19. Memilihmu, Satu Titiknya

3.3K 287 3
                                    

"Setiap hukuman dari Allah adalah murni keadilan dan setiap nikmat dari-Nya adalah murni kasih sayang."
-Ibnu Taimiyah-

...

"Maafin aku, Put." Aku menatap nanar punggung yang tengah membelakangi. Satu tetes kembali jatuh bersamaan dengan desir yang menyesakkan.

Aku mengalihkan pandangan ke bawah, lantai putih yang sudah tak asing lagi. Rasa sakit kembali menyeruak melihat reaksi Putri. Apa ia akan ikut membenciku seperti Kak Fatih, aku tak tahu.

Memang benar, semuanya telah kuceritakan pada Putri. Tentang Kak Ardan dan Kak Fatih yang melamar dalam waktu bersamaan. Aku sudah tak bisa menahannya sendiri, kisah ini terlalu sulit.

Putri harus tahu semuanya, sebelum terlambat. Telah banyak hati yang kusakiti, aku tak ingin menabahnya lagi.

"Kenapa kamu gak bilang semuanya dari awal, Nadin!" Suaranya terdengar penuh amarah. Sekali lagi aku menatapnya, wanita itu enggan berbalik bahkan sedikit pun tak menatapku.

Aku bangkit dan mendekatinya, tapi lagi-lagi tangannya mengisyaratkan untuk menjauh. Apakah semuanya akan berakhir seperti ini? Aku benar-benar tak sanggup kehilangannya.

"Maaf, aku salah. Aku gak tahu kalau akhirnya bakal serumit ini. Sedikit pun, aku gak pernah berniat nyakitin Kak Fatih." Setetes demi setetes mulai berjatuhan, aku tak lagi dapat mencegah jatuhnya. Aku telah jahat, Putri tak mungkin bisa memaafkan kesalahanku.

"Tapi sekarang kamu senang 'kan? Apa yang kamu impikan jadi kenyataan," ucap sinisnya. Aku dapat merasakan sesak di setiap katannya. Apa aku senang atas lamaran itu? Jelas tidak. Semua tak semudah yang terlihat, bagaimana mungkin aku bahagia setelah banyak hati yang terluka.

"Put, percaya sama aku. Ini gak seperti yang kamu pikirkan." Lagi-lagi Putri menggeleng, aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Aku memang bodoh, tapi bukan untuk menyakitinya. Kenapa semua menjadi semakin pelik?

"Kamu egois, Nadin." Suara tampak melemah, tubuhnya bergetar. Wanita itu menangis dan semua karena ulahku.

"Aku tahu aku salah. Maafin aku, Put." Aku sudah tak mampu lagi menahan tangis, semua luruh bersamaan dengan hatiku yang hancur berkali lipat.

Semua tak akan terjadi jika aku tak memulainya, selamanya kebohongan tetap akan menjadi kesalahan. Hari ini, aku harus menelan semuanya.

"Bukan aku yang harusnya mendapat maaf itu, tapi Kak Fatih." Suara seraknya membuat hatiku dihantam batu besar. Ingin sekali aku memeluknya, tapi semua sudah tak mungkin lagi. Aku tak punya hak untuk itu, Putri sudah pasti membenciku.

"Aku sudah hubungi Kak Fatih berulang kali, tapi dia gak angkat teleponnya. Aku gak tahu lagi harus berbuat apa lagi." Aku sudah memcobanya, tapi Kak Fatih terlanjur kecewa. Aku tak mungkin bisa menemuinya, tak sanggup melihat sendu dari matanya.

"Itu artinya jangan pernah ganggu hidup Kak Fatih lagi, Nadin!" Bagai dihantam ribuan jarum, apa itu artinya Putri ...? Tidak, aku tak akan membiarkan semuanya berakhir, bahkan Putri sekalipun.

"A--apa maksud kamu, Put?" Satu langkahku terhenti ketika suaranya menjadi peledak atas hatiku.

"Seharusnya aku tak pernah menjodohkan kalian. Semua salahku!" Putri kembali mendudukan diri pada seprai putihnya. Tepat di sebelahku. Kedua tangannya digunakan untuk menutupi wajahnya, suara itu terisak pelan.

