisa memberikannya pada yang lain." Aku mengambilnya dengan cepat ketika suara itu berubah datar.
"Ihh, Kak Fatih ngeselin! Baru aja bicara manis eh sekarang datar lagi." Pria itu tersenyum dan sukses membuatku mati kutu. Apa yang kukatakan tadi? Oh, tidak. Mau ditaruh di mana mukaku.
Aku menutup wajah rapat-rapat karena malu, bisa-bisanya keceplosan.
"Kalau mau dimanisin, harus siap dihalalin." Aku melotot mendengar perkataannya, apa maksudnya coba? Kak Fatih tertawa dan itu membuatku serangan jantung mendadak. Kok makin manis, sih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Doaku, Cinta [Selesai]
Spiritual"Aku mau mengkhitbah Mala." Jatungku berdebar hebat mendengar kalimat menyesakkan itu. Ada sesuatu yang menyayat hati membuat rasanya semakin berdesir perih. Hanya dengan beberapa kata, hatiku hancur lebur. Aku yang mencintainya dalam diam harus men...