Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi

4. Jadi Kalau Dimas Nggak Apa-Apa?

72.1K 6.6K 688
                                    

Terlalu sering bergaul dengan cowok-cowok membuat mentalku jadi sekuat baja. Dulu aku gampang nangis kalau melihat sesuatu yang menyentuh. Namun, semenjak Dimas, Adri, dan Toro sering mengataiku habis operasi plastik setiap kali wajahku sembab karena tangis, aku jadi berusaha sok kuat dan nggak gampang nangis lagi. Lama-lama aku jadi terbiasa.

Sore itu setelah nonton Keluarga Cemara, justru mereka bertiga yang keluar bioskop dengan tampang seperti habis operasi plastik. Tiga cowok berengsek yang bersamaku mati-matian berusaha menutupi wajahnya. Dimas bahkan mengumpat, dan berjanji nggak akan nonton film yang berpotensi mengundang air mata lagi.

Namun, aku bersedih dengan alasan yang berbeda. Film itu memang mengharukan. Sayangnya, mood-ku sedang kacau saat menonton. Sehingga alih-alih menyimak filmnya, aku lebih banyak melamun. Jadi, aku nggak terkena after effect nonton film haru seperti mereka.

"Kok lo tumben nggak mewek sih, Bri?" tanya Toro.

Aku menoleh sedikit, dan berusaha memberikan tatapan meremehkan.

"Lemah kalian," decakku.

"Wei! Lo nggak pernah baca ya? Cowok nangis itu bukan berarti lemah, kalik!" protes Adri.

"Bodo amat deh," kataku. "Laper nih. Makan, yuk? Tapi jangan di sini. Di luar aja yang murah, gue belum dapat kiriman."

Ketiga cowok itu mengangguk tanpa banyak bicara. Aku berjalan mendahului ketiganya dengan pikiran bercabang. Pertama, aku berusaha mengingat angka yang tersisa di rekeningku. Kedua, aku masih terpikirkan soal Larung dan cewek berhijab itu.

Kami makan di Warnastek, sebuah warung nasi yang terletak di dekat sekitar kampus, bisa ditempuh dengan jalan kaki juga dari kosku. Warnastek ini andalan anak kosan. Harganya murah, dan porsinya besar.

"Sama gue aja, Bri," kata Dimas saat aku hendak membayar.

Aku menatapnya dengan kening berkerut. "Serius nih? Makin banyak aja kasbon gue nanti."

Tapi Dimas hanya nyengir. Lantas aku mengedikkan bahu, dan bilang terima kasih. Bukan hal yang aneh kok. Dimas memang kere dan kadang kesehariannya nggak cocok dengan fakta bahwa orangtuanya kaya. Namun, dia sebenarnya teman yang loyal, royal, dan nggak perhitungan. Adri dan Toro juga sama. Cowok-cowok itu selalu tahu kalau tanggal tua sedikit sulit buatku. Mereka seringkali membayariku saat kami makan bareng. Yah, walaupun di awal bulan nanti mereka akan minta ditraktir balik.

Aku benar-benar terbantu dengan aksi Dimas hari ini. Kiriman Ibu belum datang lagi bulan ini. Sejak Ayah meninggal, Ibu menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga mengandalkan gajinya sebagai guru SMA dan uang pensiunan Ayah yang nggak seberapa. Sementara aku masih punya dua adik, satu kelas tiga SMA dan yang satu lagi masih seusia Andari. Ibu sudah mewanti-wantiku untuk lebih berhemat sejak hari itu. Aku juga sudah sangat berhemat sampai kadang aku beli tempe satu dan kuiris jadi tiga, supaya bisa buat seharian. Tapi ya sehemat-hematnya, tetap saja ada batasnya kan?

Itulah kenapa aku mulai berpikir untuk kerja paruh waktu belakangan. Aku bahkan sudah mendaftar di sebuah website penghubung murid dan guru privat. Aku bisa mengajar untuk persiapan UN, SBMPTN, atau pelajaran IPS untuk sehari-hari. Tapi belum ada panggilan yang kuterima.

"Kenapa ngelamun mulu sih?" tanya Dimas, sambil merangkul pundakku.

Tadi, kami ke mal menggunakan mobil Toro. Setelah selesai makan di Warnastek, Toro dan Adri langsung pulang. Sedangkan aku dan Dimas memilih pulang berjalan kaki karena Dimas terlalu malas mengambil motornya di parkiran kampus. Memang dasar horangkayah! Apa nggak takut motornya hilang atau kenapa-napa, ya?

"Gue belum dapet kerjaan nih," jawabku. "Apa profil gue di website itu kurang meyakinkan ya?"

Dimas, Toro, dan Adri tahu kalau aku mendaftar jadi guru privat di website itu. Tadinya mereka ingin ikut, tapi kularang karena aku nggak mau ada saingan.

Ruang Temu RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang