"Pemberian maaf yang indah adalah memaafkan tanpa memarahi, dan kesabaran yang indah adalah bersabar tanpa mengeluh."
-Ibnu Taimiyyah-...
Langkah kaki terdengar bersamaan dengan kepulangan semua mahasiswa. Beberapa hari ini, aku tak bersemangat mengikuti kelas. Apalagi melihat sikap Putri yang mendiamkanku, membuat semuanya bertambah rumit.
Kelas sudah mulai tak berpenghuni, hanya menyisakan aku. Sendiri. Beberapa menit kulalui dalam diam, sebelum akhirnya bangkit dan mulai melangkah keluar. Namun, ketika sampai di ambang pintu. Seseorang mencekal lengan dan menarikku pergi.
"Awww sakit, Put. Lepasin! Kamu kenapa sih?" Dalam sekali hentakan, gadis itu melepaskan tanganku. Benar, orang itu adalah Putri -sahabatku.
Tatapanku tertuju pada pohon beringin besar yang membuat suasananya semakin menyeramkan. Aku tak tahu apa alasan Putri mengajakku ke halaman belakang. Namun, sorot tajam terlihat ketika ia membalikan badan dan itu membuatku semakin menduga-duga.
"Kenapa kamu bilang? Jangan sok polos, Nadin. Apa maksud semua ini hah!" Suara yang biasa kudengar menenangkan, kini berubah menakutkan. Aku masih tak paham akan semua ini.
"Maksudnya apa? Aku beneran gak ngerti." Putri memutar bola mata malas, setelahnya dapat kudengar decakkan dari bibirnya.
"Kamu terima lamaran Kak Ardan 'kan? Apa kamu gak mikirin perasaan Kak Fatih hah!" Teriakannya membuatku membulatkan mata.
Sekarang aku tahu ke mana arah pembicaraannya, tapi semua itu tidaklah sesuai dengan apa yang ada di pikirannya.
"Put, aku-- aku bisa jelasin ...." Belum sempat terselesaikan, Putri memotong ucapanku dengan perkataan yang menyakitkan.
"Munafik kamu, Nadin!" Lagi-lagi suara itu membuatku bungkam, ribuan jarum menusuk ke dalam sana mengalirkan desir yang menyesakkan. Aku tak bisa diam saja seperti ini.
"Kamu bilang aku munafik, Put?" Aku tak terima dengan panggilan itu. Apa katanya tadi, munafik? Lalu apa bedanya aku dengannya.
"Kenapa? Kamu emang munafik, Nadin. Mau marah hah!" Sinisnya kembali membuatku semakin tak bisa menahan kesabaran. Aku bukan marah, hanya saja kecewa. Mengapa Putri setega itu?
"Lalu apa bedanya sama kamu, Put." Tatapan tajam kembali mengarah padaku. Sebelum akhirnya ia kembali berucap dengan sinis.
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Nadin!"
"Apa? Bukannya itu emang kenyataan kan?" Sudah cukup aku menahan semuanya, tidak untuk hari ini. Aku terlalu kecewa. Putri tak pernah tahu apa yang telah aku lakukan untuknya.
"Sekarang aku tanya sama kamu. Apa maksud dari semuanya ini, Put!" Lembar foto yang sedari tadi ada dalam tas, kini beralih ke tangan Putri. Aku dapat melihat keterkejutannya dan itu sudah menjadi jawaban.
"Nadin, ka-- kamu dapat dari mana?" Sorot matanya berubah, aku dapat melihat keraguan dalam matanya.
"Apa itu perlu, Put. Bukankah ini yang gak pernah aku tahu!" Berusaha mati-matian kutahan tangis bersamaan dengan kekecewaan yang semakin meluap.
"A-- aku bisa jelasin semuanya." Putri memegang tangan, tapi secepatnya kulepaskan. Sudah cukup aku bersabar, tapi mengapa ia sedikit pun tak pernah mencoba jujur.
"Jadi benar kan dugaanku? Orang yang pernah bertaaruf dengan Kak Fatih itu ... kamu!" Pernyataan itu berubah getir, ada sesak yang menyelinap dan segera ingin dikeluarkan.
"Kamu salah paham. Dengerin aku dulu, Nadin."
"Apa itu masih dibutuhkan, Put? Seperti yang pernah kamu bilang kan, gelas pecah gak akan kembali utuh." Aku kembali mengingatkan akan ucapannya tempo hari. Aku benar-benar kecewa, mengapa semua harus disembunyikan.
Apa aku salah untuk kecewa? Setelah apa yang terjadi. Dengan cepat aku membalikkan badan, memunggunginya. Aku hanya tak ingin Putri melihatku menangis.
"Iya, aku orangnya. Kamu puas kan sekarang!" Kalimat itu terlontar bersamaan dengan ambruknya Putri ke tanah.
"Apa aku salah jika punya masa lalu? Apa aku gak berhak bahagia, Nadin." Suara itu melembut dan lemah. Sebelum akhirnya isak tangis mulai terdengar.
"Tapi kenapa kamu gak pernah cerita sama aku. Bahkan aku selalu cerita apapun sama kamu!" Aku masih diam di tempat, tak berniat ikut duduk bersamanya.
"Itu dulu, Nadin. Waktu masih SMA, saat aku belum tahu kalau kita itu ... tidak bisa bersatu. Itu semua gak penting lagi." Di sela tangisnya, Putri kembali berucap. Aku dapat mendengar kerapuhan dari nada bicaranya, tapi aku masih tak bisa menerima semuanya. Mengapa Putri menyembunyikan semua itu?
"Gak penting? Lalu apa artinya persahabatan ini kalau kamu aja gak mau terbuka sama aku!" Aku menghadapnya dengan air mata yang sudah tumpah ruah. Aku menatap matanya, mata yang kini berubah sendu.
"Aku memang salah, tapi kamu harus tahu bahwa Kak Fatih hanya masa laluku." Putri bangkit dan kembali menggapai tanganku, tapi lagi-lagi aku menolaknya.
"Oh, ya? Bukankah kamu masih mencintainya? Bahkan sampai hari ini." Aku menekan setiap kalimat yang terlontar, mengingatkannya dan juga menyadarkan diriku sendiri. Kak Fatih adalah orang yang dicintai Putri. Putri kembali tergugu, ia diam seribu bahasa.
"Kenapa kamu diam, Put? Aku benar kan." Tanpa kata Putri menggeleng-gelengkan kepala, tapi kenyataannya semua itu berbeda. Aku memang kecewa akan sikapnya, tapi aku juga tak mungkin bisa marah padanya.
"Kenapa harus aku, Put. Kenapa kamu lakuin semua ini?" Aku berhambur dalam pelukannya, tak bisa membohingi diri bahwa aku patah hati.
"Maafin aku, Nadin." Putri ikut memelukku erat, dapat kurasakan ketenangan. Aku merindukan Putri yang dulu.
"Seharusnya aku tidak pernah mengenal Kak Fatih." Aku kembali menyuarakan apa yang selama ini menyayat hati. Aku tak bisa terus-menerus menahan semuanya.
"Kenapa kamu menjebakku dalam hubungan rumit ini. Sementara kamu masih terjebak di dalamnya." Sekali lagi, aku benar-benar hancur. Setiap kata itu semakin membuatku kalah, kalah untuk mencoba tegar.
Tangis kembali tercipta. Baik aku dan Putri, kita sama-sama salah. Aku akui itu. Namun, kenapa semua ini begitu menyakitkan? Aku hanya tahu ini semua ujian atas hatiku yang dengan mudahnya jatuh cinta.
"Nadin, aku benar-benar minta maaf. Aku salah dan aku menyesal." Aku melepaskan pelukannya, sesaat setelah kata itu keluar.
Aku kembali menatapnya dalam diam. Aku tak marah pada Putri, hanya saja aku marah pada diri sendiri. Pada hati yang dengan mudah jatuh cinta. Aku hanya kecewa, itu saja.
"Aku sudah memaafkanmu, tapi sekarang aku hanya ingin sendiri." Aku membalikkan tubuh, kembali memunggunginya. Aku hanya ingin sendiri, untuk saat ini.
Suasa kembali hening, aku masih dengan hati yang mencoba menerima. Berulang kali embusan napas keluar, berharap mengembalikan apa yang telah patah. Beberapa menit kulewati tanpa pergerakan.
"Satu lagi, soal lamaran itu ... Aku memang menolak Kak Fatih, tapi bukan berarti aku menerima Kak Ardan." Akhirnya kalimat itu keluar mulus dari bibirku. Setelahnya aku pergi bersamaan dengan tangis yang kembali kudengar, menyesakkan.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Doaku, Cinta [Selesai]
Espiritual"Aku mau mengkhitbah Mala." Jatungku berdebar hebat mendengar kalimat menyesakkan itu. Ada sesuatu yang menyayat hati membuat rasanya semakin berdesir perih. Hanya dengan beberapa kata, hatiku hancur lebur. Aku yang mencintainya dalam diam harus men...