17. Lingkar yang Kembali

3.3K 288 10
                                    

"Pada patah yang tak pernah pergi, masih tersayat bekas membiru. Pada hati yang datang kembali, masih bisakah aku cemburu?"

...

Cahaya merah menghiasi lembaran langit, pada gumpalan kanvas biru bercampur putih yang mendominasi. Pantulannya tampak jelas pada bening yang menganak dengan tenang.

Tangkai-tangkai tua yang sudah tak berdaun terlihat menyentuh langit, seperti tengah mengumpulkan angan-angannya. Berbading terbalik dengan pohon pinus yang masih utuh dengan bayang-bayangnya.

Sekali lagi, aku menatap ke depan, pada sebuah danau yang menjadi kenangan di masa kecil. Semenjak masalah itu muncul, aku tak pernah berkunjung kembali. Rasanya aku merindukan tempat ini. Tak pernah bosan untuk kupandangi, terlebih pada perahu tua yang saling berpasangan.

Kenanganku menyeruak, ketika semua masih sama. Tentang pangeran kecil yang membawa putrinya untuk berlayar pada sebuah perahu berbeda. Dua perahu dengan dua kayu penyambung yang tak bisa dipisahkan karena mereka tercipta untuk saling melengkapi keseimbangan.

"Nadin!" Suara bariton di belakang membuatku tersadar dari lamunan. Hampir saja aku melupakan tujuan awal datang ke tempat ini. Aku mengembuskan napas pelan, semoga apa yang kulakukan adalah benar, menerima ajakannya untuk bertemu.

Aku menoleh sekilas sembari mengulas senyum pada pria dengan kemeja biru tua yang digulung sampai ke sikut. Ia tampak lebih dewasa dengan benda hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pria itu balik tersenyum sebelum akhirnya menghempaskan diri pada rerumputan hijau beberapa meter di dekatku.

"Terima kasih, Nadin. Telah menyempatkan waktu untuk bertemu. Oh, ya ... Mau naik perahu?" ucapnya kembali mengingatkanku pada masa itu.

Aku menggeleng lemah disertai senyum canggung, pria itu memakluminya. Aku tahu Kak Ardan mencoba bersikap seperti saat kita masih dekat, ramah dan pengertian. Namun, apa hatiku akan kembali seperti dulu? Aku tak tahu.

"Bagaimana kabarmu, Nadin?" Lagi-lagi suara itu terdengar, tapi tak kurasakan debar seperti biasanya. Mungkin karena rasa kecewaku yang terlampau besar.

"Alhamdulillah, baik. Apa yang mau Kak Ardan bicarakan?" jawabku langsung pada intinya. Aku hanya tak ingin memperlambat kepulangan dan berlama-lama dengannya. Aku tak ingin kembali jatuh pada patah yang sama.

Dapat kulihat raut wajahnya mulai berubah, setelahnya ia mengembuskan napas berat. Sepertinya Kak Ardan sedang banyak masalah, tapi aku tak berhak bertanya. Aku menunduk dalam-dalam, sadar akan siapa aku dihatinya. Aku hanya tak ingin kembali berharap dan lagi ada hati yang harus dijaga.

"Sudah berapa lama kamu mengenalku, Nadin?" Aku menyeritkan dahi, bingung dengan pertanyaan yang dilontarkannya. Apakah ini sebuah jebakan atau hanya berbasa-basi.

"Dua puluh tahun kurang lima bulan, mungkin," jawabku sedikit ragu. Kak Ardan tersenyum singkat, sepertinya aku salah menjawab.

"Sudah lama bukan?" Aku menganggukan kepala sebagai jawaban. Suasana kembali hening, tak tahu ke mana arah tujuannya.

Aku mengarahkan pandangan ke depan, di mana Kak Ardan melakukan kebiasaannya ketika di sini. Dalam beberapa detik, kerikil-kerikil kecil yang dilemparnya saling bersahutan menampilkan ritme tak beraturan. Sebelum akhirnya membentuk lingkar bening dan tenggelam.

"Masih ingat janji kita di masa kecil?" tanyanya kembali menyadarkanku. Aku dibuat terkejut dengan semua ini, sebenarnya apa yang ingin dikatakannya.

Aku memberanikan diri melihat ke arahnya, tapi ia mengalihkan pandangan ke depan. Rona merah semakin menguasai bentangan langit, aku ikut memandangi kepulangannya yang mulai kelabu.

"Sebenarnya, apa yang ingin Kak Ardan katakan?" Kini aku balik bertanya, mencoba mengalihan pembicaraannya. Aku tak ingin membicarakan janji yang sudah dipastikan tak bisa ia tepati. Mungkin mundur satu langkah lebih baik daripada maju setengah jengkal lalu terjatuh.

"Ternyata si jelek sudah pintar," ucapnya sembari mengacak-ngacak khimar biru yang kukenakan. Mau tak mau aku memajukan bibir karena kesal, bisa-bisa ia mengejek di saat seperti ini.

"Nadin." Nada suaranya kembali serius dan deru napasnya mulai terdengar berat. Aku hanya diam, tak ingin memotong apa yang ingin dikatakannya.

"Apa masih perlu taaruf untuk saling mengenal?" Aku terkejut bukan main. Seperti ada gurun es menyelimuti tubuh tanpa spasi dan berhasil membuatku membeku. Apa maksud dari ucapannya itu? Mendadak hatiku tak karuan, menduga-duga apa yang akan terjadi setelahnya.

"A--apa maksudnya?" tanyaku terbata-bata. Semoga apa yang kupikirkan tidaklah benar. Pria itu kembali mengembuskan napas dan aku semakin resah.

"Sudah sedari kecil kita saling mengenal, apa itu masih kurang?" Lagi-lagi perkataannya ambigu, tapi aku paham ke mana arah tujuannya.

Kak Ardan mendekat dan  menghadap ke arahku, tangannya merogoh sesuatu di saku kemejanya. Aku kembali menunduk dalam-dalam, menatap beningnya danau. Sungguh, aku tak ingin bicara atau mendengar apa yang ia bicarakan.

"Nadin." Sekali lagi aku dikejutkan oleh sesuatu yang ada di depanku. Sebuah tempat dibaluti kaca berbentuk kristal. Di dalamnya benda kecil melingkar dengan satu pertama serta busa berwarna merah yang mengapitnya.

"Aku selalu menyangkal bahwa kedekatan kita hanya terikat oleh kata persahabatan. Hingga hari itu, aku dilanda kegelisahan. Setiap malam, aku mencari jawaban atas hatiku. Saat itu aku menyadari sesuatu ketika jarak meninggikan batasnya. kehilangan." Aku menggeleng memberi isyarat agar Kak Ardan tak melanjutkan ucapannya.

Aku harus kuat, jangan menangis di hadapannya. Bukankah aku sudah berjanji pada seseorang. Aku meremas pelan gamis yang dikenakan sembari menunduk, tak ingin jika Kak Ardan melihatku seperti ini.

"Nadin, maukah kamu menjadi rumah untuk sang kura-kura menjelajahi dunia?" Seperti ada hantaman keras jatuh di netraku, pada sebuah binar berkaca yang tanpa bisa dicegah.

Semua sempurna, seperti yang pernah kuimpikan dulu. Namun, sekarang apa hatiku masih sama? Aku tak tahu.

"Seperti janji kita dulu, maukah menjadi puteri untuk pangeran? Menyempurnakan separuh dalam membangun istana di surga?" Aku membekap mulut dalam-dalam, setetes demi setetes tak lagi dapat kucegah. Kuselami binar matanya, mencari kebohongan di sana. Namun, nyatanya hanya ada sebuah sendu yang kentara dalam maniknya.

Tak ada alasan untuk menolaknya setelah penantian panjang yang kulalui. Namun, terlalu banyak alasan untuk tak menerimanya setelah satu bulan ini semua patah. Ya Allah apa yang harus kulakukan?

Tepat ketika kepulangan senja, diiringi alunan dari sang angin pada pohon pinus yang berjajar serta tangkai-tangkai tak berdaun dan sepasang perahu tua. Hari ini ia melamarku. Sesuatu yang bahkan dulu hanya menjadi angan dalam bayangan.

Saat ini pula, Allah telah menjadi saksi atas hatiku.

...

Satu Doaku, Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang