Maaf tidak akan cukup menghilangkan rasa sakit. Tapi, aku suka dengan kalimat itu.
---
Kelas tata busana dua sedang sibuk menjahit di ruang prantek.
"Amel, jangan cepat-cepat nanti ngak rapi. " ujar bu Sonia yang melihat Amel buru-buru menjahit.
Amel hanya tersenyum kikuk, "Pengen pipis Bu, tapi nanggung tinggal dikit,"
"Kesehatan nomor satu Amel," nasihat Putri yang berada di samping Amel.
"Hehe iya-iya, izin ke toilet dulu yah bu," izin Amel.
Bu Sonia kembali berkeliling melihat jahitan jas muridnya dan berkomentar jika ada kurang tepat.
"Arrggh," pekik Gege.
Bu Sonia dan yang lainnya melihat ke arah sumber suara. "Gege," Bu Sonia panik.
Rok Gege sudah penuh dengan darah. Tangannya terjahit saat menjahit jas.
Putri dan Salsa membawa Gege ke UKS. Sementara Bu Sonia pergi ke ruang praktek TKJ untuk izin ke Pak Lukman, yang tam lain tak bukan suami Bu Sonia.
"Pak, saya kerumah sakit dulu yah," izin Bu Sonia, meskipum mereka suami istri, tetap saja mereka konsisten memanggil dengan panggilan Pak maupun Ibu.
"Hah? Kenapa Bu?" tanya Pak Lukman kaget.
"Gege, tangannya kejahit. Mau di bawa ke rumah sakit, dulua..." pembicaraan Bu Sonia terhenti setelah mendengarkan ucapan Wildan.
"Bodoh. Ceroboh." ujar Wildan judes
"Kenapa Wil?" tanya Pak Lukman.
"Saya izin," ujarnya begitu saja membuat Bu Sonia tersenyum.
Wildan berjalan ke UKS, membuka pintu dengan keras.
"Bodoh, ceroboh." ujar Wildan yang sudah sampai di hadapan Gege.
"Keluar. Biar gue yang bawa dia," ujar Wildan ketus ke arah Putri dan Salsa.
Mereka kompak mengangguk, tidak ingin mempunyai masalah dengan Wildan. Cukup Gege yang Wildan buat menderita.
"Sakit," keluh Gege dengan bibir yang bergetar.
"Makanya pelan-pelan." Wildan memopong tubuh Gege.
"Yang sakit tangan gue, bukan kaki gue. Turunin," Gege terus meronta-ronta.
"Keras kapala," Wildan tetap tidak menurunkan Gege.
"Ih, ngomongin diri sendiri," guman Gege pelan.
Bu Sonia yang ada di parkiran guru sudah menunggu Wildan. Bu Sonia tau dari Amel dan Putri yang.
Bu Sonia bukannnya tidak bertanggung jawab hanya saja bu sonia tahu, jika Wildan yang turun tangan tidak perlu khawatir. Bu Sonia tahu juga Wildan tidaklah begitu jahat.
Bukankah apa yang putih belum tentu putih? Dan apa yang hitam belum tentu hitam. Semuanya abu-abu. Tidak ada orang yang selalu jahat dan tidak ada orang yang selalu baik."Biar saya yang antar dia," ujar Wildan di hadapan bu Sonia
"Tapi Ibu juga pengen pergi,"
"Duluan," Wildan masih saja memopong tubuh Gege yang imut itu ke mobil Regan, teman kelas Wildan yang setiap hari membawa mobil sendiri.
---
Gege sudah pucat menahan rasa sakitnya. Darahnya terus mengalir.
"Astaga, ini kenapa?" tanya Bu Dokter yang ketika Gege masuk diruangan prakteknya.
"Kejahit Dok," jawan Wildan.
Dokter tersebutpun mulai memgang tangan Gege. "Untung saja jarumnya ngak terlalu dalam nusuknya, ini dokter perban, terus dokter kasih obat penghilang rasa sakit."
Dokter kemudian membawa Gege ke meja, sekarang Wildan dan Gege berada dihadapan dokter seperti sepasang pasangan.
Dokter menulis resep, dan memberinya ke Wildan untuk di tebus di apotik.
---
Bukannya kembali ke sekolah, Wildan malah membawa Gege ke sebuah lapangan basket.
Disana sepi, mungkin yang biasa kesini masih berada di sekolah.
"Kenapa?" tanya Wildan dingin
Gege menggeleng.
Wildan membuang nafas gusar. Ia mendekat ke Gege, mengambil tangan Gege dan mengelusnya.
"Gue minta maaf sama lo," satu tangan Wildan melepaskan tangan Gege, menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah Gege.
"Ge, liat gue."
Gege masih saja menunduk. Dia tidak nyaman dengan situasi ini.
Akhirnya Wildan mengangkat dagu Gege."Gue minta maaf, atas semua perlakuan gue ke lo selama ini,"
Mata Gege sudah berkaca-kaca.
"Kenapa? Sakit banget yah Ge? Maafin gue," entah dari mana pikiran Wildan mendapatkan ide untuk mencium kening Gege.
"Gue janji, ngak bakalan bikin lo sakit hati lagi. Kasih gue satu kesempatan Ge,"
"Sulit. Untuk memaafkan gampang bagi gue, untuk melupakan sangat sulit," jawab Gege
"Ge, satu kesempatan. Izin gue buat kenal dunia lo."
Dengan cepat Gege membalas ucapan Wildan, "Dunia gue ngak ada enaknya Wil."
Wildan tersenyum. Dan baru kali Gege melihat Wildan tersenyum tulus. "Ngak apa-apa, siapa tau gue betah sama kehidupan lo,"
"Gimana?" tanyanya lagi.
Gege hanya mengangguk. Tidak ada salahnya membiarkan Wildan mengetahui kehidupannya. Wildan tidak akan betah apalagi sampai jatuh cinta. Eh, Gege langsung mengeleng. Cinta? Ah pikiran macam apaan ini. Hati Gege masih bersama Rian.
---
Dua hari telah berlalu. Di sekolah, Wildan sudah berubah, tidak seperti Wildan yang angkuh dan tidak seperti orang yang ingin balas budi.
"Ge, pulang sekolah gue tunggu diparkiran." ujar Wildan ketika melihat Gege yang hendak ke kantin.
Gege, Tari dan Yolanda pun pergi kekantin. Takut tidak kebagian meja.
"Ciee Gege, lagi PDKT-an sama Wildan," goda Yolanda.
"Ngak. Dia cuma mau memperbaiki kesalahannya di masa lampau," jawan Gege sekenannya
Tari dan Yolanda terkekeh. "Masa lampau,"ulangnya merasa konyol dengan kata-kata itu.
"Lo kata sejarah," Tari masih terkekeh.
Gege mengerdikkan bahunya."Hehehehe ngak lucu,"Gege memalingkan wajahnya.
"Ge, ada yang liatin lo," ujar Yolanda melihat ke arah seseorang yang memperhatikan Gege.
"Bodo amat," Gege tidak peduli.
Tari melihat kearah yang dipandang Yolanda. Ternyata benar, ada yang sedang memperhatikan Gege.
"Serius Ge. Liat belakang lo, kalau gue bohong, tangan gue keram sampai satu mimggu kedepan." ujar Tari penuh yakin.
Gege yang mau mendengar keseriusan Taripun menoleh kebelakang.
Pandangannya bertemu, detak jantung Gege berpacu begitu cepat. "Dia," ujar Gege sembari membalikkan badannya ke posisi semula.
"Lo kenal cowok itu?" tanya Tari penasaran.
---
Siapa?
Yok, jangan lupa di komen dan vote.
Salam manis dari Gege.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wildan Genaya
Teen FictionJika penderitaan yang kau liat, bukankah aku sudah cukup menderita bersamamu? Bukankah penderitaanku adalah hal kebahagiaanmu? Lantas apalagi? Hatiku sudah kau genggam terlebih ragaku yang sudah menjadi milikmu. Terima kasih atas luka dan asa yang...