10. Bayangan Malam

4.1K 333 6
                                    

"Jika Akad untuk orang bertekad dan mahar untuk orang yang sabar. Maka jodoh bukan untuk orang bodoh, yang ceroboh sebelum waktunya."

...

Langit malam menyapaku lewat jendela yang masih terbuka. Diam membisu, enggan beranjak dari meja belajar milik Putri setelah pulang di kedai tadi. Aku kembali melirik lembaran-lembaran itu, membaca ulang apa yang ada di dalamnya.

Jangan tanya perasaanku sekarang, belum siap rasanya. Tersenyum, itu yang kulakukan sembari menatap benda bulat di atas sana. Cahayanya menghipnotisku, membawa pada kejadian beberapa jam yang lalu. Pria itu, mengisi memori kecilku.

Tentang apa yang sedang ia lakukan sekarang, membuatku tak bisa menyembunyikan senyum.

"Ciee, lamunin si pangeran kodok ya?" Suara itu menghayutkan anganku tentangnya. Berusaha menetralkan perasaan dan berpura-pura biasa saja.

"Apa sih, Put!" Ucapan datar keluar dari bibirku. Sudah siap berhadapan dengan gadis itu.

"Ketahuan banget lagi mikirin dia." Putri menyimpan segelas susu di hadapanku, setelahnya berbalik dan menghempaskan tubuh di atas tempat tidur.

"Enggak! Siapa bilang?" Aku membalikan tubuh menghadap ke arahnya. Sementara gadis itu malah menyeringai, membuatku brigidik ngeri.

"Terus kenapa itu proposalnya masih dipegang. Gak bisa ngelak lagi." Aku melihat ke bawah, di mana lembaran itu masih setia dalam genggamanku. Kenapa aku sampai lupa, jadi malu sendiri.

"Enggak ya." Segera menyimpan proposal itu di atas meja, kemudian mengambil segelas susu dan meminumnya dengan cepat. Berharap menghilangkan rasa panas yang menjalar di wajahku.

"Ampun, Mbah Dukun. Jangan makan saya. Itu haus atau doyan?"

"Bercandanya gak lucu." Tatapan horor disertai langkah yang mulai mendekat, rasanya aku ingin membunuh gadis itu sekarang.

"Iya tahu yang mau diseriusin. Oh iya, tadi gimana taarufnya?"

"Kepo banget sih," ucapku setelah berada di sampingnya. Kugagalkan rencana ingin membunuhnya, masih takut menanggung dosa besar.

"Gitu gimana? Ayolah cerita." Putri mengguncangkan tubuhku layaknya boneka.

"Gak mau."

"Ayolah Nadin cantik, calon istrinya pangeran kodok." Sekilas aku terdiam. Tertegun mendengar panggilan asing itu, ada getaran yang meluas dan membuatku panas dingin. Kenapa aku bahagia mendengar kata itu, sadar Nadin.

"Ciee bulshing," ucapnya diserai tawa yang menggelegar. Aku semakin malu dibuatnya.

"Putri! Gak jadi nih aku cerita," ancamku padanya disertai tatapan horor. Gadis itu berhenti tertawa, benarkah ia menjadi penurut?

"Oke, aku diam. Jadi gimana?" Cukup dengan menatapnya sekilas, aku bisa tahu bahwa ia penasaran.

"Gitu deh. Gak gimana-gimana," ucapku tak berminat. Putri memanyunkan bibir membuatku mau tak mau tertawa.

"Kamu tahu gak, Kak Fatih dulu pernah bertaaruf?" Lanjutku benar-benar bertanya. Memang setelah kak Fatih mengatakan itu, aku penasaran. Siapa sosok yang berhasil meluluhkannya.

"Hah, Kamu tahu?" Bukan menjawab, Putri malah terkejut mendengar pertanyaanku. Sepertinya ia tahu siapa sosok gadis di masa lalu kak Fatih.

"Sedikit. Dia hanya bilang pernah bertaaruf, tapi gagal. Kamu tahu siapa gadis itu?" Aku kembali mengorek kisah pria itu lewat Putri, pasti ia tahu banyak.

"Ohh, kirain kamu tahu. Sudah, jangan mikirin masa lalunnya. Sekarang pikirin kapan kalian akan menikah."

"Putri!" Ternyata salah bertanya pada gadis itu. Bukannya menjawab, ia malah menggodaku.

"Kamu marah kok mirip Mimi Peri? Jangan-jangan jodoh."

"Ihh, apa sih." Aku mencubit gadis itu keras, membuatnya mengusap pelan tangan yang sedikit memerah.

"Seperti kamu, dia juga pasti punya masa lalu. Sekarang lihat ke depan karena berjalan itu maju bukan mundur. Aku berdoa semoga kalian berjodoh dan bisa menikah. Jangan buat aku kecewa."

"Satu lagi. Dia itu orang yang sangat baik meski sedikit cuek dan dingin, tapi aku yakin kamu bisa bahagia bersamanya. Aku sayang kamu, Nadin," lanjutnya.

Kali ini aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Ucapannya membuatku tersentuh, ada sedikit sesak yang menyapa. Aku juga menyayangimu, Putri. Bagiku, kamu lebih dari seorang sahabat.

"Ehh, kenapa nangis?" Aku segera menghapus sesuatu yang membasahi wajah. Memajukan bibir, memperlihatkan sifat manjaku padanya.

"Tersentuh. Kamu jadi bijak, kesambet apaan?"

"Pasti dong. Secara, aku cantik dan cerdas." Baru saja kupuji, ia sudah terbang. Salahku mengatakan pujian padanya.

"Jangan mulai lagi deh!"

"Oh iya, kamu kenapa gak bilang kalau kak Fatih itu pria yang aku ceritakan," lanjutku. Aku kembali bertanya serius, perihal ia yang datang tak terduga.

"Jadi pria itu? Kamu gak pernah bilang, gimana aku mau tahu." Tanpa ragu, ia menjawab secara logis. Memang benar, aku tak pernah memberitahunya. Aku salah lagi, entah untuk yang ke berapa kali.

"Tapi ...."

"Sudah, itu namanya jodoh. Soal taaruf, ucapan itu adalah doa dan sekarang semua menjadi kenyataan deh. Rasain," ledek gadis itu dengan bangganya.

"Iya, bawel." Aku menutup mata dan kedua telinga, enggan mendengarkan kata-katanya. Sesaat kemudian, keheningan terjadi.

"Ehh, Put. Kok malah ngelamun sih? Mikirin apa hayo?" Dengan cepat aku menepuk pundak gadus itu sengaja ingin mengejutkannya

"Ihh apaan, enggak kali." Dasar Putri, masih bisa mengelak saat aku sudah menangkap basah perbuatannya.

"Bohong dosa tahu."

"Enggak. Cuma mikirin kalau kamu udah nikah, jangan lupa kasih keponakan lucu buat aku ya."

"Apa sih, Put!" Aku bingung antara sedih atau bahagia setelah mendengar jawaban Putri. Apakah benar pria itu yang telah Allah takdirkan?

Dering benda berbentuk pipih itu menghentikan aktivitasku. Sedetik kemudian, aku benar-benar membeku. Putri yang ada di sebelahku kembali menampilkan senyum mengejek.

"Sejak kapan kamu menyimpan nomornya?" Tanya Putri sembari menahan tawa. Tak mampu lagi mengelak, sudah pasti wajahku berubah seperti kepiting rebus.

Tak ingin berlama-lama, aku mengangkat panggilannya dan menjauh ke arah balkon kamar Putri.

Satu Doaku, Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang