30. Pria Tanpa Nama

3.3K 284 14
                                    

"Biarkan kali ini doa yang menjadi perantaranya. Bumi yang menemani dan langit yang mendengarkan."

...

Malam ini, aku masih sama. Tidak mampu menyuarakan rasa yang meledak di dalam diri. Hanya dengan sebait doa yang menjadi andalanku setiap malamnya, berharap hati bisa ikhlas.

Beberapa hari ini, aku sedang tidak bersemangat. Entahlah ada apa dengan diriku. Rasanya lelah dan putus asa. Tidak ada lagi harapan yang terpendam, semua telah musnah bersamaan dengan kenyataan ini.

Jika kalian menganggap bahwa aku terlalu berlebihan. Silakan saja. Mungkin saat kalian merasakaannya, kalian akan mengerti apa yang aku maksud. Ini bukan hanya soal cinta saja karena nyatanya yang lebih menyakitkan adalah tentang penyesalan. Penyesalan yang membuatku jatuh cinta padanya.

"Nadin, boleh bunda masuk?" Ketukan di pintu terdengar bersamaan dengan suara seseorang di belakangnya. Aku menutup mushaf yang beberapa menit lalu menemaniku murajaah.

"Masuk aja, Bun." Wanita paruh baya yang tidak lain adalah bunda masuk dengan napan berisikan coklat panas. Aku bangkit masih dengan memakai mukena.

"Bunda ganggu kamu? Ini bunda buatin coklat panas, diminum ya." Bunda menyimpan nampan di atas nakas kemudian mengambil coklat panasnya.

"Gak kok, Bun. Nadin baru aja selesai." Aku ikut duduk bersama bunda di tempat tidur. Bunda memang selalu membuatkan coklat panas setiap malamnya.

"Gimana sekarang udah mendingan?" Aku mengangguk cepat. Memang sejak beberapa hari ini aku kurang enak badan. Mungkin karena terlalu kecapean dan banyak pikiran.

"Alhamdulillah, sekarang Nadin udah mulai sehat kok. Makasih coklat panasnya, Bun." Aku mengambil minuman dari tangan Bunda. Mug berkarakter itu tampak mengepul dan beraroma menggiurkan. Namun, tetap saja jus stawberry adalah yang terbaik.

"Nadin, bunda mau bicara sesuatu sama kamu." Aku menghentikan meminum coklat panasnya yang tinggal separuh. Kemudian tersenyum hangat pada bunda, sepertinya ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.

"Bicara aja, Bun. Kayak sama siapa aja." Aku kembali meminum coklat panas, rasa hangat menjalar di tenggorokan.

Kata orang coklat panas bisa membuat mood membaik, tapi menurutku tetap saja jus atau es krim strawberry adalah yang terbaik. Lagi-lagi aku memikirkan satu hal itu. Namun, jika bunda yang membuatnya maka rasa coklat panas akan berubah semanis jus strawberry kesukaanku.

"Beberapa hari kemarin. Ada seseorang yang mau ... melamar kamu." Aku tersentak kaget dengan penuturan bunda. Seakan ada pedang yang menusuk tepat di ulu hati. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang kudengar.

Aku menatap manik bening milik bunda. Tidak ada kebohongan di sana. Apa benar yang bunda ucapkan?

"Melamar?" Sekali lagi, aku menanyakan hal itu. Mug yang isinya telah tandas kugenggam erat, berusaha menetralkan hati yang mendadak sakit. Rasanya berat mengatakan semua ini.

"Iya, sayang. Sewaktu bunda pulang duluan di acara wisuda kamu." Aku masih terdiam, bingung harus berkata apa. Semua terlalu tiba-tiba untukku.

Aku masih tidak menyangka, benarkah ada pria yang telah melamar? Secepat ini bahkan saat aku masih belum sepenuhnya mengikhlaskan pria yang dulu pernah bertaaruf denganku.

"Bunda tahu kamu masih trauma dengan lamaran waktu itu. Bunda gak akan memaksa kamu." Tepukan di pundakku terdengar bersamaan dengan suara bunda.

Aku menatapnya dalam-dalam, meminta persetujuan lewat isyarat. Bunda mengangguk meyakinkan sembari tersenyum hangat.

Satu Doaku, Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang