25. Ternyata Dia? Oh, Tidak!

3.2K 270 5
                                    

"Lidah seseorang dapat menggambarkan bagaimanakah hatinya."
-Ibnu Qayyim-

...

Ruangan putih beraroma obat-obatan itu sedikit mengganggu indra penciumanku. Aku duduk di kursi yang menghadap ke arah ranjang, begitupun dengan Putri.

Di depanku, seorang wanita tengah menyandarkan tubuhnya. Sesekali ia mengayunkan tangan agar sosok yang ada dalam gendongannya tidak terbangun.

"Wah cantik banget, persis Umminya. Sudah diberi nama belum, Ustadzah?" Sembari mengelus wajah kemerah-merah si kecil di hadapannya, Putri berbicara tanpa henti. Aku semakin dibuat gemas ketika bayi itu terusik dari tidurnya.

"Alhamdulillah sudah. Namanya, Nazma Sahidatul Awaliyah." Penuturan wanita itu yang tak lain adalah Ustadzah Aisyah. Memang siang ini, aku dan Putri tengah mengunjungi Ustadzah Aisyah yang baru melahirkan dua hari lalu.

Sekali lagi, aku menatap bayi manis berjenis kelamin perempuan itu. Matanya yang lentik dengan hidung kecil dan bibir tipis membuatku tak ingin mengalihkan pandangan. Belum lagi jika ia merasa terusik, aku semakin ingin mencubitnya.

"Ma syaa Allah, nama yang indah. Ustadzah, boleh tidak Najmanya saya gendong?" Dengan cengiran tak berdosanya, Putri kembali berucap. Sementara Ustadzah Aisyah mengangguk membuat gadis di sampingku semakin berbinar.

"Barakallah, Ustadzah. Semoga Nazma menjadi anak yang shalihah," ucapku sembari mengelus pelan bayi yang kini beralih gendongannya.

"Aamiin, Jajakallahu khairan katsiraan." Masih dengan seulas senyum, wanita di hadapanku berucap penuh kehangatan. Tutur katanya yang lemah lembut semakin membuatku kagum.

"Wa iyyaki, Ustadzah." Aku kembali memusatkan perhatian pada si mungil itu, sampai akhirnya perkataan Putri membuaku mengalihkan padangan.

"Kalau boleh tahu. Suaminya Ustadzah ...?" Belum sempat Putri menyelesaikan perkataan, suara bariton menghentikannya.

"Assalamualaikum." Sepertinya suara itu tidak asing, aku pernah mendengarnya sebelum ini.

"Waalaikumsalam." Kami menjawab salam berbarengan dan saat itu juga Putri menggenggam erat tanganku, pandangannya menunduk. Aku baru menyadari mungkin saja pria itu adalah orang yang pernah Putri ceritakan.

Suara langkah kakinya kian mendekat. Pria itu menyimpan satu bungkus plastik yang entah apa isinya di atas nakas. Seketika aku dibuat terkejut saat tak sengaja meliriknya sekilas, sosok yang kini berada di samping ranjang.

Tunggu, apa aku tak salah lihat. Dia di sini? Jangan-jangan pria itu adalah suaminya Ustadzah Aisyah? Oh, tidak. Kenapa semua serba kebetulan, bagaimana kalau dia mengenaliku. Tamat sudah riwayatku. Dia? Pria menyebalkan yang pernah dua kali menabrakku.

Aku menunduk dalam-dalam, semoga saja dia tak menyadarinya. Suasana kembali hening, tapi aku merasakan tatapan tajam mengarah padaku. Apa mungkin pria itu mengenaliku?

"Oh iya, kenalin ini Zikri, adik saya." Baik aku ataupun Putri seketika menatap ke depan, sedikit tak percaya. Dapat terlihat binar dari netra sahabatku ketika mengetahui semuanya. Tangannya terlepas dan ia kembali memberikan bayi mungil itu ke ibunya.

"Kenalin Zik, ini Putri dan yang ini Nadin. Mereka teman kajian juga."

Putri tersenyum lebar, bahkan tak menyadari aku yang kini merasa terintimidasi. Aku masih tak menyangka ternyata orang yang selama ini membuatku naik darah adalah adiknya Ustadzah Aisyah. Bagaimana kalau Ustadzah Aisyah tahu?

Aku tersenyum canggung, sementara pria bernama Zikri itu masih tak bergeming. Wajahnya tetap datar dan itu mengingatkanku pada Kak Fatih. Eh, apa yang kupikirkan. Astagfirullah.

"Itu buburnya dimakan Teh, Zikri pamit dulu, ada kajian di sekitar sini. In syaa Allah sore pulang. Assalamualaikum." Suara itu berubah lembut dan wajah yang semula menyeramkan kini berubah tulus. Sekali lagi, aku dibuat tercengang dengan perubahan drastis dari pria itu.

"Alhamdulillah." Aku tersadar kembali ketika suara di sebelahku terdengar. Pria itu telah menghilang dari ruangan ini.

"Alhamdulillah apa, Put?" Baik aku atau Ustadzah Aisyah menatapnya, sedikit tak mengerti mengapa Putri berbicara seperti itu.

Bukannya menjawab, Putri malah tersenyum polos. Namun, sepertinya aku paham arti senyuman itu.

...

Di lorong rumah sakit, langkah kaki bersahutan bersamaan dengan decitan roda yang berlalu-lalang. Aku dan Putri baru saja keluar dari ruangan tempat di mana Ustadzah Aisyah menginap.

Mataku menatap sekeliling, orang-orang sibuk dengan kegiatannya sendiri. Cuaca yang terik tak membuat mereka terusik, mengemban tugas dan tanggung jawab menjadikannya kuat. Namun, jauh di depan sana aku menemukan sesuatu yang ganjil.

Sosok pria dengan kemeja maroon tengah memasuki kedai, bersama wanita berkhimar panjang. Meski mereka membelakangi, tapi aku dapat mengenali dengan jelas. Apa mungkin itu dia atau aku yang berhalusinasi?

"Nadin, hei ada apa?" Beberapa kali aku mengerjap hingga akhirnya kesadaranku kembali. Gadis dengan blezer abu itu mengerutkan kening, meminta penjelasan.

"Ah, itu. Cuma lihat di depan kedai ada tukang es krim." Mendengar penjelasanku membuatnya tersenyum kecil. Alisnya terangkat.

"Mau beli? Ya sudah ayok." Putri menarik tanganku, tapi seketika ia berbalik ketika melihatku masih bergeming.

"Enggak, aku mau pulang aja." Sekali lagi ia mengerutkan kening di tengah teriknya langit. Aku tersenyum singkat.

"Beneran gak mau beli?" Aku menggelengkan kepala dengan yakin. Meski belum memastikannya, tapi aku takut dengan ke tempat itu bisa membuatku melihat sosoknya dalam pantulan kaca di kedai.

Bagaimana jika memang benar itu Kak Fatih, aku tak ingin melihatnya apalagi bersama seorang wanita.

Apa aku cemburu? Entahlah, hanya saja aku tak ingin salah paham. Lebih tepatnya aku tak ingin kembali berharap. Eh, mengapa aku memikirkannya lagi.

"Kamu beneran gapapa? Kok dari tadi diam aja sih. Apa kamu sakit?" Sembari menempel-nempelkan tangannya di keningku, ia tidak henti-hentinya berucap.

"Aku gapapa, Put. Cuma sedikit pusing sih. Kita pulang sekarang aja."

"Okedeh, dari pada nanti kamu yang pingsan. Siapa yang mau angkat coba? Kan berat." Aku masih tak menanggapi ucapannya, biarkan saja Putri mengoceh seperti ibu-ibu pasar.

"Samson aja belum tentu bisa angkat, apalagi aku." Aku menghentikan langkah, Putri yang melihat langsung mengangkat dua jari tangannya.

"Jadi maksudnya aku gendut gitu?" Meski sebenarnya hanya bercanda, tapi tetap saja aku sedikit kesal.

Memang wanita itu tak pernah mau diremehkan soal penampilan, mereka terlalu ingin menjadi cantik yang sesungguhnya. Padahal cantik itu tak sekedar dari apa yang terlihat, tapi dari apa yang tertutur.

Seperti apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Qayyim bahwa lidah seseorang dapat menggambarkan bagaimanakah hatinya. Itu berarti, kecantikan sesungguhnya itu dari hati yang bisa ditampakkan lewat tutur kata dan sikapnya.

Meksi banyak juga yang berkata cantik itu relatif, tapi aku tetap kesal. Memangnya aku gendut? Dasar, Putri.

"Enggak, kamu seudzon ih. Kamu bukan gendut cuma gak langsing aja," ucapnya sebelum lari lebih dulu. Terdengar dengan jelas tawa ejekannya.

"Putri!" Aku mengejarnya yang telah lebih dulu pergi. Semoga apa yang kulihat hari ini hanyalah sebuah kekeliruan.

...

Satu Doaku, Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang