8. Malam Pertemuan

4.3K 340 3
                                    

"Tidak ada cinta yang dimiliki seorang yang selalu memberinya kebahagiaan sebagai balasan, dia pasti juga akan mengalami penderitaan karena itu, kecuali cinta yang ditujukan untuk Allah."
-Ibnu Taimiyah-

...

Langit malam mengintip lewat jendela yang terbuka. Semilir lembut tak mampu menghapus rasa yang bergejolak hebat. Ini semua ulah Putri, pasalnya gadis itu telah membujuk sepupunya untuk bertemu.

Entah mengapa aku segugup ini, padahal hanya bertaaruf bukan menikah. Namun, hatiku berkata lain. Ada desiran menjalar hingga panas menerpa wajah. Membayangkannya saja membuatku merinding. Bagaimanapun juga, jika taaruf berjalan lancar, maka semua akan berubah.

Astagfirullah. Aku tak boleh seperti ini. Jika pria itu bukan jodohku, maka semua akan kembali jatuh. Sekarang, tak boleh ada harapan sebelum takdir Allah memang menyatukan.

Fokusku pada satu titik, menatap pantulan sesosok wanita yang ada di hadapan. Sosok itu adalah aku dari cermin rias. Tak ada riasan yang berlebihan, hanya gamis berwarna biru dengan kerudung senada dan polesan bedak tipis.

"Nadin!" Persis sama, gadis itu pasti berteriak seolah aku ini tuli.

"Gimana udah siap?" Mengangguk tanda aku memang sudah sangat siap. Semoga jalan ini adalah yang terbaik, lagi pula hanya berkenalan tidak lebih.

Putri menggenggam tangan dan memutar-mutar tubuhku. Dasar, gadis ini selalu saja.

"Ehh tunggu. Masa cuma gini? Sini aku dandanin biar cantik." Gadis itu kembali mendudukanku di kursi rias. Tangannya mengambil alih alat make up yang tak kuhapal namanya.

"Gak perlu, Put." Aku memengan tangannya agar ia tak membuat wajahku mirip badut.

"Sedikit aja, aku sihir biar jadi Cinderella."

"Cukup, Put. Aku gak mau berlebihan, nanti jatuhnya ke tabarruj." Mengambil semua alat rias itu dan mengembalikannya di meja. Putri tampak kecewa, tapi sedetik kemudian ia kembali tersenyum.

"Iya juga, ya udah kamu pake ini aja." Sepertinya, lampu menyala berada di atas kepalanya. Ia dengan cepat mengambil sesuatu yang berada di laci meja rias. Sebuah kotak kecil berwarna hitam diberikannya padaku.

"Apa ini? Bom!"

"Iya, bom atom penumbuh cinta." Melotot mendengar jawaban gadis itu, aneh-aneh saja Putri.

Aku segera membuka kotak hitam itu, tampaklah bros kecil berbentuk bunga mawar berwarna perak.

"Perfect to night," ucap Putri memuja setelah aku menempelkannya di dekat bahu sebelah kiri.

"Apa sih, Put."

"Serius, gak percaya? Coba sini." Putri menarik dan membawaku menuju cermin, entah untuk apa lagi. Aku hanya mampu menuruti permintaan gadis ini.

"Wahai cermin ajaib, siapakah yang paling cantik?" Suara berat dibuat-buat mulai terdengar. Ulah siapa lagi kalau bukan Putri.

"Nadin, Nadin." Suara itu berubah menjadi sangat kecil seolah ada dua orang yang sedang berinteraksi. Ia menoel daguku dan kemudian menyemburkan tawa.

"Udah, Put. Jangan bercanda terus sih. Pergi sekarang ayo!"

"Ciee tuh muka udah kayak kepiting rebus. Gugup ya?"

"Tenang, sepupuku gak gigit. Paling di mutilasi," lanjutnya diselingi kedipan mata.

Aku mulai kesal dengan Putri. Tanpa banyak bicara, aku mengambil proposal yang sudah kubuat kemudian keluar dari kamar lebih dulu. Bisa makin naik darah di sana.

"Nadin, tunggu."

Setelah berpamitan dengan ibunya Putri di ruang tengah, aku segera memesan taksi online.

Menempuh perjalanan beberapa menit menggunakan taksi, kami tiba di kedai kopi. Dingin malam menusuk tubuh, menjalar membalut kulit. Namun, hatiku tetap terasa panas dan tak karuan.

Putri berjalan di depanku. Pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tempat ini. Pengunjung lumayan ramai dan kedainya sangat klasik. Kami memilih tempat duduk yang berada di sebelah kanan, sepertinya sepupu Putri belum datang. Untung saja, setidaknya bisa bernapas lega dalam beberapa menit kedepan.

"Nadin, tunggu bentar ya. Kebelet nyari Lee Min Ho nih, semoga aja ketemu di toilet lagi." Baru saja sampai di meja, gadis itu sudah ingin pergi lagi.

Pelayan membawakan dua cangkir espresso, aromanya membuatku tergiur. Dengan sopan ia menyapa kami, aku hanya tersenyum menanggapinya. Ia kembali pergi setelah tugasnya selesai.

"Terus yang hafid 30 juz mau dikemanain?" Mencoba mencairkan hati dan mengikuti alur Putri. Gadis itu nyengir tak berdosa sambil meminum sedikit kopinya.

"Dibuang ke hatiku. Udah ya gak kuat nih. Bentar lagi dia ke sini, udah aku kasih tahu meja kita." Putri beranjak dari duduknya.

"Semoga aja dia nyasar. Jangan lama-lama ya, Put!"

"Enggak, paling seribu tahun. Nyasar ke hatimu." Gadis itu berlari dengan cepat hingga kini tak terlihat batang hidungnya.

Aku kembali sendiri, menikmati malam dengan hati yang terus berdebar-debar. Nertaku menelanjangi seisi kedai, mengalihkan rasa yang kian membuncah. Bismillah, semoga jalan yang kuambil meski dengan terpaksa ini adalah sebuah kebaikan.

Mengalihkan padangan pada secangkir espresso hangat. Memadukan rasa manis di dalam lidah, membuatku sedikit tenang.

"Assalamualaikum."

Saking terkejut karena suara bariton seseorang, hingga membuatku tersedak. Segera kuraih tisu dan mengelap bibir. Aku tak berani menoleh ke belakang, suasana menjadi sangat horor melebihi film Susana beranak dalam kubur.

...

Tabarruj : Wanita menampakkan kecantikannya di depan lelaki yang bukan mahram.
Keterangan dari Abu Ubaidah

Satu Doaku, Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang