"Cemburu itu hanya sebagian kecil arti sebuah cinta karena sebagian besarnya adalah memperjuangkan atau mengikhlaskan."
...
Lembaran kelabu bertabur bintang, pada setitik terang yang menerangi. Kerlap-kerlip dalam sinarnya, menggoda sang rembulan yang tengah sendiri.
Aku menatap sekilas, sebelum akhirnya kembali menutup jendela dengan gorden berwarna coklat. Setelahnya, kembali ke tempat semula di mana gadis dengan piyama hijau itu berada. Hawa dingin menusuk tubuh, mengingatkan malam yang kini bertahta.
"Kamu udah siapin semuanya 'kan. Ada barang yang kelupaan gak?" tanyaku kembali memastikan.
Malam ini, Putri menginap di rumahku karena besok kami akan pergi ke tempat baru. Sebuah pedesaan kecil di mana kami akan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mengingat sekarang sudah memasuki semester akhir sebagai mahasiswa.
"Iya, cantik. Lahir dan batinku juga udah siap. Eh, tapi batin enggak deh," ucapnya disertai senyum polos membuatku merasa aneh.
"Kok enggak?" Aku kembali memasukkan beberapa pakaian ke koper, tak lupa buku-buku referensi untuk bahan skripsi selama di sana.
"Abisnya ada seseorang yang masih gak siap aku tinggalin." Perkataan Putri membuatku terhenti seketika. Ada getaran halus berdesir mengingat siapa yang mungkin sedang dalam pikiran gadis itu.
"Siapa, kak Fatih?" tanyaku dengan nada dibuat sedatar-datarnya. Aku hanya tak ingin kembali membuat Putri berpikir yang tidak-tidak.
"Ihh kata siapa. Bukan tahu, tapi Kak Zikri. Jangan-jangan Kamu cemburu ya?" Lagi dan lagi, kagiatanku terhenti. Aku menatap horor pada Putri, gadis itu selalu saja bisa menebak dengan benar.
"Enggak, cuma nanya aja." Jawabanku membuat Putri menaik-turunkan alisnya, terus menggoda.
"Masa sih? Eh, tapi kalau gini caranya gimana mau istiqomah." Gadis itu kembali menggerutu, bibirnya mengerucut menandakan ia sedang kesal.
"Memangnya kamu serius suka sama adiknya Ustadzah Aisyah itu?" Sekali lagi, aku memastikan. Apakah hati gadis itu telah berpindah pada yang lain.
"Beribu rius, aku kan pernah bilang waktu itu. Aku pernah ketemu di depan toilet."
"Kamu sudah tidak ada perasaan sama ... Kak Fatih?" Setelah beberapa lama, akhirnya kalimat itu terucap mulus dari bibirku. Meski dengan sedikit keraguan, tak ingin membuat Putri salah paham.
"Berapa kali sih aku harus bilang, Kak Fatih itu cuma masa lalu." Putri memegang pundakku, berusaha menyakinkan bahwa memang tak ada lagi hubungan antara mereka. Hanya sebatas paman dan keponakannya, tidak lebih.
"Bukannya waktu itu kamu masih--" Aku menggantungkan kalimatnya yang sudah pasti gadia itu mengerti. Putri menggeleng pelan.
"Enggak, Nadin. Bentar, kok kamu tanya-tanya Kak Fatih sih. Masih suka ya?" Kerlingan di matanya membuatku seketika membatu. Pertanyaannya membuatku kalang kabut. Apa aku masih menyukai Kak Fatih? Itulah yang kini ada dalam pikiranku.
"Apa? anu-- itu, enggak." Entah mengapa lidahku seolah kelu. Sehingga Putri dapat melihat kegugupanku.
"Tuh kan gugup, jadi beneran nih?" Lagi dan lagi, gadis itu terus saja menggodaku. Aku menatapnya horor kemudian kembali berucap.
"Enggak, ishh. Udah jangan dibahas lagi." Aku berusaha mengacuhkannya dengan kembali memasukan barang-barang ke tempat besar berwarna dongker itu. Sementara gadis itu malah cekikikan karena berhasil membuatku salah tingkah.
"Beneran? Kalau masih suka jangan malu-malu gitu. Nanti keburu diambil orang loh," ucapnya sembari menyenggol lenganku. Aku menatapnya sekilas, perkataannya sedikit menganggu pikiran.
Bagaiamana jika ucapan Putri benar. Apa aku bisa menerimanya? Astagfirullah, lagi-lagi aku memikirkan pria itu.
"Apaan sih, aku bilang enggak ya enggak. Aku haus, mau ambil minum." Setelah mengambil gelas yang tandas di atas nakas, aku pergi ke dapur. Masih dapat kudengar tawanya yang tertahan ketika melihatku meninggalkan kamar dengan wajah ditekuk.
...
Kicau burung tampak merdu menemani pagi yang baru. Aku melirik arloji yang melingkar, waktu menunjukan pukul enam. Artinya aku harus segera pergi agar tidak terkena macet yang berkepanjangan.
"Yang lain udah berangkat belum, Put?" tanyaku sembari menatap gadis dengan gamis maroon itu.
"Ini mereka, katanya baru mau berangkat. Sebagian ada juga yang udah di jalan," ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel di tangannya.
Aku memilih turun lebih dulu dari tangga, meninggalkan gadis itu yang masih sibuk dengan aktivitasnya. Sampai langkahku terhenti di tangga terakhir ketika melihat sosok yang berada di ruang tamu.
Sedikit tersentak ketika manik matanya tengah menatapku, dalam beberapa detik mata kami beradu. Sampai langkah seseorang mendahului dan memutus pandanganku. Aku mengikuti Putri dari belakang.
"Putri, ini nak Fatih mau ketemu. Ada titipan dari ibu kamu, katanya," ucap bunda memecah keheningan.
"Oh, iya Bun." Putri menghampiri keduanya yang duduk di sofa. Aku tak melakukan pergerakan, tak mempunyai alasan untuk ikut bergabung bersama mereka.
"Put, aku ke mobil duluan." Tanpa menunggu jawabannya, aku memilih pergi dari sana. Entah mengapa hanya dengan melihat wajah pria itu membuatku kesal. Apalagi jika mengingat kejadian di kedai waktu itu.
Aku seharusnya tak boleh salah paham sebelum mengetahui kenyataannya. Namun, rasanya hatiku panas jika mengingat perempuan itu meski tak melihat wajahnya. Apa aku cemburu? Bukan, hanya saja aku kesal karena pria itu dengan mudah melupakanku. Seolah tak pernah ada hubungan antara kita berdua.
"Eh, oke-oke. Nanti nyusul." Aku mengangguk pelan tanpa kembali menatap wajahnya. Langkahku terhenti tepat pada mobil berwarna hitam yang terparkir di halaman depan.
Pria paruh baya dengan kemeja hitam itu tersenyum singkat kemudian mengahampiriku.
"Sini biar ayah yang masukin kopernya." Aku menggeleng lemah mendengar penuturan dari ayah. Aku tak ingin membaninya. Aku sudah sangat bahagia karena ayah mau menyempatkan waktu mengantarku di sela kesibukannya.
"Gak usah, Yah. Biar Nadin sendiri. Ayah panasin aja dulu mobilnya." Pria itu tertawa mendengar jawabanku.
"Dipanasin, memangnya kompor. Ada-ada aja kamu ini, Nadin. Ya sudah ayah siapin dulu," ucapnya sembari mengelus pelan khimar hitam yang kupakai kemudian masuk ke dalam mobil.
Aku memasukan koper biru itu setelahnya duduk di pinggiran bagasi belakang, sekalian menunggu Putri. Aku menatap rerumputan hijau yang tertata rapih di dekat kolam ikan, mengalihkan pikiran.
Entah mengapa hatiku mendadak resah, ada sesuatu mengganjal. Aku tak mengerti dengan semua ini. Mengapa aku masih menggarapkan Kak Fatih, sementara belum tentu pria itu juga merasakan hal yang sama.
Aku akui, masih ada sedikit rasa yang menetap untuknya. Namun, aku tak bisa seperti ini saja. Aku harus bisa menata hati. Biarlah takdir yang menentukan arahnya. Aku tak boleh menduluinya.
Aku harus percayakan semua pada Sang Pemilik Hati. Berprasangka baik atas apa yang telah dan akan terjadi. Bukankah jodoh tak mungkin tertukar?
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Doaku, Cinta [Selesai]
Spiritual"Aku mau mengkhitbah Mala." Jatungku berdebar hebat mendengar kalimat menyesakkan itu. Ada sesuatu yang menyayat hati membuat rasanya semakin berdesir perih. Hanya dengan beberapa kata, hatiku hancur lebur. Aku yang mencintainya dalam diam harus men...