2. Patah dan Hati

5.4K 432 7
                                    

"Jika kata patah dan hati disatukan, maka rasanya akan terasa menyakitkan."

...

Sang surya tersenyum mengawali pagi, berbeda dengan hatiku yang terbalut malam kelam dengan rintik hujan. Tak ada lagi cahaya, semua hanyalah kegelapan dan kekosongan. Mengapa patah hati sesakit ini? Mengapa jatuh cinta semengerikan ini? Apakah hanya aku yang menderita karena cinta bertepuk sebelah tangan? Sepertinya hanya aku.

Benar-benar menyebalkan dan ini semua ulah Putri, hari mingguku bertambah buruk. Seharusnya pagi ini aku berkencan dengan kasur dan menikmati patah hati bersama tisu-tisu yang berserakan. Namun, semua itu hanya angan semata karena Putri menyeretku agar ikut joging bersamanya.

"Ayolah Nadin, aku membawamu ke sini buat senang-senang. Jangan cemberut terus, kenapa sih!" Putri terus saja mengoceh sepanjang jalan.

"Gimana gak cemberut, kamu gak lihat apa yang aku pakai? Aku lagi pengen di rumah," ucapku dengan nada kesal. Bisa-bisanya Putri mengajakku untuk lari pagi dengan pakaian seperti ini. Gadis di sampingku berhenti dan mulai mengamati tubuhku dari atas sampai bawah.

"Bagus, gak ada yang aneh. Semuanya sempurna." Aku membelalakan mata mendengar jawaban Putri. Apa gadis itu tidak salah lihat? Apakah matanya sedang bermasalah? Jelas-jelas ini terlihat sangat aneh.

Aku kembali mengamati pakaian yang menutupi sekujur tubuhku. Piyama berwarna merah muda yang dibalut sweateer abu-abu, kerudung blus senada, tak lupa kaos kaki dan sandal bulu. benar-benar memalukan untuk dilihat, untung saja taman kota masih sepi.

"Kamu duduk aja dulu di sini, aku mau beli minum, oke cantik." Putri mendorong pundakku dan mendudukannya di kursi taman.

Malas berdebat dengannya lagi. Aku menatap seluruh penjuru, hanya beberapa orang yang berlalu-lalang di taman kota, memangnya siapa yang mau datang di waktu sepagi ini. Hanya orang tidak waras yang lari setelah salat subuh. Tunggu, berarti aku tidak waras?

Sudahlah, lupakan.
Aku kembali menghirup udara yang ada di sekitar dengan rakus, mata terpejam menambah ketenangan dalam diriku. Andai saja kak Ardan ada di sini, mungkin akan terasa sangat berbeda.

Lagi-lagi aku memikirkannya, kenapa pria itu selalu bersemayam dalam otakku. Dasar pria jahat, jelek, menyebalkan. Aku sangat benci, benar-benar membencinya.

Lamunan singkat tentangnya tiba-tiba buyar ketika sesuatu di saku piyamaku berdering, segara kurogoh benda pipih itu dan membukanya.

Hatiku begerumuh hebat melihat nama yang tertera di sana. Ada rasa sakit menjalar di sekujur tubuh hingga tanganku bergetar dan ponsel itu terjatuh. Dengan cepat, aku mengambil kemudian mematikan salurannya.

Pria itu kenapa selalu hadir di setiap saat? Aku membencinya. Ini adalah panggilan ke 34 kali, tapi aku tak berani mengangkatnya. Aku terlalu takut untuk mendengar bahwa ia telah resmi melamar gadisnya, tak sanggup hatiku.

Dasar cengeng.
Kenapa aku menangis lagi? Aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak menitikkan air mata, sudah cukup aku menangisi pria yang bahkan tak pernah mencintaiku.

Dear Allah.
Cepatlah hapus rasa cinta ini agar aku hanya akan mencintai-Mu. Jangan biarkan aku kembali berharap pada manusia yang pasti akan mengecewakanku.

Di sela tangis, aku dikejutkan oleh tangan seseorang. Mataku menatap sosok yang menyodorkan sapu tangan, ia tersenyum.

"Jangan menangis Kak, ini!" ucapnya. Aku mengambil sapu tangan dari genggaman gadis kecil itu, ia sangat cantik dengan rambut kuncir kudanya.

"Terima kasih cantik, nama kamu siapa?" Aku mencoba tersenyum meski hatiku sedang tidak baik.

"Aku, Zahira. Kalau nama Kakak?"

"Nama Kakak, Nadin. Kamu di sini sama siapa?" tanyaku pada gadis kecil bernama Zahira itu. Aku takut jika gadis itu tersesat karena sendirian.

Gadis itu tak menjawab, tapi tangannya menunjuk ke depan. Aku mengikuti ke mana telunjuknya mengarah, hingga pandanganku tertuju pada pria di ujung jalan sana.

Pria itu menatap ke arahku, mata kami bertemu dalam beberapa detik. Aku segera menundukkan pandangan ke bawah bukan karena gugup atau salah tingkah, tapi karena malu. Pasti pria itu berpikir yang tidak-tidak karena melihat penampilanku mirip orang gila.

Sungguh sangat memalukan, aku ingin sembunyi saja di lubang buaya. Wajahku terasa panas, mungkin saja sudah seperti kepiting rebus sekarang. Apa yang pria itu pikirkan tentang aku? Pasti ia menganggap aku aneh.

"Kak Nadin, Ira pergi dulu ya," ucapan Zahira menyadarkanku. Aku mengangguk sebagai jawaban.

Zahira berlari menghapiri pria tadi, gadis itu melambaikan tangannya sebagai ucapan perpisahan. Aku membalasnya dan sedikit tersenyum, sementara pria itu hanya menatapku sekilas kemudian berjalan dengan Zahira.

Aku kembali menundukkan pandangan menahan malu. Ini semua karena Putri kalau tidak aku mungkin tidak akan seperti ini.

Astagfirullah.
Aku lupa untuk mengembalikan sapu tangannya. Namun, di mana mereka? Apakah mereka sudah pergi? Bagaimana ini?

"Nadin! Maaf ya lama, nih minumnya," ucap Putri setengah berlari. Aku menghiraukan ucapannya, mencari keberadaan dua orang tadi lebih penting. Aku harus mengembalikan sapu tangan ini.

Satu Doaku, Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang