"Jangan pernah lagi bermain hati, cukup kemarin patah yang tiada henti."
...
Pantulan sosok masing-masing dapat terlihat dari beningnya yang membentang. Semilir angin disertai rindangnya pohon-pohon di sekitar begitu memanjakkan wajah di tengah panas.
Aku tidak mampu mengalihkan pandangan pada sepasang perahu yang terlihat jelas ketika terkena sinar. Kayu-kayunya sedikit rapuh serta warna cat yang memudar. Namun, tetap saja terlihat masih sama seperti beberapa tahu silam.
Sekarang tempat ini bukan lagi kenangan tentang aku dan Kak Ardan. Namun, tentang siapa saja yang pernah menjadi berharga dalam hidupku. Termasuk pria yang kini duduk tak jauh dariku.
Benar, hari ini aku tidak sendirian. Ada seseorang yang menemaniku. Bukan, lebih tepatnya menemuiku di danau ini. Setelah pesan yang kukirimkan.
Sekarang kurasa, kita telah sama-sama dewasa untuk mengerti. Bukan lagi tentang kisah masa lalu yang memenjarakan. Namun, tentang bagaimana potongan puzle itu menjadi kenangan. Tidak lebih.
"Ada perlu apa mengajak saya ke tempat ini?" Suara itu masih sama. Namun, mengapa terdengar berbeda. Aku tersenyum singkat, rasa gugup membuat bibir seolah kelu.
Apa mungkin karena aku merindukannya? Stop, Nadin! Ingat, pria itu bukan siapa-siapa lagi semenjak taaruf berakhir. Aku terus mengingatkan hati ini bahwa tidak boleh berharap lebih.
"Na--nadin, cuma mau ngasih ini." Kotak biru itu kusodorkan tepat di atas rerumputan hijau, bersamaan dengan hati yang terus bergemuruh. Mengapa aku secanggung ini berada bersamanya.
"Gantungan kunci?" Pria itu membuka kotak biruya. Tampak jelas kerutan di keningnya sebelum ia menutup kotak itu kembali.
Sebisa mungkin aku tersenyum tenang meski sebenarnya jantungku ingin berlarian. Aku harus menjelaskan sebelum pria itu salah paham nantinya. Tentang gantungan kunci itu tentunya.
"Iya, buat Kak Fatih. Gantungan itu--" Belum sempat aku menjelaskan perihal siapa yang memberikannya. Pria itu lebih dulu berbicara membuatku seketika tidak percaya.
"Berikan itu pada orang yang akan menjadi suamimu. Bukan saya." Tanpa keraguan kotak itu dikembalikan dengan seulas senyum dari sosoknya. Begitu tenang seakan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
Aku tidak bisa percaya dengan semua ini. Mengapa pria itu berkata demikian, memangnya salah jika ia ingin memberikan gantungan kuncinya.
Satu lagi, apa maksud dari ucapannya? Apa pria itu telah menolak dan memberitahu bahwa tidak ada lagi tempat untukku. Dari perkataannya jelas kehadiranku tidak pernah diinginkannya.
"Apa maksud Kak Fatih? Gantungan kunci ini bukan--" Aku masih tidak bisa menerima alasannya, semua ini tidaklah masuk akal. Namun, lagi-lagi bukan menjawab. Kak Fatih malah balik bertanya atau mungkin sudah bosan dengan kehadiranku.
"Jika tidak ada lagi? Saya harus pergi." Meskipun terdengar biasa saja, tapi aku masih tidak percaya. Aku menatap pria yang kini mengalihkan pandangannya, melirik arloji. Sakit, itu yang kurasakan. Aku tidak bisa menerima semua yang diucapkannya.
Diam seribu bahasa, aku merasa tidak punya alasan untuk mengucapkan apapun lagi. Rasanya benar-benar hancur bahkan sebelum aku berharap lebuh jauh.
Kak Fatih bangkit, sepertinya bosan karena tidak dengan keterdiamanku. Namun, apa lagi yang harus kujelaskan jika pria itu bahkan tidak ingin mendengarnya.
"Mengapa Kak Fatih berubah? Jika Nadin punya salah, Nadin minta maaf." Sebelum pergi, aku menghentikannya dengan gunaman kecil.
Kak Fatih balik menatap, tapi kali ini sangat berbeda. Tatapan yang tidak mampu kuartikan.
"Saya berubah? Menurutmu apa saya berubah?" Aku terdiam. Jawaban atau mungkin pertanyaannya membuatku tidak bisa berkata-kata.
Aku tidak pernah tahu apa yang terjadi. Mungkinkah selama aku pergi, telah banyak hal yang berubah. Namun, apakah secepat itu bahkan saat aku belum sepenuhnya bisa menghapus perasaan ini.
Kak Fatih benar-benar menghilang dari pandanganku. Tidak ada lagi yang bisa kulihat selain kekosongan.
Sekali lagi, satu kenangan terukir di tempat ini. Bukan tentang senyum kebahagian yang sebelumnya aku pikirkan. Namun, tentang satu pertanyaan yang harus bisa kupecahkan di tengah kepedihan.
Mengapa pria itu berubah?
...
"Masa sih? Itu hal mustahil banget. Aku masih gak habis pikir." Teriakan itu membuatku harus menulikan telinga. Danau yang semula hening kini berubah setelah kedatangan Putri beberapa menit lalu.
Aku telah menceritakan semua yang terjadi. Sudah tidak bisa kupendam lagi. Aku membutuhkan teman untuk berbagi. Jika kalian berpikir bahwa aku menangis? Jawabannya tidak sama sekali.
Aku bukan lagi Nadin cengeng. Setelah beberapa bulan ini kulalui, aku telah belajar banyak hal. Menangis boleh, hanya saja seperlunya. Tentang pria itu aku memcoba mengerti bahwa tidak selamanya apa yang kita inginkan bisa didapatkan. Meskipun rasanya menyakitkan.
"Apa yang mustahil? Kenyataannya dia memang berubah, Put." Sekali lagi, aku mengembuskan napas kasar. Berulang kali kucoba menerima, tapi tetap saja tidak bisa.
"Tenang aja. Nanti aku interogasi tuh orang, oke." Tatapan horor kutunjukkan pada Putri.
Meski pun alasan yang pria itu berikan tidak masuk akal. Namun, aku juga tidak akan setuju jika Putri mepertanyakannya. Aku tidak berhak untuk tahu apapun lagi. Memang siapa aku sehingga pria itu harus memberitahunya.
"Gak usah. Mungkin dia sudah punya yang baru." Saat kalimat itu terlontar, entah mengapa rasanya sangat sakit. Aku merasa bahwa memang semua telah berakhir.
Bagaimana jika itu benar? Apa aku sanggup? Sepertinya tidak. Namun, aku bisa apa.
"Yang baru apa sih, Nadin. Enggak mungkin lah." Putri menyenggol bahuku. Mungkin menurut Putri tidak mungkin, tapi kenyataannya memang seperti itu.
"Mungkin saja. Aku pernah lihat Kak Fatih sama seseorang." Putri mendekat dengan wajah yang seketika berubah. Tatapannya seolah tengah mempertanyakan sesuatu.
"Hah, kapan? Kenapa kamu gak pernah bilang?" Sudah kuduga. Putri akan menangakan hal itu. Aku masih mencoba diam, mengisi hatiku dengan oksigen di sekitar.
"Waktu itu. Di depan restoran." Aku menatap ke depan, menatap danau yang tampak dangkal jika terkena mentari.
"Apa mungkin ada gadis lain yang sudah bertaaruf atau bahkan dilamar oleh Kak Fatih?" Pertanyaanku akhirnya bisa keluar mulus dari bibir. Meskipun tanpa jawaban, aku hanya mencoba menyuarakan semuanya dalam keheningan.
"Kamu cemburu?" Pertanyaan itu sontak membuatku sedikit tersentak. Mengapa aku tidak terpikirkan sebelumnya.
Apa mungkin aku cemburu? Rasanya tidak akan seperti ini jika bukan karena aku yang jatuh cinta. Namun, aku yakin bukan itu yang aku rasakan. Aku hanya tidak terima dengan perlakuannya. Itu saja.
"Hah, aku gak cemburu. Terserah dia. Cuman kenapa harus berubah? Padahal kita bisa menjadi teman." Aku menjawabnya dengan yakin bahwa memang tidak ada apapun yang akan berubah. Kak Fatih hanya masa lalu yang tengah kulupakan.
"Yakin cuma mau jadi teman?" Aku menoleh ke arah Putri. Gadis itu tersenyum jahil, sepertinya berusaha membuatku terkecoh dengan pertanyaannya.
"Maksudnya?" Aku menyelidik. Dari tatapan itu jelas terlihat bahwa ada sesuatu yang Putri ingin katakan.
Gadis itu tertawa. Aku tidak tahu apa alasannya. Aku kembali menatap ke depan. Sebelum akhirnya bisikan di telinga membuatku membatu.
"Kalau memang beneran ada gadis lain? Apakah kamu masih mau menjadi teman?" Pertanyaan itu benar-benar menamparku keras. Mengapa aku tidak terpikir ke sana. Jika itu benar, apa aku bisa menerima?
Pria itu bisa saja telah menemukan gadis lain yang akan menjadi pendamping hidupnya. Namun, apakah semua akan sama seperti dulu atau mungkin berubah.
Putri kembali tertawa di tengah keheningan. Sepertinya gadis itu memang sangat senang melihatku dalam kebingungan. Selalu saja seperti ini, aku terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan yang hinggap di benakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Doaku, Cinta [Selesai]
Spiritual"Aku mau mengkhitbah Mala." Jatungku berdebar hebat mendengar kalimat menyesakkan itu. Ada sesuatu yang menyayat hati membuat rasanya semakin berdesir perih. Hanya dengan beberapa kata, hatiku hancur lebur. Aku yang mencintainya dalam diam harus men...