"Setiap sepasang akan menemukan pasangannya sendiri. Percayalah ia lebih dekat dari apa yang kita bayangkan."
...
Malam ini berbeda dari biasanya. Riuh di bawah sana masih dapat terdengar. Kilau lampu-lampu kecil pun kini menyelimuti tenda putih, berpendar menghapus gelapnya langit.
Aku menatap orang-orang dari lantai atas. Udara dingin tidak bisa mengusirku untuk beranjak di balik jendela. Aku menikmati setiap detiknya, sembari tersenyum miris. Mentertawai diri sendiri.
Rasanya tidak mau malam ini berakhir cepat. Aku masih menginginkan kesendirian. Sebagai gadis biasa, bukan mempelai wanita yang akan melepas masa lajangnya. Namun, nyatanya besok semua akan berubah. Aku harus bisa mengerti bahwa pernikahan ini adalah risiko atas apa yang kupilih.
Aku menutup jendela dengan gorden lavender biru. Mempererat sweater abu. Sekali lagi aku memakainya, entah mengapa aku sangat nyaman menggunakannya. Ah, sudahlah. Jangan mulai lagi.
Aku mendekat ke arah kursi kayu tanpa penyandar, sembari mencari sesuatu di dalam laci. Namun, sebuah lembaran membuatku terhenti.
"Proposal ini?" Aku hampir saja melupakan satu hal. Beberapa waktu ini fokusku hanya pada persiapan pernikahan dan hati, tidak dengan yang lain.
Tunggu. Ada sesuatu yang mengganjal. Proposal ini seakan menjawab semua pertanyaan dalam benakku. Tentang pria misterius yang telah melamarku. Mungkinkah mereka orang yang sama? Jika benar, artinya pria itu adalah ....
Tidak. Tidak mungkin. Semua pasti hanya kebetulan. Aku yakin bukan pria itu. Aku masih tidak bisa mengerti. Sampai akhirnya seseorang memegang pundak membuatku tersentak.
"Eh, Bunda. Ada apa Bun?" Aku masih tidak bisa menyembunyikan keterkejutan. Namun, sebisa mungkin aku tidak memperlihatkannya. Bunda menatapku sedikit intens seperti mencari sesuatu.
"Gak ada apa-apa, Sayang. Bunda cuma mau lihat kamu." Masih dengan coklat panasnya, bunda menampilkan seulas senyum. Aku tahu bahwa senyum itu hanya topeng dari keringat yang mengucur deras.
Aku mengambil mug berkarakter yang mengepul itu dan menarik pelan tangan bunda.
"Sekarang Bunda duduk di sini. Bunda pasti capek kan? Biar Nadin pijitin." Setelah meneguk coklat panas buatan bunda. Aku mendudukannya di tempat tidur. Kemudian mengambil minyak kayu putih di laci.
Aku tahu bunda telah banyak bekerja keras hanya untuk mempersiapkan pernikahan ini. Tangan lemahnya dapat menjawab semua pertanyaanku bahwa wanita itu lelah karena berjibaku seharian.
"Gak usah, Sayang. Kamu juga perlu istirahat." Menggeleng adalah jawabanku atas penolakannya. Untuk hari ini saja, aku ingin menjadi anak yang berbakti.
"Gapapa, Bun. Sekali-kali Nadin pijitin. Sini kakinya." Tetap dengan pendirian. Aku mengangkat kaki bunda, menyelonjorkan lalu sedikit mengoleskan minyak kayu putih.
"Gimana, kamu sudah siap dengan semuanya?" Di sela aktivitasku memijat-mijat kakinya, bunda kembali memecah keheningan. Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya.
"Sebenarnya sedikit gugup terus takut juga, tapi Nadin yakin dan siap buat besok." Aku tidak dapat lagi menyembunyikannya dari bunda.
Jujur, aku memang takut dengan pernikahan ini. Aku belum siap sepenuhnya untuk terikat dengan seseorang. Namun, meski begitu aku tetap yakin bahwa pilihan ini adalah yang terbaik. Tidak ada lagi alasan untukku menolak, lagi pula dengan cara seperti ini setidaknya bisa menjauhkanku dari kesalahan.
Mencintai seseorang dengan ketidakhalalan. Cinta yang belum waktunya.
"Bagus kalau begitu. Dulu bunda juga seperti kamu." Seketika aku menatap wajah itu. Terkejut. Aku tidak menyangka bahwa bunda berkata demikian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Doaku, Cinta [Selesai]
Spiritual"Aku mau mengkhitbah Mala." Jatungku berdebar hebat mendengar kalimat menyesakkan itu. Ada sesuatu yang menyayat hati membuat rasanya semakin berdesir perih. Hanya dengan beberapa kata, hatiku hancur lebur. Aku yang mencintainya dalam diam harus men...