20. Lembar Foto & Realita

3.3K 288 8
                                    

"Biarlah kita kehilangan sesuatu karena Allah, tapi jangan kita kehilangan Allah karena sesuatu."
-Habieb Syech bin Abdul Qadir A-

...

Kilau di atas sana tak lagi terpancar, cahayanya tengah bersiap untuk pulang menuju ufuk. Aku tak mampu menahan gundah. Tak bosan-bosannya, aku melirik sesuatu yang melingkar di pergelangan, berharap waktu bisa melambat.

"Terima kasih, Pak." Aku memberikan tiga lembar uang berwana hijau sebelum keluar dari mobil. Setelahnya aku kembali meneruskan langkah. Aku harus cepat-cepat menemukan tempatnya.

Sekali lagi, aku menatap lembar foto itu. Sebuah dermaga tua di mana dua sosok mengabadikan momennya. Feelingku mengatakan bahwa Putri ada di sana, sebelum terlambat aku harus meluruskan semuanya.

Setelah mencari alamatnya lewat aplikasi smarphone ini, aku mendapatkan keberaan tempat itu. Hanya berjarak mungkin beberapa meter saja. Semoga aku tak salah tempat dan bisa segera menemukan Putri.

"Nadin." Aku tersentak kaget. Aku sangat mengenal suara ini, tapi bagaimana mungkin dia juga ada di sini. Aku berbalik dan tersenyum singkat padanya.

"Kak Ardan ... ada di sini?" Pria itu mengangguk pelan kemudian tersenyum lembut. Kenapa bisa dengan kebetulan pria itu ada di sini.

"Kamu mau ke mana? Ada waktu gak, ada yang mau aku bicarakan soal yang kemarin." Tak tahu harus kujawab apa. Memang aku sangat ingin membicarakan tentang jawabanku, tapi ini bukan saat yang tepat.

"Eh, anu-- emm itu. Maaf, Kak." Aku melihat ke bawah, kegugupan bisa membuatnya curiga. Kenapa di saat seperti ini selalu saja ada penghalang yang membuatku harus berada dalam dua pilihan.

"Ada apa?" Sudah kuduga Kak Ardan akan bertanya seperti itu. Aku tak punya waktu lagi, jika terus saja seperti ini maka semua benar-benar akan terlambat.

"Nadin ... harus pergi ke suatu tempat. Lain waktu kita bicaranya, gapapa 'kan?" Hanya kata itu yang keluar dari bibirku. Tak mungkin jika harus kukatakan yang sejujurnya bahwa aku akan menumui Putri. Apalagi ini menyangkut penolakanku padanya.

"Ya sudah gapapa. Si Jelek ini mau aku anter gak?" Pria itu berucap masih dengan senyum di wajahnya. Namun, sekali lagi aku tak bisa menerima ajakannya.

"Ah, gak usah Kak. Nadin, pamit. Assalamualaikum." Setelah mendengar balasan salam terucap dari bibirnya, aku bergegas pergi.

Sebelumnya aku melirik ke belakang, di mana Kak Ardan masih diam di sana. Untunglah, ia tak mengikutiku karena bisa gawat jika itu terjadi.

Aku kembali menfokuskan diri pada tujuan awalku, semoga saja dugaanku benar. Semangat, Nadin. Semua sudah ada di depan matamu.

Rerumputan hijau menyambut kedatanganku, awan yang mulai menguning pun ikut menyapa indra penglihatanku. Di depan sana dapat kulihat telaga berwarna biru yang sangat luas.

Langkah demi langkah mulai menarikku menyelami tempat yang sepi ini, tapi aku belum menemukan dermaganya. Sepertinya ada di sebelah barat sana, bagaimanapun caranya aku harus bisa cepat-cepat ke sana.

"Putri, kamu di mana!" Aku meneriaki namanya, berharap ia ada di sini dan mendengarnya.

Aku terus berlari, mencarinya hingga ke ufuk sana. Langit mulai memerah menambah keindahan yang terpantuk dalam telaga bening ini.

Setelah lama mencari, akhirnya aku menemukan petunjuk. Sebuah pohon besar dengan papan tua yang diikatkan oleh tangkai hijau. Ada nama yang tertera di sana.

Aku mengikuti ke mana lajunya akan tertuju. Arahnya mengantarku pada tangga-tangga dari batu yang sedikit berlumut. Setelah sampai tepat di tangga terakhir, aku berhenti.

Tak dapat kusembunyikan lagi senyum bahagia karena telah kutemukan apa yang dicari. Di sana Putri berada, pada dermaga yang terbuat dari kayu tua dan di atasnya ada obor yang menggantung.

Gadis itu tengah duduk membelakangiku tepat beberapa meter di depan sana. Aku mengenalinya dari pakaian yang dia pakai tadi siang.

Benar, aku tak salah lagi. Dengan cepat aku melangkah. Namun, dalam beberapa detik saja langkahku mendadak terhenti. Ada hantaman keras tepat di dasar hati, tanpa disadari aku mundur beberapa langkah.

Meskipun dari jauh, aku dapat melihat jelas sosok dengan jasket hitam menghampirinya. Aku mengenali sosok itu, persis sama dengan yang ada di foto dalam genggamanku sekarang.

Sekali lagi, aku menajamkan penglihatan. Berharap bukan dia, tapi realitanya tak pernah menipu. Pria itu benar-benar ada di sana bersama Putri.

"Ada hubungan apa Kak Fatih dengan Putri?" Itulah yang kini ada dalam benakku. Aku tak mungkin salah lagi, setelah apa yang kulihat sekarang.

Aku tahu mereka terikat oleh sebuah pesaudaraan, tapi ada yang aneh dari kedekatannya. Ada sesuatu yang mungkin tak pernah terucap sebelumnya. Apa yang sebenarnya terjadi?

Aku kembali mengalihkan pandangan ke depan. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi dapat kulihat Putri menoleh ke arah Kak Fatih. Ia bangkit dan saat itu, sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya kini tepat berada di depan mataku.

Bagai langit yang runtuh menimpa tubuhku yang rapuh. Aku tak lagi mampu menahan tangis, seperti ribuan jarum yang menusukku tanpa kata. Anganku kembali dijatuhkan pada ketinggian di batas normal.

Aku membalikkan tubuh dengan cepat, tak sanggup jika terus melihat semua ini. Pertahanku tak lagi tersisa, rinai air mata benar-benar tumpah. Pelukan itu telah menjawab semua yang ingin kupertanyakan.

Apa sekarang aku berhak marah, cemburu, atau patah hati pada kenyataannya? Apakah setelah ini aku bisa tegar, jika hanya dengan pelukannya saja dapat kulihat cinta yang begitu dalam. Pelukan yang sama-sama saling merindu.

Setelah semua ini, apakah aku akan tega mengambil sesuatu itu dari Putri. Tidak! Aku tak sejahat itu, mengambil orang yang sangat mencintai dan dicintai Putri.

Hatiku berdesir perih, perlahan sesak memenuhi aliran darah lewat denyut yang menyakitkan. Aku teringat hari itu, apa seperti ini hancurnya hati Kak Fatih melihatku dilamar oleh orang lain tepat di depan matanya sendiri. Apakah ini sebuah karma atau takdir?

Tepat di waktu yang sama ketika senja telah turun dari tahtanya. Namun, di tempat yang berbeda, aku merasakan kekecewaan yang luar biasa merajam. Ketika dua orang yang berarti membuat kepercayaanku hancur lebur tak bersisa.

Apa mungkin maksud dari gadis yang dulu pernah bertaaruf dengan Kak Fatih itu adalah ... Putri. Namun, mengapa harus Putri? Ini bukan pilihan, tapi kenyataan.

Apa itu artinya aku harus ... mundur?

...

Satu Doaku, Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang