Extra Part 1

5.5K 306 11
                                    

"Gelas yang pecah tidak akan kembali utuh. Hati yang tercacah hanya akan menyisakan lumpuh."

...

Aroma pagi memang selalu terasa menusuk tubuh. Namun, secuil pun tak mampu mengurungkan niatku untuk melakukan rutinitas pagi.

Seperti biasanya, selepas salat subuh aku akan memasak makanan untuk sarapan. Sementara Kak Fatih --pria yang tak lain adalah suamiku melaksanakan salat subuh berjamaah di masjid. Ah, memanggilnya dengan kata 'suami' membuatku sedikit canggung.

Sejujurnya aku masih belum terbiasa, bahkan sekedar mengganti panggilan pun. Aku akan merasa malu. Mengingat pernikahan yang baru beberapa bulan ini.

"Sudah pulang?" tanyaku ketika ia mendekat. Pria itu mengangguk. Melihatnya memakai kopiah membuatku tak ingin melepaskan pandangan. Aku rasa, ia akan terlihat berkali lipat tampan saat seperti ini. Apalagi jika rambut basahnya yang terurai sehabis wudu.

"Hei, melamun. Ada apa?" Aku mengerjap beberapa kali ketika tangan tegasnya tergerak di depan wajahku.

"Ah, tidak-tidak. Lebih baik Kak Fatih mengganti pakaian dulu. Sebentar lagi sarapannya siap." Aku mengalihkan pembicaraan dan kembali memasak. Untung saja nasi goreng yang kubuat tidak gosong.

"Humaira saya memang sepengetian ini." Pria itu mencubit pipiku sebelum pergi ke kamar. Selalu saja. Tidak tahukah jika aku merasa diterbangkan?

Aku kembali melanjutkan kegiatan masak. Beberapa menit kemudian, semua telah tersaji. Aku hanya tinggal memanggilnya untuk menyantap sarapan.

Satu persatu langkahku menaiki tangga. Rumah sederhana dengan dua lantai ini adalah rumah kami, aku dan dirinya. Aku tidak pernah tahu bahwa Kak Fatih telah menyiapkan semua ini sebelum pernikahan.

"Kak Fati--" Panggilan terhenti ketika ujung mataku menangkat sesuatu di tangan pria itu. Sebuah lembaran yang sudah hampir dua bulan ini belum kuberitahu padanya.

Aku sedikit mempercepat langkah kemudian mengambil proposal itu dan menyimpannya di atas nakas. Aku harus menjelaskan semua sebelum terjadi kesalahpahaman.

"Ini tidak seperti yang dipikirkan. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan--" Kalimatku terpotong ketika sosok itu menatap tajam.

Ini salahku karena tidak memberitahu sebelumnya. Aku hanya tidak ingin membuka celah masalah dalam pernikahan yang baru seumur jagung ini. Lagi pula proposal itu belum tentu untukku. itulah mengapa aku tidak memberitahunya.

Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Diamnya sosok itu membuatku bertanya-tanya sekaligus khawatir. Namun, aku dibuat tak menyangka ketika pria di depanku tersenyum. Mengapa ia tidak marah atau minimal cemburu?

"Saya sudah tahu. Kamu tidak punya hubungan dengan pria itu karena ...." Kalimatnya terjeda seiring dengan langkah yang mendekat. Hingga tiba-tiba ia membisikkan sesuatu.

"Humaira saya hanya mencintai suaminya." Bagai gunung es yang menimpa hati, aku dibuat membeku. Bisa-bisanya ia menggodaku di saat seperti ini.

"Ihh, bukan gitu juga." Aku memukulnya meski tidak begitu keras. Aku yang sudah takut jika pria itu marah, tapi ternyata ia malah mengerjaiku.

"Jadi kamu tidak mencintai saya? Saya pikir selama ini--" Aku menggeleng cepat. Bagaimana caraku menjelaskannya. Sekali lagi, perlakuannya membuatku pusing. Mengapa ia tidak mengerti, bahwa aku tidak bermaksud seperti itu. Tak ada cara lain, aku harus melakukannya.

"Humairamu akan selalu mencintai suaminya," ucapku sembari memeluknya. Namun, sedetik kemudian aku segera pergi. Keluar dari kamar. Aku malu.

Aku kembali ke meja makan, menuangkan air ke dalam gelas. Entah mengapa mendadak tenggorokanku kering. Namun, baru satu tegukan. Kak Fatih mengambil dan meminun sisa air dengan santainya. Tahukah ia, apa yang dilakukannya selalu membuat pipiku terasa panas.

Satu Doaku, Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang