Hati gue selalu munafik. Menolak rasa yang akan hadir untuk mengusik perasaan yang terus mengalir.
---
Tibalah waktu yang di nanti-nantikan Wildan. Pulang bareng dengan Gege. Hari ini, Wildan sengaja menggunakan mobil, karena Wildan tau Gege tidak nyaman di bonceng dengan motor besarnya itu.
"Mau kemana dulu?" tanyanya setelah Gege duduk di belahnya.
"Pulang," jawab Gege mantap
"Ngak. Jalan dulu," Wildan melajukan mobilnya.
"Mau shopping?" tanya Wildan. Wildan yakin semua perempuan suka dengan belanja.
"Buat apa?" ucapan Gege barusan membuat Wildan tidak percaya.
"Buat apa?" ulangnya. Wildan pikir Gege akan antusias ingin ke mall belanja sepuasnya.
"Kita ke suatu tempat aja. Nanti terus aja, diperempatan kedua belok kanan, nah disitu ada mesjid terus belok kanan lagi, lurus aja sampai dapat rumah warna hijau sama putih." ujarnya menjelaskan jalan.
Wildan menurutinya. 20 kemudian, akhirnya mereka sampai, Wildan memperhatikan daerah sekitarnya. Sepi.
"KAK GEGE," seru mereka dari dalam pagar.
Gege memegang tangan Wildan, sontak saja membuat Wildan terkejut.
Anak-anak itu memeluk Gege, bahkan ada yang merengek karena tidak memeluk Gege.
"Makan dulu anak-anak ayo," ujar seorang wanita berhijab syarih itu.
Anak-anakpun berhamburan. Kecuali satu anak laki-laki. "Kak Naya, Ifan kangen. Kangen sama pacar kakak juga," anak yang bernama Ifan itu memeluk Gege sebentar lalu ikut bersama anak-anak lainnya.
Wildan tertegun."pacar?" batinnya
"Ini panti asuhan?" tanya Wildan
Gege tersenyum mendengarnya. "Bukan, ini rumah kasih anak. Rumah bagi mereka yang ngak punya siapa-siapa lagi. Dulu gue kesini hampir setiap hari,"
"Sama pacar lo?" potong Wildan
Gege menggeleng. "Sama Rian. Setelah Rian meninggal gue udah ngak kesini lagi, ada banyak kenangan gue sama Rian disini. Tapi, meskipun begitu gue masih suka ngasih uang ke Bi Ayum, meskipun ngak seberapa. Semenjak lo suka nyuruh gue traktir lo sama teman lo, gue udah ngak pernah ngasih uang ke Bi Ayum,"
"Sorry," hanya itu yang Wildan katakan.
Gege bercerita banyak tentang rumah kasih anak ini. Dan Wildan setia mendengarnya. Hingga anak-anak selesai makan.
"Punya alat tulis ngak?" tanya Wildan kepada anak-anak itu.
"Punya," jawab mereka kompak.
"Yauda kakak ajarin,"
"Yeah," anak-anak itu masuk mengambil alat tulis mereka
Gege dapat melihat pancaran kebahagian dari mereka, selain anak-anak kasih, Gege dapat melihat Wildan yang dari tadi tersenyum.
---
"Bi, Gege udah mau pulang, udah malam." Gege pamit kepada bi Ayum.
"Makasih yah nak, udah mau kesini lagi, mereka rindu banget sama kamu. Sama Rian juga," bi Ayum tersenyum. Kemudian memandang Wildan.
"Siapa?" tanya bi Ayum. Dengan sopan Wildan menyalimi tangan bi Ayum,"Wildan. Temannya Gege,"
"Oh, kirain pacarnya,"bi Ayum tersenyum menggoda.
"Yaudah Gege pamit yah,"
Didalam mobil sempat hening, hingga suara perut Gege bunyi. "Kenapa ngak bilang kalau lapar?"
"Nanti sampai dirumah baru gue makan," jawab Gege seadanya
"Ngak usah. Didepan saja ada restoran,"
"Kenapa selalu tempat mewah sih? Kalau yang sederhana aja cukup? "
"Karena lo istimewa,"
Duarr, jantung Gege rasanya mau meledak."Makan di pinggir jalan aja. Disana ada penjual sate,"
Mobil hitam milik Wildan sudah berhenti didepan warung Sate Dadang. Wildan meneliti dari setiap sudut warung itu, setelah memencarkan matanya kemana-mana, Wildan sedikit legah, warung ini cukup bersih.
"Mang, dua posri yah," teriak Gege"Oke Ge," jawab mang Dadang yang tengah membakar sate.
"Sering makan dipinggir jalan?"
Gege tersenyum. "Gue bukan anak kaya Wil,"
"Kalau lo terlahir kaya?"Gege terkekeh. "Seandainya.Kalau gue kaya, gue tetap makan pinggir jalan, biar ngasih duit yang miskin, bukan mengkayakan orang yang sudah kaya. Sesekali sih boleh, tapi lirik juga tuh yang dibawah, yang lebih membutuhkan. Makanannya juga enak-enak kok," ucapan Gege barusan membuat Wildan tersinggung.
"Kok bengong? Tuh udah ada satenya,makan aja ngak ada racun kok gue yang jamin," Gege memukul dadanya.
Wildan perlahan memakannya, "lumayan," bohongnya sate itu sangat lezat tetapi Wildan malu untuk mengakuinya.
"Ini pertama kalinya gue liat lo ngak masang muka galak, ngomong sama gue tulus ngak di kasarin dan ngak pura-pura du lembutin." jujur Gege
"Gue minta maaf sama lo, kalau gue bikin lo malu depan teman-teman yang lainnya. Gue ngak bermasuk, gue cuma ngak suka liat orang kasar dan orang yang dikasarin." sambungnya. Gege menjeda lama ucapannya, berharap ada sepatah kata yang keluar dari mulut Wildan namun hasilnya nihil.
"Wil," Gege memegang tangan kiri Wildan yang berada di atas meja.
Wildan tersentak. Meskipun sudah banyak cewek-cewek yang memegang tangannya tapi, kali ini rasanya beda. Wildan tidak dapat menepisnya.
"Bebasin gue dari hidup lo, anggap kita ngak pernah kenal dan lupain apa yang terjadi." ujar Gege dengan nada yang sendu.
Emosinya sudah diubun-ubun, entah kenapa perkataan Gege sukses menaikkan emosi Wildan. "Gila lo? Ngak!" jawan Wildan cepat.
"Kenapa? Rasa malu yang aku kasih ke kamu belum setara sama rasa sakit yang kamu kasih ke aku?" Gege menantap Wildan nanar."Belum puas? Apasih yang kamu mau?" ujar Gege dengan kesal
"Aku mau kamu," jawab Wildan yang membuat Gege menggeleng.
"Sinting," setelah itu Gege berlari tidak peduli dengan Wildan yang menanggilnya. Wildan tidak mengejar hanya memanggilnya saja.
---
Masih banyak typo berserakan :')
Makasih yang udah baca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wildan Genaya
Teen FictionJika penderitaan yang kau liat, bukankah aku sudah cukup menderita bersamamu? Bukankah penderitaanku adalah hal kebahagiaanmu? Lantas apalagi? Hatiku sudah kau genggam terlebih ragaku yang sudah menjadi milikmu. Terima kasih atas luka dan asa yang...