"Put, aku mohon--" Sudah cukup. Aku menghampirinya, tak peduli bagaimanapun jadinya.

"Jangan mendekat!" Aku tak mengindahkan bentakannya. Meski beberapa kali ia memberontak, aku tak peduli. Aku benar-benar membutuhkan pelukannya saat ini.

"Semua telah berakhir, Nadin. Gelas yang pecah tidak akan kembali utuh." Putri tak lagi melakukan perlawanan, suaranya terdengar lirih dan tangisku tumpah. Untuk beberapa menit saja biarkan semua seperti ini, aku sangat membutuhkannya.

"Bantu aku mengembalikan semuanya, Put." Aku menatapnya penuh harap, tapi lagi-lagi Putri menggeleng.

"Cukup, Nadin! Jauhi Kak Fatih dan jangan pernah hadir dalam hidupnya lagi." Aku terhempas ke belakang ketika Putri melepas pelukannya. Apa yang diucapkannya lagi dan lagi menyadarkanku dalam kenyataan pahit ini.

Perkataannya terlalu sulit untuk turuti, aku tak mungkin mampu meninggalkannya. Seberapa kuat pun aku mencoba, aku tetap tak bisa.

"Jangan pernah buat hatinya kembali patah." Putri kembali memunggungiku, tapi dapat kulihat tetesnya jatuh. Aku menggeleng meski Putri tak melihatnya. Sekali pun aku tak berniat menyakitinya.

"Putri ...."

"Apa lagi, belum cukupkah kamu menyakitinya? Sekarang aku tanya sama kamu. Apa kamu menerima lamaran Kak Ardan!" Aku bungkam, pertanyaannya dengan telak menamparku.

Aku diam sejenak, Putri benar. Bagaimana mungkin aku ingin memperbaiki semuanya jika lamaran waktu itu saja belum kuputuskan.

Apa aku telah menerima Kak Ardan atau menolaknya?

Dalam beberapa detik aku memejamkan mata, mempersiapkan jawabannya. Apapun yang terjadi aku siap, hatiku telah memilih apa yang kucari.

Aku harus mempertanggungjawabkan apa yang telah kulakukan. Mungkin ini hukuman Allah, kenapa aku patah karena aku yang mematahkannya sendiri. Bismillah, ini yang terbaik.

"Aku sudah tahu jawabannya." Aku terkejut mendengar suaranya yang kembali penuh amarah, bukan itu maksudnya. Aku menggeleng cepat, menyakinkan Putri bahwa semua tak seperti yang ada di pikirannya.

"Putri, aku--" Belum sempat aku meluruskan semua, Putri telah lebih dulu menyangkalnya.

"Aku benar-benar kecewa padamu, Nadin." Putri bangkit, tanpa kata lagi ia pergi. Langkahnya menjauh bersamaan dengan tangisku yang membuncah. Apa yang Putri ucapkan membuatku tak lagi mempunyai harapan, hatiku hancur lebur.

Kepercayaan Putri telah hilang dan itu membuat arahku kembali buram. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan sekarang.

"Putri, tunggu!" Tidak, Putri telah salah paham. Aku harus mengejarnya, sebelum semuanya benar-benar terlambat. Aku ingin memberitahunya bahwa aku telah memilih kemana hatiku akan menetap. Kak Fatih, bukan Kak Ardan.

Benar, aku memilihnya. Sejak semalaman, aku telah menetapkan pilihanku. Aku telah beristikharah dan bukan Kak Ardan orang yang tepat, tapi dia.

Aku bangkit, mencari-cari di mana keberadaannya. Semoga Putri belum jauh. Namun, sebuah foto yang berada tepat di bawah pintu membuatku terhenti. Sepertinya terjatuh saat Putri berlari.

Aku dibuat sedikit terkejut dengan gambarnya, tapi aku tak bisa menyimpulkan sebelum mendengar langsung dari mulut Putri. Mungkin saja hanya foto biasa, tidak lebih.

Aku harus berpikir positif, cukup untuk satu kesalahan. Jangan menambahnya menjadi rumit.

...

Satu Doaku, Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang