"Jika kamu bahagia dan teringat seseorang, itu artinya kamu mencintai orang itu. Jika kamu bersedih dan teringat seseorang, itu artinya orang itu mencintaimu."
-Ali Bin Abi Thalib-...
Sore ini, aku berada pada tempat yang sama. Kursi panjang di pojok sebuah kedai kopi dengan tampilan batik khas pada dindingnya.
Aku kembali menatap sekeliling, pada frame dan hiasan lampu dengan bunga plastik dalam keranjang putih. Ingatanku menyeruak, menyelami dinginnya masa lalu. Ketika seseorang memberikan proposal taaruf di tempat ini.
Benar, Kak Fatih. Sosok yang menjadi perbincangan atas hatiku. Akhir-akhir ini aku selalu memikirkannya, apalagi setelah semua yang terjadi.
Aku tak tahu lagi akan ke mana perahu ini berlayar karena arahnya sudah hilang. Namun, apapun yang terjadi aku telah memilih jalannya.
"Nadin, itu kopinya diminum nanti keburu dingin." Lagi-lagi suara bariton itu membuatku tersadar. Aku mengambil cangkir putih itu dan menenguk manisnya. Hari ini, aku tak lagi meminum pahitnya espresso karena semua ini sudah cukup kuteguk.
Pria dengan setelan kemeja hitam maroon itu ternyum simpul. Sesekali, ia menyatukan kedua tangannya yang menempel di meja lalu kembali menggerak-gerakan tangan. Aku tersenyum singkat melihat Kak Ardan yang tampak gugup.
"Terima kasih, Nadin." Aku mengangguk sebagai jawaban kemudian mengalihkan pandanganku pada sesuatu di meja. Tempat merah dengan kristal itu masih utuh menyimpan lingkar peraknya, pada satu permata yang indah.
Rasanya tak mampu dipercaya, Kak Ardan melamarku di danau bening itu, bersamaan dengan datangnya Kak Fatih yang memintaku pada ayah. Namun, lagi dan lagi kenyataan menamparku tanpa henti. Hingga akhirnya inilah pilihanku.
Suara gesekan antara kayu dan lantai terdengar, bertepatan dengan kehadiran seseorang yang terlihat pada kacanya. Fokusku tersadarkan ketika pintu terbuka, di mana sosok itu dapat kulihat. Di belakangnya, dua orang mengikuti.
Dalam beberapa detik, aku terkesima. Netraku tak dapat teralihkan pada pria pemilik tatapan tajam yang terlihat sendu. Namun, setelahnya aku menundukkan pandangan, mencoba menetralkan degup yang bergemuruh.
Kak Fatih, ada di sini. Dari semua tempat di kota ini, kenapa aku harus bertemu dengannya. Apakah ini sebuah kebetulan atau takdir. Apakah tak ada tempat lain, kenapa dia harus berada di sini pada waktu yang sama?
"Nadin, ada apa?" Suara bariton itu mengejutkanku, ia mengerutkan keningnya pertanda bingung.
"Eh, anu-- enggak kok. Gak ada apa-apa." Aku hanya mampu tersenyum canggung. Untung saja Kak Ardan tak melihat Kak Fatih karena posisinya membelakangi. Jika tidak, semua akan berakhir.
Pria itu tampak menelisik, tak percaya akan jawabanku. Aku mengalihkan pandangan, tapi lagi-lagi netraku menemukan sesuatu jauh di depan sana. Pria yang tak ingin kulihat kehadirannya tengah duduk di kursi bersama Putri dan Zahira.
Lagi-lagi aku merasakan suasana mendadak panas, ada sesuatu yang membuatku hancur. Setelah semua ini, bolehkah aku cemburu? Mereka tampak serasi.
"Kamu gak lagi sakit 'kan? Itu mukanya pucat banget." Aku kembali menunduk dalam-dalam setelahnya mencoba tersenyum pada pria di depanku ini.
"Nadin gapapa kok, Kak." Kak Ardan masih menelisik, kemudian ia menatap lekat membuatku cepat-cepat menunduk lagi. Sepertinya pria itu tak percaya dengan jawabanku.
"Beneran? Kalau sakit kita pulang aja ya." Suara itu berubah lembut, tapi mana bisa aku melakukannya.
Aku tersenyum, meski sebenarnya dalam lubuk hati ada sesuatu yang teriris. Melihat Kak Fatih membuatku kembali dihantam ribuan sesak yang tak tampak.
"Jangan, Kak. Nanti semuanya jadi berantakan. Lagian Nadin gapapa kok."
"Nadin izin ke toilet bentar ya, Kak." Aku mengalihkan pembicara sekaligus mengakhirinya. Pria itu menganggukan kepalanya, aku segera bangkit dan secepatnya pergi.
...
Di sinilah aku sekarang, tempat yang setidaknya jauh dari seseorang. Aku bisa bernapas lega karena tak ada orang di sini.
Sekilas, pantulan bening di depanku tampak lebih mengerikan. Seseorang dengan mata yang sedikit sembab dan hidung merah terlihat kentara. Mengapa aku sangat mudah menangis? Cengeng.
Aku menghidupkan kran air, mencuci muka setelahnya mengambil tisu untuk membersihkannya. Tak ingin ada orang yang melihatku menangis, bagaimanapun telah kuputuskan. Semua tak lekang dari porsi dan resikonya.
"Kak Ardan pasti nunggu lama, aku harus pergi sekarang." Setelah memastikan semuanya benar-benar baik. Aku mencoba tersenyum samar kemudian melangkah ke luar.
Sekali lagi, aku membenarkan gamis navy dan khimar senada sebelum pergi. Namun, suara seseorang yang tak jauh dari sini membuatku terkejut.
"Nadin!" Aku terhenti, tapi tak mampu berbalik. Seolah langkahku tertancap tanah, aku diam seribu bahasa. Suara itu sangat kuhapal dan ... kurindukan.
Berkali-kali, aku mencoba menetralkan degup yang terus bergemuruh. Mengambil oksigen di sekitar dengan rakus. Namun, belum sempat melangkah, suara itu kembali menginterupsi.
"Nadin, tunggu!" Langkah kakinya terdengar mendekat dan saat itu juga hatiku benar-benar kalut. Aku takut menyakitinya semakin dalam. Aku mencintainya, tapi tak mungkin bisa menjadi seseorang yang dicintainya.
Aku menunduk dalam, bening di mata tak mampu dicegah datangnya. Dengan kasar, aku menghapunya sebelum Kak Fatih melihatnya. Tidak Nadin, jangan terlihat lemah di depannya!
"Bisa kita bicara sebentar? Ada yang ingin saya bicarakan." Suara itu terdengar sedikit berbeda, aku dapat mendengarnya mengembuskan napas pelan.
Aku memejamkan mata, hati dan pikiranku terus berdebat. Jika saja boleh memilih, aku ingin bersamanya. Namun, ada seseorang yang mungkin akan patah jika itu terjadi. Putri, sahabatku.
Aku tahu. Tak seharusnya aku memutuskan bahkan sebelum mendengar kebenarannya. Namun, apakah aku akan kuat mendengar kebenaran itu? Aku hanya tak ingin tertampar berkali-kali dengan kenyataannya.
Entah mengapa hatiku yakin bahwa Putri adalah orang yang pernah bertaaruf dengan Kak Fatih. Apa aku telah keliru? Kurasa tidak. Lembar foto dan kejadian di dermaga waktu itu telah menjadi jawabannya.
"Maaf, Kak Fatih. Nadin harus pergi sekarang." Aku pergi tanpa mampu menoleh, kepingan-kepingan itu telah hancur.
Lagi-lagi aku menangis dalam diam, semoga ia tak melihatnya. Aku berlari secepat mungkin, tak peduli orang-orang di sekitar yang menatapku aneh. Cukup, untuk hari ini. Aku tak ingin terus menyakitinya dan Putri. Biarlah aku yang menelan pahitnya, jangan mereka.
Langkahku terhenti beberapa meter di dekat kedai. Aku hampir saja lupa. Aku tak mungkin menemui Kak Ardan dalam keadaan seperti ini.
Tak ada cara lain, aku mengambil benda pipih di dalam tas dan mengetikkan pesan di sana. Aku tak ingin membuat Kak Ardan khawatir karena kepergianku. Saat ini aku perlu waktu untuk sendiri.
Aku hanya ingin mencari ketenangan sebelum kembali berperang dengan hati dan pikiranku sendiri.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Doaku, Cinta [Selesai]
Spiritual"Aku mau mengkhitbah Mala." Jatungku berdebar hebat mendengar kalimat menyesakkan itu. Ada sesuatu yang menyayat hati membuat rasanya semakin berdesir perih. Hanya dengan beberapa kata, hatiku hancur lebur. Aku yang mencintainya dalam diam harus men...