24. Kapan Nikah?

3.2K 273 6
                                    

Gumpalan putih berpadukan biru menghiasi langit, pada setetes embun yang jatuh ke tanah. Hawa dingin menusuk celah pada rajutan pakaianku, mengalirkan sensasi pagi yang begitu mendebarkan.

Seusai ayat-ayat subuh terlantun dan dua rakaat terlaksana, aku duduk di salah satu kursi yang berada di rumah bergaya modern ini. Menjadi satu dari sekian banyak yang tengah bersiap menyambut hari bersejarah untuk hidup seseorang.

Beberapa bulan ini kulalui penuh perjuangan, mencari secercah kata ikhlas dalam hati. Memang semua itu butuh proses dan porsinya, apapun takaran dalam hidup adalah sebuah garis takdir Tuhan.

"Nadin, kamu belum siap-siap? Itu MUAnya udah nunggu." Wanita paruh baya itu menghampiriku. Ia tampak cantik dengan kebaya berwarna emas yang membalut tubuhnya.

"Gak usah, Mi. Nadin udah siap." Aku tersenyum hangat dan bangkit, sementara Ummi Helma -wanita itu mengamati sekilas.

"Beneran? Kamu gak mau dipoles dikit aja, biar makin cantik." Sekali lagi aku tersenyum mendengar suaranya yang terus menggodaku.

"Gak perlu, Mi. Lagian yang nikah 'kan Kak Ardan, bukan Nadin." Wanita yang tak lain adalah ibu dari Kak Ardan itu mencubit pipiku pelan. Sebelum akhirnya kembali berucap.

"Iya-iya. Manis banget sih kamu, Nadin. Kalau gitu ummi ke sana dulu, setengah jam lagi kita berangkat." Aku mengangguk pelan mendengar penuturannya, setelahnya teringat akan amanah dari bunda.

"Oh ya, Mi. kata bunda nanti nyusul soalnya ayah masih di jalan."

"Iya, shalihah." Ummi Helma kembali tersenyum kemudian pergi ke arah kerumunan dan meninggalkanku sendiri.

Aku kembali mengamati sekilas, beberapa orang berlalu-lalang mempersiapkan diri. Hampir satu jam aku di sini, tapi tak kutemukan sang mempelai prianya. Aku jadi teringat perjuangan Kak Ardan untuk sampai di titik ini, setelah penolakanku waktu itu.

Aku tahu bahwa cinta Kak Ardan bukan untukku. Terbukti ketika ia melamarku dulu yang sebenarnya bukan aku yang ada di hatinya. Syukurlah sekarang Kak Ardan bisa membuka matanya. Memang jodoh itu unik, ia tahu ke mana hatinya berlayar dan kemudian berlabuh.

Suara dering dari benda pipih di tas kecil berwarna keemasan membuatku tersadar. Aku mengangkat panggilan yang ternyata dari Putri, sekaligus memberitahunya agar tidak ke rumah kak Ardan.

"Beneran, Nadin?" Suara teriakan di seberang sana membuatku menghela napas jengah. Namun, aku benar-benar bersyukur karena semuanya kembali seperti semula.

Tak butuh waktu lama untuk kami berbaikan, aku dan Putri telah menerima kesalahan masing-masing. Bukankah setiap manusia harus saling memaafkan. Allah Swt. saja Maha Pemaaf, lalu mengapa kita sebagai hambanya tidak mau memaafkan?

"Iya, Putri. Bentar lagi rombongannya berangkat kok, biar gak kena macet juga."

"Oke-oke. Aku langsung ke tempat akadnya aja. Babay, ketemu di sana ya. Assalamualaikum." Setelah menjawab salamnya, aku menutup panggilan.

Beberapa menit kemudian, aku beserta rombongan dari memperlai pria menaiki mobil yang sudah disewa sebelumnya.

Aku yang berada satu mobil dengan Kak Ardan dan keluarga dapat melihat kegugupan di wajahnya. Pria itu tampak lebih dewasa dan siap menyempurnakan separuh agamanya. Setengah jam dilalui dengan bergitu cepat.

Kami turun tepat di parkiran dan mulai mempersiapkan semuannya. Putri yang lebih dulu sampai menghampiriku dan memeluk sekilas, kebiasaan barunya.

Setelah pelukannya terlepas, aku baru menyadari bahwa kedatangannya tidak sendiri. Pria itu bersamanya.

Aku tersenyum canggung ke arahnya begitupun sebaliknya. Tak ada yang memberanikan diri untuk saling menyapa. Memang sejak kejadian itu, baik aku atau Kak Fatih tak sedekat dulu. Seperti ada tabir yang menghalangi.

"Yuk, masuk." Suara Putri menyadarkanku, setelahnya kami masuk ke tempat acara dilaksanakan.

...

Malam mulai bertahta, bentangan kelabu mewarnai cakrawala. Akad sekaligus resepsi pernikahan Kak Ardan dan Kak Mala telah selesai sejak tadi sore.

Seusai salat magrib. Aku, Putri, kak Mala, ibunya, dan ummi Helma berbincang-bincang di ruang keluarga kediaman mempelai wanita. Sementara sisanya sudah lebih dulu pulang.

Memang benar, wanita jika sedang bersama maka ada saja pembahasannya. Terbukti sejak setengah jam lalu, kami tak henti-hentinya saling bersahutan. Entah itu tentang pashion, make up, kebiasaan, bahkan sampai cara menjadi istri yang shalihah.

Hingga perbincangan kami terhenti ketika pintu terbuka, menampilkan para pria yang telah pulang usai salat berjamaah. Dapat kulihat, mereka memilih duduk di ruang tamu.

Aku tak tahu apa yang sedang para pria itu bicarakan, tapi pria yang satu ini memisahkan diri. Kak Ardan lebih memilih menghampiri ruang keluarga, berkumpul bersama para wanita. Mungkin karena tak sabar bertemu dengan sang istri yang baru beberapa jam dinikahinya. Modus, pasti!

"Ummi, lihat tuh pengantin baru mesra-mesraan terus," sindirku ketika melihat kedua orang di hadapanku saling melempar kemesraan.

"Bilang aja ngiri, makanya cepet nikah dong," ucap Kak Ardan sembari mengejek dan itu membuatku kesal.

"Kak Ardan apaan sih!" Semua orang yang ada di ruangan ini tertawa. Seolah mendapatkan perbincangan menarik.

"Iya, Nadin. Betul apa kata Ardan. Kamu kapan nikah?" Sekali lagi, aku dibuat kesal dengan pertanyaan itu. Sekarang Ummi Helma yang menggodaku.

"Ummi malah ikut-ikutan Kak Ardan." Aku mengerucutkan bibir saking kesalnya.

"Ummi serius. Jodohnya ada belum. Kalau belum nanti ummi cariin," tawarannya membuatku jengkel. Memangnya sebegitu tak lakunya aku sampai jodoh pun harus dicarikan segala.

"Apasih Mi, bercandanya gak lucu. Putri aja duluan, jangan Nadin." Aku melemparkan pertanyaannya pada gadis di sebelahku karena hanya kita berdua yang masih single. Aku tak mau jika harus terkena getahnya sendiri.

"Enggak tuh, Mi. Nadin yang ngebet pengen nikah. Kemarin aja--mmbb." Secapat mungkin aku membekap mulutnya. Aku menatap Putri dengan horor, bisa-bisanya ia ingin membocorkan rahasiaku.

"Jangan ditutup-tutupi, Nadin. Orangnya ada di sana. Hai Tih." Suara bariton itu menimpali dan sukses membuaku kelimpungan. Masih dalam keterkejutan, tanpa sadar irisku teralihkan ke belakang. Pria yang kini menjadi perbincangan kami tengah menatap ke arahku.

Dalam beberapa detik aku terkesima, kalau begini caranya bisa-bisa aku kembali berharap. Apalagi jika mengingat akan kejadi tempo hari, di mana ia pernah menyatakan perasaannya. Astagfirullah, kendalikan dirimu Nadin!

Aku segera menundukkan pandangan ketika tak sengaja kulihat Kak Fatih mengulas senyum.

"Tuh benerkan?" Aku tersadar ketika suara bariton milik Kak Ardan kembali menggoda. Aku menatap tajam pria yang kini mengangkat alisnya.

"Kalian, ngeselin!" Aku bangkit dan pergi meninggalkan ruangan itu. Masih kudengar tawa mereka karena berhasil membuatku kesal.

"Nadin, mau ke mana?" Suara Putri terdengar, tapi aku tak menggubrisnya. Aku mempercepat langkah menuju teras. Setidaknya di sana tak akan ada lagi yang menggodaku.

Lihat saja nanti. Kak Ardan, Putri, aku akan membalas semuanya. Tunggu saja tanggal mainnya.

...

Satu Doaku, Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang