13. Pertanyaan Horor

3.5K 321 9
                                    

"Jika tanganmu pendek untuk membalas kebaikan seseorang, maka panjangkan lisanmu untuk mendoakannya."
-Habib Ali Al-Jufri-

...

"Nadin, ke depan yuk. Bentar lagi mulai." Putri menepuk pundakku dan tersenyum singkat.

Malam ini, aku berada di rumah Tante Nabila untuk menghadiri acara syukuran Zahira yang ke lima tahun. Aku tak tahu mengapa Tante Nabila mengundangku padahal hanya kerabat dekatnya yang hadir, mungkin karena aku sahabatnya Putri.

Aku mengikuti Putri dari belakang, gadis itu berjalan ke arah kerumunan. Di sana semua telah berkumpul menemani si kecil Zahira yang terlihat cantik memakai gamis putih dan kerudung senada dengan tiara kecil, mirip princess. Duduk bersama anak-anak yatim yang telah diundang untuk memeriahkan acara ini.

Aku kembali menatap seluruh penjuru, semua telah berada di ruangan, tapi aku belum menemukan seseorang yang kucari.

Setelah tadi siang Kak Fatih mengantarkanku dan Putri ke rumah ini, aku tak melihatnya lagi. Entah ke mana pria itu sekarang. rasanya aku sedikit merindukannya?

"Nadin, ayo duduk di sini." Tante Nabila menepuk-nepuk tempat di sampingnya. Aku tersenyum kemudian menghampiri wanita dengan gamis putih itu sementara Putri berjalan ke depan sebagai pembawa acara.

Acara berjalan dengan lancar. Zahira dan anak-anak lainnya membacakan surat-surat pendek dengan semangat. Tak lupa Om Adam -ayah Zahira menutup acaranya dengan membacakan doa.

"Umi, nasi kotaknya sudah ada di depan." Suara di belakang membuatku tersentak kaget. Aku menoleh dengan cepat, dan benar pria itu berada tak jauh dariku.

"Alhamdulillah, ayo." Tante Nabila bangkit dari duduknya.

"Tante, boleh Nadin bantu?" Aku bangkit dan menghampiri Tante Nabila.

"Boleh-boleh, ayo kita ambil di luar." Aku mengangguk kemudian mengikutinya dari belakang. Kami berjalan ke arah parkiran, di sana beberapa mobil terparkir. Pantas saja Kak Fatih tidak terlihat sejak tadi ternyata disuruh Tante Nabila mengambil pesanan.

"Aduh, Tante lupa ambil amplop di kamar. Kalian bawa nasi kotaknya berdua gapapa 'kan?" Suara Tante Nabila kembali menginterupsi.

"Ah, iya. Gapapa, Tante." Aku tersenyum canggung, kenapa jadi berdua? Aku mengembuskan napas gugup, Tante Nabila sudah masuk lebih dulu.

Aku melirik sekilas di mana Kak Fatih tengah mengambil beberapa bungkus plastik besar berwarna merah yang berisi nasi-nasi kotak. Sekarang aku bingung harus berbuat apa, kalau begini caranya mending aku tidak ikut sama Tante Nabila tadi.

"Mau diam atau ikut masuk ke dalam?" Suara bariton menyadarkanku dari lamunan.

"Diam aja sama Kak Fatih," ucapku. Pria itu menatap ke arahku dengan senyum selidik membuatku brigidik ngeri.

"Apa?" Pria itu balik bertanya dan membuatku seketika sadar. Apa yang kukatakan tadi? Aku segera membekap mulut dengan kedua tangan.

"Eh, maksudnya ikut ke dalam." Sekali lagi, pria itu tersenyum dan membuatku salah tingkah.

"Ya sudah ayo." Kak Fatih memberikan satu kantong plastik besarnya dan berjalan meninggalkanku.

"Kak Fatih, tunggu!" Aku mengikutinya dari belakang, sementara pria itu tak menoleh sedikit pun. Dasar pria menyebalkan.

Kami berhenti tepat di dekat Tante Nabila dan Zahira yang sudah berdiri untuk memberikan amplop.

"Adik-adik, sini baris ya." Putri merapihakan sekumpulan anak-anak tadi. Setelah dirasanya rapi, ia kembali berucap.

"Sebelum pulang, ada sedikit rejeki buat kalian semua. Mohon doanya untuk Zahira agar diberi umur yang panjang, diberi kesehatan dan dijadikan anak yang shalehah."

"Aamiin," ucap mereka serempak, Putri menyuruh semua kembali berjajar untuk bersalaman dan mengambil nasi kotak dan amplop.

Beberapa menit kemudian sesi foto dilaksanakan. Setelahnya mereka dipersilakan pulang ke rumah masing-masing.

"Ciee yang abis berduaan sama si pangeran kodok," ucap Putri di sebelahku.

"Apa sih, Put." Aku kembali fokus membereskan sisa nasi kotak di meja, mengalihkan perhatiannya.

"Ululu, nenek sihir bulshing. Abis makan apa tuh. Makan cinta ya?" Putri menyenggol tubuhku dan tersenyum jahil. Aku mengerucutkan bibir, kesal karena ulahnya.

"Ih Putri, gak lucu." Aku berlari ke dalam untuk menghindari Putri karena jika tidak, ia pasti semakin menggodaku.

"Nadin, ayo sini. Kita makan dulu," ucap Tante Nabila. Aku menatap ke depan di mana semua orang sudah siap di meja makan. Sepertinya aku salah tempat.

"Ayo, Nadin." Putri datang dan menarikku untuk segera duduk. Sebagian kerabat Tante Nabila sudah pulang lebih dulu, hanya tersisa keluarga Tante Nabila dan keluarga Putri.

Aku makan dalam diam, tak tahu harus bicara apa. Mengingat aku bukan siapa-siapa di sini. Aku pun tak ingin mengangkat wajah, mengingat pria itu duduk di depanku.

"Oh ya, Nadin. Gimana taarufnya sama Fatih?" Seketika tenggorokanku tersedak, sakit sampai tak mampu berkata. Aku mengambil air minum dengan cepat, kenapa mereka bisa tahu?

"Umi, tahu dari mana?" Suara bariton itu terdengar. Tunggu, Kak Fatih tidak memberi tahu?

"Tuh, Putri." Aku menatap Putri dengan horor, sementara gadis itu mengangkat kedua jari tangannya.

"Alhamdulillah. Ibu setuju banget kalau kamu pilih Nadin." Aku hanya tersenyum canggung mendengar perkataan Ibu Aisyah -Ibu Putri.

"Fatih, jadi mau kapan kamu lamar Nadin?" Tante Nabila kembali bertanya dan suskses membuatku kelabakan. Aku gugup jika diberi pertanyaan seperti ini.

"Fatih kapan pun siap, gimana Nadinnya, Umi." Aku tertegun mendengar kesungguhan dari nada bicaranya. Kak Fatih tidak main-main dengan hubungan ini, lalu aku harus apa?

"Nadin, gimana?" Aku tersadar dan mau tak mau menatap ke depan, meminta jawaban dari Kak Fatih. Semetara pria itu malah tersenyum karena berhasil membuatku berada di situasi ini.

"Kita baru saling mengenal Tante. Nadin juga harus selesaikan kuliah dulu. Jika sudah sama-sama siap. In syaa Allah, secepatnya."

"Bi idznillah, kalau jodoh gak akan kemana. Ibu dukung keputusan kalian berdua." Aku kembali tersenyum.

Setelahnya, mereka kembali membicakan hal lain. Untung saja pembahasan soal itu tidak berlanjut, jika tidak bisa mati kutu aku. Aku kembali melanjutkan makan dan sekilas melirik Putri yang sedari tadi tak mengeluarkan suara.

"Putri," bisikku pada Putri yang terlihat sedang memikirkan sesuatu. Gadis itu sedikit terkejut kemudian tersenyum tanpa dosa.

"Aduh, ada apa Nadin cantik? Aku lagi makan nih." Aku menyeritkan kening, bingung. Makanan dalam piring Putri suda habis, lalu apa yang dia makan?

"Makan apa? Piring?" Aku kembali bertanya dan membuat Putri mengerucutkan bibir.

"Ya kali aku makan piring, maksudunya bingung mau nambah apa lagi." Aku mengangguk tanda mengerti, ada-ada saja Putri ini.

"Nadin, kamu pulang diantar sama Fatih ya?" Sendok di tangan terhenti. Aku kembali dibuat terkejut dengan permintaan Tante Nabila. Bagaimana ini, apa yang harus kulakukan?

...

Satu Doaku, Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang