"Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi ketakutan yang membuat kita sulit."
"Karena itu jangan pernah mencoba untuk menyerah, dan jangan pernah menyerah untuk mencoba."
-Ali bin Abi Thalib r.a-...
"Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Seorang wanita harus bisa menjaga kehormatan, pandangan dan hati dari segala macam zina." Suara lemah lembut wanita bercadar itu membuat hatiku berdesir perih. Jawabannya benar-benar membuatku malu dan tetampar keras.
Pagi ini setelah mengikuti kajian bulanan. Putri mengajakku menemui Ustazah Aisyah untuk silaturahmi sekaligus berbincang-bincang. Setiap satu bulan sekali, di masjid dekat taman kota sering mengadakan kajian Islam. Kami bertiga duduk di teras masjid selesai kajian.
"Ustazah, apakah dengan bertaaruf bisa menghindari zina?" Putri kembali bertanya. Gadis itu sangat bersemangat. Binar matanya membuatku aneh.
"Bisa. Seorang laki-laki yang baik agamanya, ia akan yang menjungjung kehormatan wanita. Ia akan menjaga pandangan dan menjauhi zina dengan melakukan taaruf," lanjut Ustazah Aisyah. Entah mengapa perkataannya membuatku teringat pada pria itu.
"Nah betul apa kata Ustazah, jadi kamu harus mau taaruf," bisiknya menggoda. Benar dugaanku, gadis itu mempunyai niat lain. Ingin sekali mencakar wajahnya, Putri masih saja ingin menjodohkanku.
"Kalau boleh tau, apa salah satu dari kalian mau bertaaruf?" Suara lembut itu kembali terdengar. Beruntung pria yang menjadi suaminya. Siapa yang tidak tertarik pada Ustazah Aisyah, sungguh wanita idaman.
"Iya, Ustazah. Nadin mau taaruf dengan sepupu saya." Mataku hampir saja keluar mendengar ucapan Putri. Kalau begini aku yang malu.
"Alhamdulillah, itu bagus."
"Tidak Ustazah, itu tidak benar." Aku segera mengelak, belum siap berhubungan dengan seorang pria.
"Kenapa tidak, Nadin? Taaruf adalah jalan terbaik menjauhi zina. Jodoh tidak akan tertukar. Jika laki-laki itu jodohmu maka Allah akan memberi jalan."
"Dengar tuh, Nadin. Jangan takut untuk mencoba ya." Putri kembali menggodaku setelah mendapat pembelaan dari Ustazah Aisyah. Kalau saja hanya ada aku dan putri, sudah habis gadis itu.
Dering benda pipih berwarna putih di dekat Ustazah Aisyah menghentikan kegiatan kami. Ia menatap sekilas layar ponsel dan segera mengangkatnya.
"Tunggu sebentar." Wanita bercadar itu bangkit menjauh.
Aku segera mencubit tangan Putri, kesal hati ini. Sudah kubilang belum siap. Namun, gadis itu terus gencar ingin menjodohkanku pada sepupunya.
"Afwan, saya harus pergi. Ustad Zikri sudah menunggu diluar, lain waktu kita bisa bicara lagi." Aku dan Putri menghentikan aktivitas kami. Ustazah Aisyah mengatupkan kedua tangan. Mungkin seseorang yang menelpon tadi adalah suaminya.
"Naam, Ustazah. Terima kasih atas waktunya."
"Syukron, Ustazah." Putri ikut menimpali sebelum sosok itu mulai menjauh. Perut buncitnya tertutupi gamis kebesaran. Ustazah Aisyah memang sedang mengandung, tapi aku belum pernah bertemu dengan suaminya. Usia kami tidak terpaut jauh, hanya tiga tahun saja. Setahuku, Ustazah Aisyah menikah muda.
Sungguh, Ustazah Aisyah adalah wanita hebat. Tidak semua orang ingin menikah muda. Apalagi aku. Apa yang akan terjadi jika aku menikah muda?
"Jangan melamun, nanti kerasukan," bisik Putri membuatku terkejut. Aku kembali mencubit tangannya dengan keras.
"Aduh, sakit. Itu tangan atau otot kawat tulang besi. Kuat banget, kembaran Samson ya?" Entah itu kesal atau menggoda, Putri selalu saja membuatku naik pitam.
"Apaan sih," ucapku sedikit geram. Segera memalingkan wajah dan membereskan buku rutinan.
"Ohh aku tahu. Pasti abis makan bayam si Popay ya atau minum jamu pegel linu?" Aku menatapnya dalam, mencoba menyalurkan energi kemarahan.
"Hehe ... Gak lucu."
"Maaf deh, jangan marah. Aku kebelet nikah nih, ehh maksudnya ke toilet." Aku hampir menyemburkan tawa mendengar ucapan gadis itu. Belum sempat aku menjawab, Putri sudah bangkit terlebih dahulu.
"Tunggu aja di toko buku, Nadin," lanjutnya setengah tertahan. Aku tak mampu lagi menahan senyum geli. Apakah sedari tadi Putri menahan untuk pergi ke toilet?
Putri berlari dengan langkah seribu seperti dikejar orang gila saja. Dasar gadis aneh. Aku kembali mbereskan buku yang sempat tertunda.
Setelah selesai, aku bingung sendiri. Tunggu, apa Putri sedang mengerjaiku? Ingin menjerit sekarang juga kalau tempat ini bukan masjid.
Bagaimana aku mengangkat semuanya? Membawa 5 buku besar ini saja sudah berat, sekarang ditambah 6 buku Putri. Aku menatap seluruh penjuru, tak tampak batang hidung gadis itu. Kenapa aku bisa tertipu? Putri, lihat saja nanti.
Nasi sudah menjadi bubur. Mau tak mau, aku harus mengangkat semuanya dan pergi ke toko buku di depan sana. Sedikit demi sedikit berjalan maju. Langkah perlahan, tangan mulai gemetar dan lemas. Aku tak bisa melihat ke depan karena buku ini. Apakah masih jauh?
Brukk.
Ya Allah, remuk tubuh ini. Buku-buku habis mencium tanah. Pakaianku kotor dan wajah memanas malu. Sudah jatuh tertimpa tangga namanya. Di mana sih Putri? Aku benar-benar kesal hari ini."Afwan, saya tidak sengaja." Masih dalam keadaan menunduk, pria yang tak kukenal itu membereskan buku yang berserakan.
"Gak sengaja? Terus sekarang bagaimana dengan pakaian saya!" Aku berdiri dan sedikit menaikkan suara. Tak lupa membersihkan gamis yang kini kotor.
"Maaf, tapi ini tidak sepenuhnya salah saya," ucapnya masih tanpa menoleh. Apa dia marah? Seharusnya aku yang marah.
"Jadi saya yang salah? Eh kamu ...." Belum sempat aku menyelesaikan perkataan, pria itu bangkit.
"Ini, bukunya sudah saya bersihkan. Saya permisi." Setelah selesai berucap, pria itu pergi menjauh. Ada apa ini? Pria itu bahkan tak melihat wajahku yang sudah seperti monster ini.
Ada apa dengan hari ini, kenapa semua mendadak menyebalkan. Entah siapa pria itu, malah pergi seenaknya. Lagi-lagi aku harus kembali membawa buku-buku ini. Segera kuambil semua buku yang sudah tersimpan di tanah.
Menelanjangi seluruh penjuru untuk mencari Putri, aku butuh bantuannya sekarang. Kemana gadis itu, aku harus menemukannya.
Pandanganku tertuju pada satu arah. Pria itu? Kenapa ada di sini dan menatap ke arahku. Segera kutundukkan kepala dan menghirup udara di sekitar dengan rakus. Wajah marah berubah menjadi memanas. Sepertinya dia melihat semua kejadian tadi.
Dia? Lagi.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Doaku, Cinta [Selesai]
Espiritual"Aku mau mengkhitbah Mala." Jatungku berdebar hebat mendengar kalimat menyesakkan itu. Ada sesuatu yang menyayat hati membuat rasanya semakin berdesir perih. Hanya dengan beberapa kata, hatiku hancur lebur. Aku yang mencintainya dalam diam harus men...