31. Pertemuan Terakhir

3.8K 294 11
                                    

"Ada luka yang tak terlihat, tapi mampu banjirkan netra. Ada pula luka yang tampak, tapi hanya terasa perih semata."

...

Bagi seseorang yang tengah menata hati, perpindahan waktu menjadi sepintas kilat dalam kedipan. Terlalu cepat disadari bahkan perihal rasa yang masih tidak menemui jalannya. Ternyata proses untuk sampai di tahap ikhlas yang sebenar-benarnya begitu sulit.

Beda lagi dengan seseorang yang berada dalam proses menunggu, perputaran waktu seakan berada pada seribu tahun. Begitu lambat, hingga letupan di hati tiada henti. Menanti saat-saat yang tak kunjung di depan mata.

Perihal menata hati dan menunggu adalah dua hal yang bertolak belakang. Aku tengah merasakan salah satunya dengan hanya melibatkan Allah, tanpa mencampurkan harapan pada manusia.

Lalu rasaku? Bagaimana jika rasa itu masih hadir hingga detik harinya telah berada di pelupuk? Aku tidak tahu karena bagaimanapun nantinya kuserahkan semua pada Ilahi Rabbi.

Jelang satu hari sebelum pernikahan, aku di sini. Duduk tanpa bergeming selama seharian penuh. Entah, rasanya campur aduk. Ruangan kamar ini bahkan tak lagi polos seperti semula, berbagai aksen telah menyelimutinya.

Dekorasi putih dengan berbagai pernak-perniknya mendominasi ruangan. Belum lagi bunga berwarna senada di setiap penjuru. Aku masih tidak menyangka bahwa besok adalah hari bersejarah yang akan merubah segalanya.

"Calon pengantin mager amat sih." Teriakan di ambang pintu membuatku memutar bola mata malas. Siapa lagi kalau bukan si gadis bawel itu, Putri.

Aku tidak tahu kapan ia datang. Sejak seharian ini fokusku terpecah belah, semua seakan memporak-porandakan hati. Jangankan kehadiran Putri, perihal rasa saja aku tidak tahu bagaimana kabarnya.

"Dih, malah dicuekin." Gadis itu duduk tepat di sampingku, tangannya membawa nampan berisikan rangkaian bunga berkelopak putih. Belum lagi dengan kebaya yang disampirkan di pergelangannya.

Sebenarnya yang menikah aku atau Putri? Mengapa gadis itu begitu antusias. Sepertinya dari semua orang, hanya Putri yang sangat menantikan hari itu tiba. Lebih tepatnya mungkin aku yang tidak siap dengan pernikahan ini.

"Ada apa, Put? Kapan kamu datang?" Masih tanpa mengalihkan padangan pada bunga melati di nampan itu, aku bertanya.

Sementara Putri, gadis itu menatapku intens. Aku yang merasa terintimidasi, mau tak mau kembali menatapnya. Dengan alis terangkat, aku menyuarakan pertanyaan tentang apa yang ia inginkan.

"Sebenarnya yang mau nikah itu, aku atau kamu sih?" Raut wajahku masih tidak berubah. Pertanyaan Putri sebenarnya sudah tidak perlu kujawab, lagi pula ia sudah tahu sendiri. Namun, mungkin saja memang gadis itu yang siap menikah lebih dulu.

"Aku, mungkin." Acuh tak acuh aku menjawabnya. Seharusnya memang aku tidak seperti ini. Apalagi di hari pernikahanku sendiri. Namun, entahlah rasanya hampa.

"Astagfirullah, Nadin! Kamu gak sakit kan? Mau nikah masa lemes gini." Tangannya ditempelkan di dahiku, seperti tengah memeriksa keadaanku yang memang baik-baik saja.

Memang aku kenapa? Aku tidak sakit hanya sedang tidak bersemangat saja.

"Aku sehat, Put. Kamu kali yang gak sehat," gunamku pelan, tapi masih dapat didengar oleh gadis itu. Aku memang sedikit mengumpat, kesal dengan ulah sahabatku yang satu ini.

Sebenarnya aku juga tidak mengerti dengan diriku. Seharusnya besok adalah hari bahagiaku, tapi mengapa rasanya tidak semanis yang terpikir dulu. Tentang pernikahan impian yang selalu aku nantikan.

Satu Doaku, Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang