22. Senja Untuk Kita

3.1K 277 8
                                    

"Tidak ada sesuatu yang disukai setan, melainkan melihat seorang mukmin berhati murung."
-Ibnu Qayyim-

...

Senja semakin menggurat, aku duduk di pinggiran danau tanpa alas. Hanya berisikan rerumputan hijau yang sedikit basah. Sejak satu jam berlalu, posisiku tak berubah dengan kedua tangan memeluk lutut dan kepala ditundukan. Setidaknya dengan begini sedikit membuatku tenang.

Berulang kali, aku mencoba tetap berhusnudzon dengan apa yang Allah gariskan. Meski kadang hatiku berontak karena cinta yang tak seharusnya. Aku tak pernah berpikir bahwa kisah cintaku akan serumit ini.

Aku sadar. Tujuan awalku bertaaruf karena ingin terlepas dari cinta yang tak halal, tapi itu dulu sebelum aku benar-benar mencintainya karena Allah.

Sekarang, setelah semuanya berubah dan hatiku bisa melupakan sosok cinta di masa lalu. Mengapa aku malah terjebak dalam cinta seseorang yang belum melupakan masa lalunya. Apa ini sebuah karma atau ujian? Aku tak tahu.

Di sela tangis, aku terus menguatkan hati. Aku hanyalah seorang wanita yang jauh dari kata shalehah. Belum mampu untuk sekedar menjauhkan diri dari dosa, dan terkadang lemah diperbudak hawa napsu.

Lagi dan lagi mencoba berprasangka baik atas takdir-Nya, aku yakin semua mempunyai tarakarannya. Tentang Kuasa Sang Pemilik hati yang entah kapan menuangkan pahit dan manisnya dalam waktu bersamaan.

Semua ada porsinya, berharap satu porsiku tak sepahit ampas kopi. Inna ma'al usri yusro -sesungguhnya di setiap kesulitan ada kemudahan. Kalimat itu yang selalu aku ingat sebagai pegangan.

"Es krim ... Strawberry?" Suara bariton itu mengehentikan tangisku. Aku mendongkak dan tepat di depanku, sebuat tangan tengah menyodorkan sekotak es krim berwarna merah muda.

"Ka-- Kak Fatih?" Aku terkejut melihat ia berada tak jauh di sampingku. Wajah tegas itu mengangguk pelan dan kembali meyodorkan es krimnya.

Setelah bangkit, aku kembali menatapnya sekilas. Aku sedikit ragu untuk mengambilnya, meskipun akhirnya tetap kuambil alih.

"Boleh saya duduk di sini, Nadin?" Aku mengangguk pelan. Tak berani untuk melihat irisnya. Suasana mendadak hening, aku benar-benar tak menyangka Kak Fatih bisa menemukanku.

Sebenarnya pria macam apa dia ini? Setelah apa yang kulakukan, ia tetap tak berubah. Sikapnya masih sama dan itu justru membuatku semakin merasa besalah.

"Kenapa Kak Fatih bisa tahu Nadin ada di sini?" Pria itu melirik sekilas kemudian mengalihkan pandangan ke depan.

"Menurutmu?" Bukannya menjawab, ia kembali bertanya. Aku memilih diam sembari menundukkan pandangan.

"Danaunya indah bukan?" Aku mengangguk menyetujui perkataannya. Ia menghela napas, suasana kembali hening, sebelum akhirnya pria itu berucap.

"Tapi akan lebih indah jika yang menikmatinya tersenyum bukan menangis." Aku tak bisa untuk tidak melihatnya, dalam beberapa detik matanya menghipnotisku. Sebelum akhirnya ia tersenyum singkat dan memutuskan pandangannya.

Sadarlah, Nadin!
Jangan goyah dengan perlakuan manisnya, pikirkan seseorang yang akan patah jika melihatnya. Aku mencoba untuk tidak teramakan oleh ucapannya.

"Saya dengar dari Putri, kamu sudah menerima lamaran dari orang lain?" Belum sempat pikiran tentangnya hilang, suara itu benar menyadarkanku. Aku merasakan keraguan dari nada bicaranya, seolah menyiratkan ketidakinginan.

Hanya tersenyum dan itu pun singkat. Aku masih tak menjawab, terlalu banyak praduga dan alasan. Lebih baik aku yang menyimpan jawaban itu sendiri, tak perlu ia tahu.

"Selamat ... Saya harap kamu bisa bahagia." Aku kembali tersenyum canggung menanggapi apa yang diucapkannya.

Why Allah? Mengapa harus dia. Aku tak sanggup jika terus seperti ini. Aku tak ingin menyakitinya lebih dalam lagi.

"Siklus kehidupan itu memang unik bukan? Manusia merencanakan dan Allah yang menentukan." Hanya diam jawabanku. Aku terlalu lemah meski hanya untuk bersua. Aku tak ingin kembali menangis jika menjawabnya.

"Kita sama-sama sudah dewasa untuk memilih dan saya ikhlas atas penolakanmu. Hanya saja saya ingin minta maaf ...." Sekali lagi, ia mengembuskan napas pelan. Aku merasa ditimbun ribuan tanah, rasanya sesak.

Kak Fatih, ia masih saja meminta maaf bahkan setelah aku menolaknnya. Aku benar-benar merasa jadi wanita paling jahat.

"Maaf karena saya mencintaimu bahkan sebelum mampu menghalalkanmu." Cukup, sudah! Aku tak bisa menahannya lagi. Netraku bukan lagi berkaca-kaca, tapi aku menangis. Ada palung terdalam yang dihantam milyaran bongkah besar menyalurkan desiran perih, menjalar di setiap aliran darah.

Sesegera mungkin aku menunduk agar Kak Fatih tidak melihatnya. Aku mencengkram kuat-kuat gamis yang dikenakan, menahan isak tangis.

Oh Allah, Sang Maha Penjaga Hati. Ingin rasanya berteriak dan berkata bahwa aku juga mencintainya, tapi itu tidak mungkin. Tak ingin menyakiti hati Putri karena aku yakin ia masih mencintainya.

"Saya harap kamu menerima ini sebagai permintaan maaf." Sebuah kotak berukuran sedang berwarna hitam dengan pita emas yang melingkari tutupnya. Kak Fatih menyimpannya di atas rerumputan hijau menguning.

Aku masih diam seribu bahasa, tapi gelengan itu sudah menjadi jawabannya. Tanpa berniat membalas karena aku tak ingin menerima pemberiannya. Aku merasa tak pantas.

Pikiranku kalut dikerubungi putaran kenangan yang menyesakkan, kenapa semua terasa sangat pedih.

"Jika kamu tak bisa menerimanya sebagai permintaan maaf. Terimalah itu sebagai hadiah dari seorang teman?" Sekali lagi ia mampu menyayatku dengan perkatannya. Menancabkan tabir tak kasat yang membuatku terjerat.

Teman? Katanya. Apa aku mampu menganggapnya sebagai seorang teman? Aku tidak bisa, sampai kapan pun tidak akan pernah bisa. Apa melepaskan semudah memutus benang dari jarumnya?

"Saya harus pergi, Assalamualaikum." Aku tetap bungkam, hanya salam yang terjawab lewat atma. Suara embusan napas itu terdengar berat, sebelum akhirnya ia pergi.

Tanpa menunggu lagi. Kak Fatih bangkit, satu persatu langkahnya mulai mejauh bersamaan dengan leburnya air mataku. Apakah tadi itu ucapan perpisahan? Apakah setelah ini semua benar-benar tak ada lagi.

Beberapa menit berlalu, aku masih dalam diam. Tak ingin beranjak bahkan sejengkal pun dari tempatku. Tangisku sudah mereda meski sayatannya masih terasa. Perlahan dengan tangan bergetar, aku mengabilnya.

Aku membuka penutup yang dilapisi pita emas itu, melihat sesuatu di dalam sana. Sebuah sapu tangan berwarna biru polos dengan buludru halus. Di pojok paling bawah terdapat nama dalam rajutannya.

Sesuatu dalam hatiku menyeruak, berusaha keluar dari tempatnya. Semakin dicegah semakin berontak, lagi-lagi aku menangis tanpa suara.

Cintaku tak pernah bertepuk, mungkin saja terbalas. Hanya saja aku tak ingin menyakiti seseorang. Aku tak ingin bahagian di atas kesedihan orang lain. Meskipun aku tahu mereka tak bisa bersama, tapi bukan berarti aku bisa.

Ya Ilahi, jika saja aku bisa melakukannya ....
Aku hanya ingin kembali seperti sebelum mengenalnya, tak ingin terjebak dalam cinta yang telah lebih dulu salah paham.

Satu Doaku, Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang