1. Jatuh Sebelum Cinta

6.6K 448 5
                                    

"Jika jatuh sebelum cinta rasanya menyakitkan, maka bagaimana rasanya jatuh setelah cinta?"

...

Aku tak pernah mengerti apa itu cinta? Bagaimana itu cinta? Seperti apa rasanya cinta? Namun, hari ini sebelum mengerti kata cinta aku telah jatuh lebih dulu. Aku jatuh sebelum cinta pada sosok pangeran yang tak mungkin kumiliki.

Ardan Al-Fiqram Sidiq, itulah namanya. Sosok pangeran di masa kecil yang diam-diam kucintai. Aku tak tahu, apakah ini yang dinamakan cinta karena saat itu usiaku masih terbilang kanak-kanak, tapi sampai sekarang rasa ini tak pernah hilang dalam hatiku.

Hingga hari ini, ketika ia mengatakan padaku bahwa dirinya akan mengkhitbah seseorang dan itu bukan aku. Aku jatuh, benar-benar jatuh dalam harapan sebelum mengutarakan perasaan. Aku patah hati bahkan sebelum kata cinta itu terucap, mungkin ini hukuman dari-Mu karena aku telah menduakan cinta pada seorang manusia. Aku telah menuai cinta dan melupakan cinta yang sesungguhnya.

"Nadin! Awas kecoa!" Suara nyaring seseorang menyadarkanku dari lamunan singkat, hampir saja jantungku keluar karena terkejut.

"Hah? Kecoaaa ...." Dari dulu aku sangat membenci hewan yang satu ini. Saking takutnya, aku berlari dan jatuh di atas tempat tidur. Untung jatuh di kasur kalau di lantai bisa-bisa remuk seluruh tubuhku.

"Hahaha ... lucu banget sih." Tawa menggelegar menghidupkan ruangan sunyi ini, gadis itu mendekat dan duduk di sampingku.

"Putri! Apa sih ganggu banget," ucapku kesal. Bisa-bisanya gadis ini dengan polosnya memakan cemilan setelah membuatku setengah jantungan. Segera kuambil alih keripik di tangannya sebagai bayaran atas keterkejutanku.

"Nadin! Siniin gak keripiknya." Teriak Putri -sahabatku.

Selain Kak Ardan aku juga mempunyai satu sahabat baik, bedanya gadis bernama lengkap Putri Anzania Hafizah ini adalah sahabatku sejak menginjakkan kaki di kampus.

"Gak mau, siapa suruh ngagetin." Aku menjauhkan keripik itu dari Putri dan tertawa puas melihatnya memajukan bibir kedepan, dengan adanya Putri bisa membuat kesedihanku sedikit berkurang.

"Makanya jangan ngelamun terus. Ini udah malam, kamu gak akan pulang?" Gadis itu duduk sepertinya menyerah karena tak bisa mengambil jatah perutnya.

"Jadi ngusir nih ceritanya?" Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil memakan keripik buatan ibunya Putri. Malam ini, aku sedang berada di rumah Putri lebih tepatnya sedang duduk di tempat tidur sahabatku ini.

"Emangnya bunda gak khawatir?" tanya Putri. Bunda adalah panggilan untuk ibuku dan Putri juga memanggilnya dengan sebutan yang sama.

"Tenang aja, aku udah bilang sama bunda kalau aku mau menginap di rumah kamu."

"Pasti lagi ada masalah benar bukan?" Lagi-lagi aku mengangguk, malas menjawab pertanyaannya. Aku menyimpan mangkuk keripik yang sudah kosong dan meminum habis air putih yang sudah tersedia di atas meja.

"Sudah kuduga. Lihatlah dirimu ini, mata sembab, hidung merah dan suara serak persis kayak orang gila. Kenapa? Apa karena Kak Ardan?" Ini yang paling aku suka dari Putri, sikap bawelnya yang persis seperti ibu-ibu pasar.

"Bilang apa tadi hah?" Aku segera naik ke atas tempat tidur dan merebahkan tubuh. Sunggu nikmat mana lagi yang kau dustakan, tiduran di kasur yang empuk adalah surga dunia bagiku.

"Maaf, Cantik. Memangnya ada masalah apalagi dengan Kak Ardan?" Putri ikut berbaring dan kembali bertanya.

"Yah, Put. Kamu sendiri pasti tahu jawabannya." Benar sekali, aku selalu menceritakan apapun pada Putri termasuk perasaan yang kusimpan sejak lama untuk Kak Ardan. Putri adalah pemegang rahasia terbesarku.

"Pasti Mala lagi. Gadis itu selalu saja bisa mengalahkanmu dalam segala hal, wajar saja dia memang cantik dan baik."

"Kamu ini sahabat atau musuhku sih, Put?" Aku bangun dari tidur dan duduk dengan memegang bantal, siap untuk berperang dengan Putri.

"Haduh sensi banget sahabatku ini, cepet tua loh. Emang kenapa dengan Mala?" Putri mengambil bantal satunya lagi dan menjadikannya sandaran.

"Kak Ardan mau mengkhitbah Mala," jawabku mencoba biasa saja padahal sebenarnya hati ini berdesir perih.

"Hah! Serius?" Putri sepertinya tak percaya mendengar ucapanku. Gadis itu mendekat masih dengan raut keterkejutannya.

Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya kemudian menunduk dalam-dalam. Sudah cukup, kalau aku terus berbicara maka air mata ini pasti meminta untuk keluar.

Putri langsung mendekapku, tangannya memeluk erat hingga membuatku sulit untuk bernapas. Namun, pelukannya membuatku menjadi lemah, lagi-lagi aku kembali menangis.

"Sabar Nadin, aku tahu ini pasti sulit. Jika dia jodohmu maka Allah akan mendekatkannya, jika bukan maka ikhlaskan. Sahabatku ini orang yang kuat, apalagi cuma masalah cinta-cintaan." Putri kembali memeluk erat, ucapannya memang benar. Gadis itu bukan hanya sahabatku, melainkan ia sudah seperti saudara.

"Semoga." Aku kembali terisak mendengar perkataan Putri, rasanya tak sanggup. Apakah aku siap untuk melepaskan seseorang yang telah lama menetap dalam hatiku? Jangankan melepaskan, sekarang saja aku sudah memikirkannya. Apakah dia sudah mengkhitbah Mala? Apakah sekarang dia sudah bahagia bersama Mala? Lalu bagaimana hatiku?

Satu Doaku, Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang