Aku masih ingat hari pertama aku bertemu Larung. Saat itu, aku masih mahasiswa baru di Fakultas Hukum Universitas XY. Jiwa kepo dan banggaku masih sangat menggebu-gebu karena berhasil masuk ke kampus favorit seluruh negeri. Jadi, aku senang berkeliling kampus yang memang sangat luas itu.
"Kenapa harus Kantin Teknik sih, Bri?" keluh Dimas saat kuseret dia untuk makan siang di kantin Fakultas Teknik.
"Katanya menunya lebih banyak, Dim," bujukku. "Lebih murah-murah juga dibanding kantin kita."
Terus katanya cowoknya juga ganteng-ganteng, tambahku dalam hati.
Aku sudah mendengar dari senior-seniornya bahwa di Fakultas Teknik, populasi cowok lebih besar dibanding Fakultas lainnya. Jadi kalau mau cari cowok, di sana adalah tempat yang tepat.
"Kenapa nggak ke Kantin Sastra aja?" tanya Dimas, menyebut kantin di Fakultas Ilmu Budaya alias FIB. "Murah-murah juga di sana. Terus ceweknya juga cakep-cakep!"
Aku berdecak. Alih-alih menjawab pertanyaan Dimas, aku tetap menyeret sahabatku yang kukenal sejak hari pertama Ospek itu untuk menuju ke FT. Untuk sampai di sana, kami harus melewati Fakultas Psikologi, Fisip, FIB, lalu menyeberangi jembatan panjang yang menghubungkan antara FIB dengan FT. Sepanjang perjalanan itu, Dimas terus-terusan mendumal. Seolah menginjakkan kaki di FT adalah hal paling menyulitkan baginya.
Sesuai dengan prediksi, Kantin Teknik sangat ramai di waktu-waktu makan siang. Aku memang sudah banyak mendengar bahwa Kantin Tenik dan Kantin Sastra adalah dua kantin favorit seantero Universitas XY. Karena menunya lebih banyak, dan harganya lebih bersahabat dengan kantong mahasiswa. Jadi, yang makan di sini bukan hanya mahasiswa teknik saja, melainkan dari fakultas-fakultas lainnya. Aku dan Dimas beruntung karena segera mendapat tempat duduk, meski berbagi dengan beberapa mahasiswa lainnya.
"Gue mau mie ayam. Lo mau pesan apa?" tanyaku sambil duduk manis. "Gih sana pesen, gue yang jagain meja."
Dimas mendumal lagi. Hah, kenapa dia hobi menggerutu, sih, hari ini? Tapi dia pergi juga. Aku mulai menatap sekitar, melihat-lihat keadaan. Aku pun mulai mengamini cerita senior soal cowok-cowok FT. Yah, termasuk penampilan mereka yang gahar-gahar. Banyak yang gondrong, kribo, kucel, dan gambaran-gambaran seram lainnya.
Mataku yang sibuk jelalatan mencari pemandangan indah menemukan ada satu sosok yang mencolok mata. Dia memakai celana bahan hitam, beskap putih, lengkap dengan destar putih Bali. Sebuah pemandangan yang nggak biasa ada di kampus. Mungkin dia habis ada acara adat. Anyway, dia ganteng.
Cowok itu termasuk rapi dibanding teman-temannya. Wajahnya pun sangat enak dilihat. Rambutnya menyentuh pundak, cukup gondrong tapi terlihat halus dan terawat. Kulitnya bersih, meskipun nggak putih seperti Dimas. Namun, aku menangkap ada kesan yang familier dari wajah cowok itu. Siapa ya? Apa pernah ketemu? Sambil berpikir, tanpa sadar aku tersenyum-senyum melihatnya, setidaknya sampai sebelum cowok itu menoleh dan menatapku.
Sontak aku kelabakan menyembunyikan senyuman. Dengan super salah tingkah, aku buru-buru mengedarkan pandang mencari-cari Dimas. Ya ya, aku tahu sikapku ini ketahuan banget awkward-nya.
Untung saja yang kucari segera muncul, membawa dua nomor meja dari dua counter yang berbeda. Dimas duduk di hadapanku, menghalangi pandanganku dari cowok tadi.
"Pesan apa, Dim?" tanyaku, menutupi kegugupan.
"Nasi telor dadar," jawab Dimas. "Lagi bokek nih gue. Kemarin habis benerin motor hampir habis lima juta," keluh Dimas.
"Kenapa lagi motor lo?" tanyaku.
Diam-diam, aku menggeser tubuh sedikit ke kanan, dan mencuri-curi pandang pada cowok itu dari balik tubuh Dimas. Cowok itu masih di sana, sedang mengobrol dan tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Temu Rasa
Teen FictionBrilian, seorang mahasiswa hukum berusia 20 tahun, berhasil bekerja part time di Kafe Ruang Temu Rasa, milik pria yang selama 1,5 tahun terakhir dicintainya diam-diam. Saat perasaannya bersambut, ia harus menghadapi mantan pacar si pria yang posesif...
Wattpad Original
Ada 3 bab gratis lagi