14. Salah Tingkah

3.3K 312 7
                                    

"Allah tidak akan mengambil sesuatu melainkan dia menggantikannya dengan yang lebih baik, sesungguhnya rencana Allah itu indah."
-Habib Ali Zaenal Abidin A-

...

Hening, aku tak tahu harus bertaka apa. Satu mobil dengannya membuatku mati kutu. Jika saja ada Putri, mungkin akan lebih ramai, tapi gadis itu pulang bersama orangtuanya.

Sebelumnya, pria itu lebih dulu menolak karena tak ingin berdua bersama wanita yang bukan mahramnya. Memangnya aku mau? Aku juga tak mau jika bukan karena Tante Nabila yang menyuruh.

Setelah dengan beberapa perdebatan, di sinilah aku sekarang bersama dengannya dan si kecil yang sudah terlelap. Aku lebih memilih duduk di belakang ditemani Zahira.

"Ira sudah tidur?" Pria itu sekilas melirik ke belakang, di mana aku tengah memangku Zahira.

"Iya, mungkin kecapean," jawabku sedikit canggung. Pria itu tak lagi berucap, hening kembali tercipta.

Aku masih diam, memikirkan sesuatu yang mengganjal di hatiku. Rasa penasaranku kembali datang, tentang siapa gadis yang pernah dilamar oleh Kak Fatih. Apa sekarang waktu yang tepat untuk menanyakannya?

"Kak Fatih, Nadin boleh tanya sesuatu gak?" tanyaku sedikit pelan, takut Kak Fatih tersinggung. Aku hanya ingin memastikan satu hal sebelum memberikan jawaban padanya.

"Tanya apa?" Kak Fatih balik bertanya, nada datarnya membuatku ingin mengurungkan niat. Namun, rasa penasaranku jauh lebih besar.

"Dulu 'kan Kak Fatih pernah taaruf ... kenapa bisa dibatalkan?" Aku sedikit menjeda perkataanku setelah melihat raut wajahnya yang berubah tiba-tiba.

"Mau tahu?" Lagi-lagi ia balik bertanya dengan nada datarnya. Ihh, dasar. Gak bisa apa manis dikit, protesku dalam hati.

"Iya, soalnya aneh aja gitu. Kok bisa dibatalin." Aku mengeluarkan unek-unekku. Kak Fatih diam, kemudian kembali berucap.

"Kamu bisa tanya sama Putri, dia juga tahu." Aku mengerucutkan bibir, kesal karena ia menyuruhku bertanya pada Putri.

"Yahh, Kak Fatih 'kan tahu sendiri Putri orangnya gimana, mana bisa diajak serius."

"Mau diseriusin?" Suaranya mulai melembut dan itu membuatku sedikit tertegun. Apa katanya tadi?

"Eh, kok jadi ke sana." Aku mengelak kemudian memalingkan muka.

"Terus?" ucapnya sembari menahan senyum, aku benar-benar kesal dan malu. Kenapa sikap Kak Fatih tak bisa ditebak, kadang datar kadang pula lembut.

"Bukan maksud itu juga." Aku masih memalingkan muka, tak ingin melihatnya.

"Jadi gak mau diseriusin?" Seketika aku melotot mendengar pertanyaannya. Apa maksudnya? Jangan bilang Kak Fatih mau membatalkan taarufnya.

"Ihh, bukan gitu! Kak Fatih ngeselin deh, sama kayak Putri." Kak Fatih tak bisa menahan tawanya lagi dan itu membuatku salah tingkah.

Aku kembali memalingkan muka, antara malu dan kesal. Sekilas, aku menatap Zahira yang tertidur pulas dipangkuanku. Untunglah, ia tidak bangun karena perdebatanku dengan Kak Fatih.

"Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Harusnya kamu bersyukur. Coba kalau gak batal, kita gak mungkin taaruf 'kan?" Aku tertegun mendengar perkataannya. Memang benar jika taaruf itu tidak batal mungkin aku tak akan bertemu dengannya.

Malam ini, kak Fatih berubah manis dan dewasa. Itu membuatku tak bisa menyembunyikan senyum dan sekarang saatnya untukku untuk membalas.

"Aku belum bilang loh mau nerima taaruf dari Kak Fatih." Akhirnya aku bisa membuat pria yang tengah menyetir itu bungkam. Senang rasanya bisa mengerjainya, siapa suruh membuat seorang Nadin kesal.

"Oh, ya sudah," ucapnya kembali datar, apa aku salah bicara ya?

"Eh, Kak Fatih marah ya?" Pria menggelengkan kepala, tak sedikit pun melirik ke arahku. Bagaimana kalau Kak Fatih marah dan membatalkan taarufnya? Ah, Nadin kenapa kamu bisa ceroboh sih.

"Kak Fatih jangan marah ya, 'kan tadi bercanda doang," ucapku sedikit memelas. Aku tak bisa membayangkan jika pria itu benar-benar membatalkannya.

"Jadi itu artinya ...?" Kak Fatih menyeritkan dahi dan menahan senyum.

"Eh, gak." Aku mengeleng-gelengkan kepala. Aku tahu apa yang dipikirannya saat ini. Aduh, kok cewek selalu salah ya?

"Atau mau langsung dihalalin? Saya bisa langsung berkunjung ke rumah kamu."

"Apa sih Kak Fatih." Aku kembali memalingkan muka, kenapa pria itu selalu bisa membuatku salah tingkah. Baru taaruf saja membuatku jantungan, apalagi kalau sudah nikah. Eh, memang aku siap dinikahin.

"Itu wajah kenapa merah?" Repleks aku memegang kedua pipi dan benar saja panas. Aduh pasti sekarang aku semerah tomat. Ihh, Kak Fatih!

"Enggak, kok." Aku menutup wajah dengan kedua tangan, tak ingin melihatnya. Dapat kudengar pria itu tertawa lepas dan rasanya ingin cepat pergi dari sini.

"Nadin?" Suara bariton kembali terdengar membuatku semakin kesal. Kenapa pria itu suka sekali menggodaku.

"Apalagi sih, Kak Fatih." Aku menatap ke depan, di mana Kak Fatih juga tengah menatapku. Aduh, kenapa jadi panas dingin.

"Sudah sampai, kamu gak mau turun?" Apa katanya tadi, sudah sampai? Aku menatap sekitar, rumah minimalis dengan dua lantai dan benar saja. Mengapa aku tidak menyadari padahal suara mesin mobil sudah tak terdengar.

"Eh, sudah sampai ya?" Pria itu mengangguk. Lagi-lagi aku menanyakan pertanyaan yang sudah kutahu jawabannya.

"Ah, iya. Aku keluar sekarang. Ini Zahiranya?" Aku keluar mobil masih dengan memangku Zahira.

"Pindahkan ke depan saja." Aku mengikuti interupsinya, memindahkan Zahira ke depan.

"Oh, oke. Sudah ya?" tanyaku sedikit canggung. Aku masih diam di tempat, tak tahu harus berbuat apa.

"Sudah apa?" Pria itu balik bertanya dan sukses membuatku takut.

"Kak Fatih, gak ada niatan buat ketemu orang tua Nadin sekarang 'kan?"

"Kenapa tidak," ucapnya disertai senyum usil. Aku membulatkan mata setelahnya menggeleng cepat.

"Ihh, jangan!" Aku benar-benar tak habis pikir dengan pria itu. Aku belum siap. Kak Fatih kembali tertawa dan membuatku kesal entah untuk keberapa kalinya.

"Iya-iya, saya pulang. Kasihan Zahira sudah tidur." Setelah berucap, pria itu menyalakan mesin.

"Kak Fatih, tunggu!" Pria itu menoleh dan menyeritkan dahi seolah bertanya.

"Nadin terima taaruf dari Kak Fatih." Aku langsung berlari setelah mengucapkannya. Tak ingin melihat reaksinya karena aku benar-benar malu.

Setelah masuk ke rumah, aku menyandarkan diri di pintu. Hatiku tak karuan, antara bahagia, tenang dan malu. Aku tak tahu apa yang akan terjadi setelah itu, tapi semoga ini yang terbaik.

Bunyi dari benda pipih seketika membuatku salah tingkah. Nama seseorang tertera di sana. Bagaimana ini? Aku masih salah tingkah jika harus mengangkat telponnya sekarang.

Apa yang harus kulakukan?
Kak Fatih, aku malu.

...

Satu Doaku, Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang