27. Proposal Lagi?

3.1K 284 3
                                    

"Cukup! Jangan berharap pada cinta yang tidak halal karena kecewa adalah balasannya yang setimpal."

...

Semilir angin terasa berbeda dari biasanya. Aku mengeratkan sweater abu lalu menggosok-gosok tangan dan menempelkan ke wajah. Kabut pagi mempertipis jarak pandangku, hanya menyisakan keburaman.

Pagi ini akan sangat kurindukan. Pagi terakhir yang menoreh banyak kehilangan.

Setelah berbulan-bulan aku tinggal, rasanya tidak ingin kembali. Kenangan di kampung kecil ini membuatku mengerti dunia yang sebenarnya. Kenangan tentang indahnya berbagi dan manisnya bersama.

Terlebih di tempat ini aku banyak belajar. Salah satunya belajar mengikhlaskan semua hal tentangnya.

Benar, pria itu. Seseorang yang mati-matian kulupakan dalam hati dan pikiran. Namun, entah bagaimana jika nanti bertemu lagi dengannya. Apakah semua masih sama atau telah berubah?

Sekali lagi, aku mengeratkan sweater ini. Sweater yang tidak mungkin terlupa, di mana pertama kali aku bertemu dengan sosoknya. Lagi-lagi aku selalu mengingatnya. Entahlah kenangan yang telah pria itu ukirkan terlalu bermakna.

Ternyata benar kata orang, bahwa waktu adalah salah satu dari tiga hal yang tidak akan pernah kembali.

Perihal waktu, pertanyaanku selalu sama setiap harinya. Mengapa aku harus dipertemukan, mengapa aku harus ditaarufkan, dan yang terpenting mengapa aku harus jatuh cinta padanya?

"Sampai Samson gak punya otot pun. Gak akan kelar tuh ngelamun!" Aku menatap gadis yang entah kapan berada di sampingku. Siapa lagi jika bukan Putri. Hanya gadis itu yang bisa bertingkah aneh.

"Kan udah aku bilang, tunggu aja di sana." Putri memutar bola mata malas, decakan terdengar dari bibirnya.

"Sampai kapan? Seratus tahun lagi?" sindir kerasnya membuatku tidak bisa menahan senyum. Sementara Putri menyilangkan tangannya sembari mengerucutkan bibir.

"Lebay. Baru satu jam juga." Aku kembali menatap ke depan, di mana langit sudah mulai menampakkan terangnya.

"Mereka udah berkarat nunggu di balai desa. Ayolah, Nadin." Gadis itu menarikku tanpa persetujuan. Mungkin lelah menunggu di bawah.

Sekilas, aku menatap seisi penjuru. Kayu tua ini akan selalu menjadi tempat ternyamanku. Di rumah pohon, telah terkikis separuh ingatannku tentangnya.

Putri membawaku ke balai desa, semua orang telah siap untuk melaksanakan upacara penutupan. Aku mengambil bagian, menjadi pembawa acara. Sementara gadis itu mengambil bagiannya.

Semua berjalan lancar. Bapak Hamdan selaku kepala desa penutup acara kali ini. Setelahnya, kami melakukan foto sebelum berpamitan.

Haru tak bisa dicegah, terlebih ketika anak-anak di desa itu memberikan gantungan dari batok kelapa. Aku juga memberikan mereka bros bunga hasil rajutan selama tinggal di sini.

"Kak Nadin. Icha buatin satu lagi gantungan kuncinya. Buat Kakak." Sweater abuku ditarik oleh seseorang di belakang. Mau tak mau aku menghentikan langkah.

Gadis kuncir kuda itu memamerkan gantungan kunci berbentuk love disertai senyum lebarnya.

"Kak Nadin kan udah dapat. Masa dua?" Aku menunduk sembari memperlihatkan gantungan kunci serupa yang Icha berikan tadi.

"Bukan. Ini buat pangeran yang sering Kakak ceritain." Aku tersentak mendengar penuturan gadis kecil itu.

Memang benar selama di kampung ini. Aku menghabiskan hari minggu bersama anak-anak dengan bercerita tentang kisah pangeran dan putri. Namun, itu hanya dongeng semata.

Satu Doaku, Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang