"Sebaik-baik pengusir kesedihan adalah rela dengan ketetapan Allah."
-Ali bin Abi thalib-...
Sunyi. Dentingan malam terasa begitu menyentuh. Menebar semburat keheningan yang semakin kentara. Aku masih di sini. Duduk diam sembari menikmati secangkir coklat panas.
Sekali lagi, hatiku dipenuhi ribuan tanya. Ingatanku kembali berlayar jauh, mengunjungi memori-memori yang tersisa.
"Humaira?" Tatapan itu mengarah padaku. Tatapan yang kubalas dengan senyuman. Meski netraku tak dapat berbohong ketika satu tetes jatuh tanpa bisa dicegah.
Kak Fatih bangkit dan berjalan ke arahku. Aku masih tak percaya. Setelah apa yang kulihat, pria itu bahkan hanya memamerkan senyumnya. Mengapa? Mengapa ia bersikap seolah semua memang baik-baik saja.
Aku butuh penjelasan. Bukankah setiap wanita selalu menginginkan penjelasan. Namun, mengapa ia seakan bisu?
Langkahku terasa berat, seperti tusukan paku yang memagari seluruh kaki. Ia menarik tanganku kemudian mendudukannya di tempat semula duduk.
"Assalamualaikum, Nadin ya?" Aku membalas uluran tangannya sembari memaksakkan tersenyum. Tak lupa menjawab salamnya. Bagaimanapun juga menjawab salam hukumnya wajib bukan?
"Perkenalkan saya Asnia. Bang Fatih sudah banyak cerita. Saya adalah istrinya--"
"Assalamualaikum." Pria dengan batik coklat menghentikan kalimat wanita bernama Asnia itu. Membuat desiran perih menyapa nadiku.
Istrinya. Istri siapa? Jangan bilang bahwa wanita itu adalah istri Kak Fatih juga? Astagfirullah, tidak. Itu tidak mungkin.
"Eh, Tih. Sudah lama datang? Maaf ane tadi ke toilet dulu. Ini--" Pria itu berjabat tangan dengan Kak Fatih. Kemudian menangkupkan tangannya ketika melihatku.
"Nadina. Humaira saya, Bang." Kalimatnya sungguh bisa membuatku terbang. Namun, semua itu malah membuatku semakin jatuh. Aku hanya butuh penjelasan.
"Oh, ini Nadin. Istri baru Ente?" Aku terkejut mendengar kalimat barusan. Apa katanya istri baru? Jadi benar Kak Fatih mempunyai istri selain diriku. Mungkinkah wanita bernama Asnia ini?
"Bang Imran ini, memang saya punya istri berapa?" Tawa dari pria itu terdengar ketika Kak Fatih malah melontarkan pertanyaan. Sungguh jangan buat aku salah paham dengan semua ini.
Sekilas kejadian tadi sore tak henti mengelilingi pikiranku.
Sampai detik ini, Kak Fatih bahkan belum menjelaskan apapun. Mengapa ia tidak mengerti bahwa aku bisa salah paham?Aku hanya mencoba untuk tetap tenang, mempercayai seseorang yang kini menjadi suamiku. Meski rasanya semakin aku ingin melupakan, semakin hatiku sesak.
Pintu terbuka. Saat itu pula, dapat terihat pria dengan koko putih berjalan ke arahku. Aku menyalami tak lupa menjawab salamnya.
"Mau makan sekarang? Biar Nadin panasin dulu masakannya." Aku mencoba untuk menghindar karena jika tidak, aku pasti langsung menangis.
"Humaira." Tangan tegas itu menghentikan langkahku. Tatapannya yang tak bisa kuartikan dan semua itu membuat lemah. Kak Fatih mendudukanku kembali.
Masih dengan posisi berjongkok. Tangannya mendekat, meraba wajahku yang basah karena air mata. Ah, mengapa aku bisa kecolongan. Sekali lagi, aku hanya bisa menjatuhkan tangisan.
"Dari awal, sesuatu yang tidak saya suka dari kamu adalah tangisan," jedanya sebentar. Aku akui yang dikatakannya memanglah benar, tapi aku bisa apa? Aku selalu ingin menangis.
![](https://img.wattpad.com/cover/206552140-288-k454383.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Doaku, Cinta [Selesai]
Духовные"Aku mau mengkhitbah Mala." Jatungku berdebar hebat mendengar kalimat menyesakkan itu. Ada sesuatu yang menyayat hati membuat rasanya semakin berdesir perih. Hanya dengan beberapa kata, hatiku hancur lebur. Aku yang mencintainya dalam diam harus men...