"Diam sampai kau diminta untuk berbicara itu jauh lebih baik, daripada kau terus berbicara sampai diminta untuk diam."
-Ali bin Abi Thalib-...
"Nadin. Ada calon suami tuh!" Aku tersentak kaget mendengar suara cempreng milik Putri. Namun, yang lebih membuatku jantungan adalah apa yang gadis itu katakan.
"Hah, mana?" Aku menatap ke seluruh penjuru, harap-harap cemas jika benar dia ada di sini. Aku bisa terkena serangan jantung mendadak.
"Ciee, tuh kan bener ngelamunin si pangeran kodok." Aku mendekat ke arahnya, mencubit tangannya dengan keras. Tak ada satu hari pun merasa tenang jika besama dengan gadis ini.
"Awww, sakit. Kulit inces melepuh. Jahat banget sih jadi nenek sihir," ucap Putri sembari meniup-niup tangannya.
"Apa sih lebay baget." Aku memandangnya dengan datar membuat gadis itu nyengir kuda.
"Abisnya kamu sendiri, ditanya dari tadi gak jawab-jawab. Mau pesen apa? Aku udah kelaparan nih."
"Gak harus gitu juga kali. Ya udah aku pesen bakso aja sama teh manis."
"Oke deh, tapi yakin gak mau pesen yang lain? Misalnya semangkuk cinta gitu." Aku melotot mendengar ucapannya, bisa-bisanya Putri sereceh itu.
"Putri!" Aku kembali mengingatkan, sebelum emosiku benar-benar naik menjadi level seratus.
"Eh, iya-iya aku pergi sekarang. Jangan rindu berat kamu gak akan kuat, biar Samson aja," ucapnya sok dramatis. Sebenarnya spesies macam apa Putri ini.
"Kok Samson gak Dilan?" tanyaku sedikit bingung, apa dia fans berat Samson?
"Iyalah, nanggung besi aja dia kuat apalagi cuma rindu. Hahaha." Sekali lagi aku melotot mendengar jawabannya. Putri berlari sebelum aku mencubitnya lagi.
"Sabar, Nadin. Untung, sayang," ucapku pada diri sendiri. Aku membenarkan posisi duduk, kemudian merapihkan beberapa buku di atas meja. Kembali menatap sekeliling, tak banyak orang yang ada di kantin.
Aku kembali terdiam. Anganku berlayar jauh, mengingat dalam beberapa minggu ini semua berubah. Aku tak pernah tahu takdir apa yang telah Allah gariskan, tapi aku yakin itu yang terbaik.
Menurutku, semua terjadi secara tiba-tiba, tapi rencana Allah tak ada yang kebetulan. Tentang patah hati yang belum sembuh sempurna, kemudian pria asing datang dengan proposal taarufnya.
Aku bingung, bagaimana hatiku saat ini. Sebelum aku menerima, aku harus benar-benar bisa melupakan dia yang dahulu. Tak ingin menjadikan orang lain sebagai pelampiasan. Aku tak sejahat itu, meskipun bukan orang yang baik.
"Assalamualaikum, Nadin." Suara lembut membuatku terkejut. Aku benar-benar mengenal suara ini, suara yang membuatku perih. Kenapa aku harus bertemu dengannya hari ini, aku belum siap.
"Waalaikumsalam ... Kak Mala," ucapku sembari mencoba tersenyum. Aku menatap kedua orang itu, satu tengah tersenyum dan satu lagi memalingkan muka.
"Kamu kemana aja, udah beberapa minggu gak kelihatan. Sibuk ya sama tugas?" Mala masih sama seperti dulu, tetap baik dan ramah. Namun, entah mengapa hatiku selalu menyangkal.
"Iya, Kak." Hanya itu yang kuucapkan, terlalu sulit untukku bersikap manis padanya.
Sekali lagi, aku menatap pria di sebelahnya. Tak banyak yang berubah dari sosoknya, hanya saja tak ada lagi senyum dan sipat usilnya. Kak Ardan, bolehkan aku merindukanmu?
"Boleh kita ikutan di sini? udah lama gak makan sama-sama lagi." Aku hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Tak ada alasan untukku menolak, mungkin sekarang saatnya.
"Mala, kita duduk di sana aja. Ada yang mau aku bicarakan." Suara bariton itu terdengar membuatku merasa jatuh seketika. Ada rasa sesak menyelinap masuk, pria itu terlihat ingin menjauh.
"Kita bicaranya di sini aja, gapapa 'kan Nadin?" Aku tersenyum singkat, tak mampu lagi berkata apapun.
"Ini tentang kita. Hanya aku dan kamu," ucap pria itu dengan menekan kalimatnya. Aku dapat melihat dengan jelas bahwa Kak Ardan memang sudah tak lagi menganggapku.
Pria itu pergi tanpa menoleh sedikit pun, seolah aku hanyalah patung yang tak ada artinya. Aku benar-benar tak bisa menahannya lagi, menunduk mungkin cara terbaik agar tak ada yang melihatku menangis. Apa sebegitu bencinya Kak Ardan, hingga ia tak manganggapku.
"Eh, Nadin. Aku pamit ya, Assalamualaikum." Kak Mala menyusul kepergiannya, hanya tersisa aku dengan hati yang patah. Aku terisak sendirian dengan kedua tangan untuk menutupi wajah.
Sudah, cukup!
Aku tak boleh lemah, jangan karena itu semua hancur kembali. Aku harus bisa melupakannya, seperti dia yang sudah bisa melupakanku dengan mudahnya.Setelah menghapus bekas air mata di wajah, aku menatap ke arah depan. Dua orang itu tengah tertawa, dapat kulihat pancaran kebahagiaan dari matanya. Kak Ardan sikapnya benar-benar berubah, bukan orang yang kukenal. Mungkin ini saatnya aku berhenti, menghilangkan jejaknya dalam hatiku.
"Nadin, ini baksonya ...." Belum sempat melanjutkan ucapannya, Aku segera mengambil semangkuk bakso dan tersenyum ke arah Putri.
"Ah, iya. Makasih, Put." Putri terdiam, aku tahu apa yang ada dipikirannya. Aku berpura-pura sibuk mengaduk kuah bakso agar Putri tidak curiga.
"Ah, aku udah laper banget nih. Cacing-cacing di perut curi semua nutrisi." Putri duduk dan langsung menyantap bakso miliknya.
Putri tak banyak bicara, ia lebih memilih diam dan aku tahu alasannya. Aku sangat bersyukur mempunyai sahabat sepertinya, ia mengerti perasaanku. Meskipun kadang bawel, tapi ia dewasa dan tahu kapan harus bertindak.
Aku memang tak suka ditanya jika sedang dalam kondisi seperti ini karena hanya akan membuatku semakin ingin menangis. Hal terbaik yang harus kulakukan cukuplah diam.
Suara notif dari benda pipih di atas meja membuat lamunanku buyar. Satu pesan telah masuk, Putri yang semula diam ikut menoleh ke arahku. Aku membuka aplikasi berwarja hijau itu dan melihat siapa yang telah mengirimkan pesan.
"Siapa?" tanya Putri penasaran, aku tak menjawab pertanyaanya.
Hatiku sedikit berdebar, hanya dengan beberapa kata saja mampu membuatku mengulas senyum singkat. Astagfirullah, Nadin! Jangan terlalu berharap, jika kamu tak ingin kecewa lagi, batinku.
Aku kembali membaca sekali lagi, takut jika mataku yang salah. Setelah waktu itu dia pernah menghubungiku lewat telpon. Ini kali pertama pria itu mengirim pesan dan isinya sedikit aneh, tapi aku sangat mengerti maksudnya.
Aku jadi berpikir, apa pria itu tak pernah mengirim pesan pada wanita lain sebelumnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Doaku, Cinta [Selesai]
Espiritual"Aku mau mengkhitbah Mala." Jatungku berdebar hebat mendengar kalimat menyesakkan itu. Ada sesuatu yang menyayat hati membuat rasanya semakin berdesir perih. Hanya dengan beberapa kata, hatiku hancur lebur. Aku yang mencintainya dalam diam harus men...