16. Dia, Sahabatmu!

3.4K 282 8
                                    

"Pada sebuah tangisan lagi, dia adalah telaga warna. Lalu apa yang kau takutkan jika beningnya masih setia menjadi sandaran. Bukankah itu artinya persahabatan?"

...

Ruangan putih beraroma obat-obatan tercium dengan kentara. Aku mendaratkan tubuh di kusri dekat ranjang, menatap gadis yang juga tengah duduk di depanku. Sementara pria itu tak bergeming, berdiri beberapa meter di sana.

"Kamu beneran gapapa 'kan?" Putri mengembuskan napas lelah mendengar pertanyaanku yang entah sudah keberapa kali. Aku kembali menatap tangannya yang dibaluti perban putih dan keningnya ditempeli plester coklat.

"Tahu deh, aku cape jawabnnya. Gak percayaan banget sih dibilangin." Aku tersenyum mendengar nada kesal dari mulutnya.

"Aku takut sahabatku yang bawel ini kenapa-kenapa." Aku kembali memeluk erat, tak ingin melepasnya. Gadis itu sudah membuatku khawatir setengah mati.

"Awww, sakit! Tangan incess gak bisa gerak." Putri merusak suasana saja. Dengan cepat aku melepaskan pelukan. Putri mengelus-elus tangannya sembari menuip pelan.

"Ah, maaf-maaf gak sengaja. Mana yang sakit?" Putri tertawa karena berhasil mengerjaiku. Aku yang baru saja menyadari, memukul pelan tangannya saking kesal.

"Nadin, sakit! Pokonya gak mau tahu, kamu harus tanggung jawab." Aku berpura-pura tak mendengar. Putri mengerucutkan bibir karena merasa diacuhkan, siapa suruh membuatku kesal.

"Eh, tanggung jawab apa? Salah sendiri sih jahilin aku terus." Putri tersenyum polos mendengar perkataanku. Memangnya ada lucu?

"Ya abis aku dari tadi bosen nunggu pengantin baru gak datang-datang," sindirnya keras. Aku memperlihatkan tatap tajam padanya.

"Apaan sih, Put. Pengantin baru dari mana, halal aja belum." Aku melihat Putri mengedip-ngedipkan mata, apa aku salah bicara?

"Ciee yang mau cepet-cepet dihalalin." Aku semakin ingin membungkam mulutnya. Gadis itu masih bisa bercanda di saat yang seperti ini.

Aku menggelitiki tubuh Putri, biar dia kapok. Namun, suara deheman seseorang menghentikannya.

"Saya keluar sebentar, mencari makanan. Sebentar lagi Ummi Nabila sama Ummi Ais datang ke sini." Suasana mendadak hening, tak ada lagi yang berbicara. Aku pun tak tahu harus berbuat apa sekarang.

"Put, mau pesen makan apa?" Suara bariton itu kembali terdengar. Aku merasakan sesuatu yang aneh, ada apa dengan hatiku?

"Bubur ayam aja, tapi jangan pake gula. Soalnya aku udah manis," ucap Putri dengan bangga. Apa aku gak salah dengar, gadis itu benar-benar aneh.

"Bukannya bubur emang gak pake gula, tapi kecap," ucapku dengan kesal.

"Ya, pokonya gitu deh." Putri nyengir kuda sementara pria itu hanya tersenyum. Sekali lagi aku merasakan sesak. Cukup, Nadin. Masa kamu cemburu sama sahabat sendiri, sadar Nadin! Aku kembali mengingatkan hatiku.

"Kacang?" Kak Fatih kembali bertanya dan sepertinya membuat Putri mengingat sesuatu.

"Oh iya, buburnya jangan pake kacang soalnya aku gak suka dikacangin." Sekali lagi hatiku terasa panas. Mengapa aku harus merasakan ini pada Putri dan Kak Fatih.

"Nadin, kamu mau titip makanan juga?" Aku sedikit terlejut dengan pertanyaannya yang tiba-tiba.

"Ah, enggak usah. Nadin, masih kenyang," ucapku disertai senyum canggung. Pria itu balik tersenyum, aku bingung kenapa sikapnya selalu berubah-ubah.

"Kalau gitu saya pergi sekarang, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Kak Fatih telah menghilang di balik pintu menyisakan aku dan Putri dengan pikiran masing-masing. Aku masih mencoba menyadarkan hati, bahwa apa yang kulakukan adalah salah. Putri, sahabatku. Aku harus bisa mempercayainya. Lagi pula, Kak Fatih adalah adik dari ibunya Putri.

"Oh iya, Put. Tadi kamu minta aku ke kedai itu mau bicara apa?" Aku kembali teringat akan tujuanku sekarang. Sekali lagi, Putri tersenyum dengan sedikit menaikturunkan alisnya.

"Ah itu ... Aku bingung aja. Kenapa semut suka gula, gak suka sama aku aja. Padahal aku jauh lebih manis." Aku menepuk jidat mendengar pertanyaan konyol Putri. Bagaimana bisa gadis itu ingin menemuiku hanya untuk bertanya hal itu.

"Kamu beneran gapapa 'kan? Kok aku gak yakin sih." Aku menempelkan tanganku di kening Putri, siapa tahu keanehan gadis itu akibat benturan di kepalanya.

"Aku gapapa. Memang si pangeran kodok bilang apa sih sampai calon istrinya gak percayaan banget sama aku," jawabnya sok dramatis.

"Apaan sih, Put." Aku memalingkan muka mendengar perkataan Putri yang sedikit menggelikan. Lagi-lagi, gadis itu tertawa.

"Nadin," panggilnya setelah beberapa lama. Aku masih enggan menatapnya karena kesal.

"Apa sih, Put." Setelah aku mengucapkan kata itu, tak ada lagi suara terdengar. Apa Putri marah karena aku mengacuhkannya atau dia sudah tertidur.

Tak lama setelah itu, terdengar Putri yang mengembuskan napas pelan. Aku bersyukur, ternyata gadis itu hanya diam sebentar mungkin lelah.

"Kemarin ... Kak Ardan nemuin aku." Seketika aku membeku, merasakan denyut yang membuatku sakit. Untuk apa Kak Ardan datang, apa ini ada hubungannya denganku?

"Kamu serius?" Aku menatap matanya, berharap Putri hanya bercanda lagi. Namun, gadis itu kembali mengembuskan napas pelan dan membuatku khawatir.

"Serius banget. Kak Ardan nemuin aku dalam mimpi, hahaha ...." Putri tertawa karena sekali lagi berhasil membuatku khawatir. Aku benar-benar kesal padanya, bagaimana bisa ini dijadikan lelucon.

"Kamu jahat, Putri. Kenapa kamu lakuin ini sama aku." Aku tak tahu kenapa tiba-tiba saja menangis. Putri memelukku erat dan tak henti-hentinya minta maaf, sementara aku masih menangis.

Aku tak mengerti pada diriku saat ini. Ini hanya masalah sepele dan aku dengan mudannya menjadi lemah. Kenapa aku menangis, apa karena Kak Ardan. Kurasa bukan itu. Apa mungkin ada hubungannya dengan kecemburuanku pada Putri, tapi mengapa bisa?

Tangisku semakin tak bisa dibendung ketika mendengar suara serak milik Putri, sepertinya gadis itu juga ikut menangis. Aku semakin merasa bersalah padanya, kenapa jadi seperti ini.

Dia sahabatku! Kenapa aku seperti ini? Stop, Nadin. Jangan cemburu pada sahabatmu sendiri.

Satu Doaku, Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang