"Apapun yang akan menjadi takdirmu, kelak akan menemukan jalannya untuk menemukanmu."
-Ali bin Abi Thalib-...
Seberkas sinar menyilaukan mataku. Aku terbangun di ruangan bernuansa putih. Tepat di sampingku, seseorang tersenyum. Senyuman yang selalu membuatku candu.
Aku memaksakan untuk bangun. Namun, pening kembali menggelayuti. Pria itu memegang pundak dan menyandarkanku di tepian tempat tidur.
"Tidurlah, Humaira. Kamu masih harus beristirahat." Aku menggeleng lemah. Rasanya aku sudah tidak kuat lagi untuk tidur. Mengapa kepalaku terasa sangat pusing?
"Astagfirullah. Mereka? Acaranya. Bagaimana ini?" Dengan cepat aku bangkit ketika terlihat senja lewat jendela. Mengapa aku bisa melupakannya? Aku seharusnya ada di sana sampai akhir.
"Acaranya sudah selesai. Tenanglah, semua berjalan dengan baik." Aku mulai bisa bernapas lega, meski rasanya tetap tidak adil. Aku tidak bisa menyaksikan separuh kebahagiaannya lagi. Ternyata benar, penyesalan selalu datang di akhir.
Aku kembali diam. Meskipun sedikit tak terima. Namun, semuanya sirna berganti dengan kebisuan ketikan tangan itu melingkariku. Ragaku mematung bertolak belakang dengan dada yang bergemuruh.
"Ada apa?" Masih dalam keterkejutan aku bertanya. Semua ini masih belum bisa diterima akalku. Pria itu memelukku. Apakah ini bagian dari kekhawatirannya?
Aku balas memeluknya. Entah apa ini, rasanya aku tak ingin melepaskan pelukannya. Aku nyaman berada dalam dekapannya. Bahkan wangi parfumnya terasa menggelitiki penciumanku.
"Terima kasih untuk hadiah ini, Humaira." Aku membuka kelopakku. Sungguh, aku tak mengerti maksudnya.
"Hadiah?" Mengapa pria itu berubah aneh. Sikapnya juga membuatku bertanya-tanya. Lalu sekarang apa? Seingatku. Aku tidak memberinya hadiah apapun.
Ia melepaskan pelukannya. Tidak, aku masih ingin memeluknya. Sebenarnya ada apa dengan diriku ini? Dari balik sakunya, ia mengambil selembaran kertas. Aku membukanya. Tepat di pojok kanan, semuanya pertanyaanku terjawab.
Allahu Akbar. Aku membeku. Satu tetes jatuh kembali membasahi pipiku. Aku menatapnya dan ia menganggukkan kepala. Membenarkan apa yang ada dalam hatiku.
Tidak. Hari ini aku tidak akan mencegah air mata yang meluruh. Aku menangis menumpahkan semua rasa yang bersemayam. Apa aku tengah bermimpi?
Benarkah di rahimku sosok kecil telah Allah titipkan?
Lamunan singkatku membuyar seketika. Seseorang telah menggerak-gerakkan tanganku. Aku mengerjap beberapa kali, kembali ke dunia yang sesungguhnya.
Gadis kecil berpipi gembul yang bulan lalu empat tahun itu menampakkan binar beningnya. Benar-benar membuatku terpana beberapa saat. Bagaimana mungkin aku lupa. Beberapa tahun lalu sosok kecil telah menempati rahimku.
"Ummah?" Suara itu terdengar memikat hatiku. Tingkahnya memainkan piyama doraemon itu membuatku ingin memeluknya.
"Sayangnya ummah kenapa belum tidur?" Aku berjongkok. menyamakan tinggiku dengannya. Sembari mengelus pipinya, aku manatapnya lamat-lamat.
"Ummah belum dongengin Lania. Jadi lania gak bisa tidul." Sembari memajukan bibir mungil itu, ia menyilangkan tangannya. Sungguh menggemaskan. Jangan lupakan cara bicaranya? Bagaimana bisa aku tidak ingin mencubitnya.
"Maafin ummah, Sayang. Ummah lupa. Sekarang kita ke kamar Rania. Rania mau dongeng apa?" Aku mengamit tangannya. Berjalan menuju kamar putri kecilku.
![](https://img.wattpad.com/cover/206552140-288-k454383.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Doaku, Cinta [Selesai]
Spiritual"Aku mau mengkhitbah Mala." Jatungku berdebar hebat mendengar kalimat menyesakkan itu. Ada sesuatu yang menyayat hati membuat rasanya semakin berdesir perih. Hanya dengan beberapa kata, hatiku hancur lebur. Aku yang mencintainya dalam diam harus men...