"Satu kebohongan bisa bercabang membentuk daun-daun kesalahan yang lain."
...
"Maaf, anda siapa?" Aku mendadak mati kutu, tubuhku menegang. Aku ketahuan, bagaiamana ini? Jangan sampai diberi hukuman mati, aku masih mau hidup.
Perasaan was-was kembali menghantui, aku segera membalikkan tubuh, mata kami beradu. Dengan cepat, kutundukkan kepala, antara malu dan takut. Itulah yang kurasakan sekarang.
Pria itu? Lagi?
Wajah mulai terasa panas, mungkin saja seperti tomat busuk sekarang. Kenapa aku bertemu dengan pria itu di waktu yang tidak tepat? Pasti dia semakin mengira hal buruk tentangku."Kau, gadis piyama itu?" ucapnya sedikit terkejut. Benar, pria itu mengenalku. Bingung harus berkata apa, aku hanya menganggukan kepala. Semakin membuatku merasa kecil dan ingin lari saja dari sini, tapi tidak mungkin.
"Maaf, bisa ke luar sekarang?" ucap pria itu berubah datar. Setelah mendengar ucapan selanjutnya, mau tak mau membuatku kembali menatapnya. Pria itu, mengusirku?
"Pak, ehh Tuan. Saya--" Pria itu membulat sempurna mendengar perkataanku, memangnya ada yang salah. Aku mengembuskan napas panjang, kenapa bibirku tiba-tiba sulit untuk bicara.
"Maaf karena lancang masuk mobil tanpa izin." Dalam satu hentakan aku mengucapkan kalimat itu.
"Saya tidak mengenalmu dan dalam Islam orang yang bukan mahram tidak boleh berduaan karena akan ada orang ketiganya. Saya yakin kamu paham semua itu." Aku juga tahu, memang siapa yang ingin berdua dengannya.
Kak Ardan sudah ada di ujung sana.
Tak ada cara lain, aku menarik lengan baju pria itu agar dia masuk. Jika tidak, tamatlah riwayatku."Lepaskan! Kau!" Pria itu sedikit menaikkan nada biacaranya. Dasar bodoh, kenapa aku menariknya? Pasti pria itu sangat marah dan akan mengusirku.
"Maaf Pak, ehhh Tuan. Saya tak bermaksud lain, saya sedang bersembunyi. Tolong bantu saya kali ini saja." Aku tak tahu harus apa, wajah pria itu tidak bisa ditebak. Ya Allah bantu aku, jangan sampai pria itu mengusirku.
"Baiklah." Satu kata itu membuatku tenang. Akhirnya bisa bernapas lega setelah pria itu mengizinkanku berada di mobil ini. Pria itu sepertinya benar-benar membenciku, dia membuang muka. Siapa juga yang menyukainya.
Kak Ardan semakin dekat, aku terus menahan napas berharap bahwa ia tak bisa melihatku. Langkahnya semakin dekat, ia melirik sekilas pada mobil yang berisi aku dan pria asing tadi.
Jika aku sampai ketahuan dan lagi bersama pria tak dikenal itu, bisa makin runyam masalahnya.
Kak Ardan semakin mendekat, aku segera menutup wajah agar pria itu tak mengenalku. Mendengar langkah kakinya mulai menjauh, aku segera melihat sekitar dan untunglah pria itu sudah tak ada. Aku membuka kaca mobil berwarna hitam itu.
"Nadin!"
Suara itu? Habislah aku.
Ternyata Kak Ardan masih ada di sini dan menangkap basah aku dan pria asing ini."Siapa dia!" Suaranya terdengar seperti monster, aku benar-benar akan dihukum mati.
"Kak Ardan, dia, dia--" Belum sempat aku menjawab, pria itu memutuskannya.
"Siapa!" Kak Ardan semakin mengerikan, aku seperti akan diadili hari ini.
"Orang yang sudah bertaaruf denganku." Apa yang kukatakan tadi? Astagfirullah, kenapa bibir ini tak bisa diajak kompromi.
"Apa? Jangan bohong Nadin! Siapa dia? Siapa namanya?" Aku sudah tak bisa mejawab. Bagaimana ini?
"Benar, namanya--"
"Fatih, Muhamad Difran Alfatih." Pria itu dengan datarnya menjawab pertanyaan Kak Ardan. Aku benar-benar tak percaya bahwa pria itu melakukannya.
Mendadak suasana menjadi canggung dan aku benar-benar mati kutu. Kak Ardan diam seribu bahasa dan pria bernama Fatih itu tak lagi menyahut.
"Selamat!" Kata terakhir yang keluar dari bibir Kak Ardan sebelum ia menjauh. Ada kerapuhan dalam mata orang yang kucintai, Kak Ardan terlah pergi. Benar-benar pergi dan hilang dalam pandanganku.
Mengapa semua menjadi serumit ini. Ya Allah, apa aku telah salah? Kenapa aku melakukan hal bodoh ini, aku telah menyakitinya dengan berbohong.
"Sudah jangan menangis." Suara itu mengintrupsi membuatku kembali tersadar pada sebuah kenyataan bahwa semua telah berubah.
Tak sadar bahwa air mata telah jatuh membasahi wajahku, lagi-lagi pria itu melihatku menangis. Segera kuhapus bulir bening yang lolos dari kelopak mata.
"Maaf telah merepotkanmu, terima kasih untuk semua bantuannya." Aku kembali menunduk setelah mengucapkan kata itu. Aku malu dan sangat malu, kenapa aku seperti wanita aneh di sini.
"Bisa ke luar sekarang? Tidak baik jika berdua seperti ini." Suara datar itu kembali terdengar. Sebenarnya pria apa yang ada di sampingku ini? Benar-benar misterius.
"Baiklah, terima kasih." Aku segera keluar dari mobil, tapi teringat sesuatu yang belum selesai.
"Ada apa lagi?"
"Tidak, saya hanya ingin mengembalikan ini, terima kasih." Aku mengeluarkan sapu tangan yang ada di dalam tas. Hari ini harus kukembalikan, sebelum pria itu pergi dan aku tidak bertemu lagi dengannya.
Aku mengulurkan sapu tangan itu.
"Tidak usah, selama kau masih menangis, simpanlah sapu tangannya." Nada suaranya berubah, tak lagi datar. Aku kembali melihat satu sisi baru dalam sosok pria bernama Fatih ini.
Ada sesuatu yang bergetar dalam hatiku ketika mendengar jawabannya. Ada apa ini? Astagfirullah.
Sudah?" Suara datar itu kembali lagi.
"Tunggu, untuk kejadian barusan anggap saja tidak terjadi apa-apa, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Aku segera keluar dan mundur beberapa langkah. Mobil hitam itu perlahan mulai menjauh dan membelah jalanan, aku masih berdiri mematung di tempat ini. Semuanya benar-benar hancur, aku tak tahu bagaimana selanjutnya?
![](https://img.wattpad.com/cover/206552140-288-k454383.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Doaku, Cinta [Selesai]
Spiritual"Aku mau mengkhitbah Mala." Jatungku berdebar hebat mendengar kalimat menyesakkan itu. Ada sesuatu yang menyayat hati membuat rasanya semakin berdesir perih. Hanya dengan beberapa kata, hatiku hancur lebur. Aku yang mencintainya dalam diam harus men...