Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi

3. Sama-Sama Cari Pacar

88.2K 6.4K 461
                                    

Setelah beberapa kali main ke rumah Dimas bersama yang lain, aku mendapatkan banyak info berharga. Misalnya, ada kos cewek di seberang rumah Dimas. Lalu posisi kamar Larung di lantai dua. Juga posisi kamar kos yang strategis untuk melihatnya dari kosan di seberang, yang kini menjadi kamarku.

Setelah informasi ini kudapat, aku memutuskan untuk pindah kosan setahun yang lalu. Alasanku sih supaya lebih dekat dengan kampus. Selain itu juga supaya lebih dekat kalau mau minta tolong Dimas untuk ini dan itu. Haha!

Bagusnya, seiring berjalannya waktu, aku jadi semakin akrab dengan keluarga Dimas. Aku sudah bertemu kakak sulung Dimas, Mas Hanung yang bekerja di sebuah akuntan publik sekaligus bertanggung jawab atas kafe Ruang Temu Rasa, dan kini melanjutkan S2 di London. Aku juga sudah bertemu Om Barata alias Papa mereka, seorang pria awal 50-an yang masih terlihat sangat tampan dan awet muda. Serasilah pokoknya kalau bersanding dengan Tante Renata, yang belakangan aku tahu usianya sudah hampir 40 tahun. Sampai sekarang aku nggak berani menanyakan skincare apa yang Tante Renata gunakan sampai bisa terlihat awet muda begitu. Takutnya aku kepengen, padahal sudah pasti aku nggak akan sanggup membelinya.

Semakin hari, aku semakin mengenal keluarga itu. Mas Hanung adalah yang paling serius dari semuanya. Dia juga yang paling mirip dengan Om Barata. Sementara sikap Larung dan Dimas itu mirip-mirip, ceria dan easy going. Tapi Larung nggak sekoplak Dimas. Larung juga sangat dewasa, tetapi bukan dewasa versi serius seperti Mas Hanung. Melainkan dewasa yang lebih kalem, hangat, dan punya aura mengayomi yang besar. Jika ngobrol dengan Larung, rasanya aku seperti sedang dibelai-belai—entah dari mana pula pikiran kotor itu muncul di pikiranku!

Sama seperti aku semakin akrab dengan Andari, si bungsu yang super jenius itu, aku juga cukup akrab dengan Larung. Well, cukup akrab di sini yang kumaksud adalah aku berteman dengannya di media sosial. Lalu aku sering meminjam koleksi bukunya yang seabrek itu. Atau ngobrol sebentar tentang Jiu Jitsu yang kuikuti semasa SMA (Larung pemegang sabuk hitam Jiu Jitsu dan pernah melatih anak-anak selama beberapa tahun). Kadangkala kami juga saling sapa lewat jendela kamarku yang mengarah tepat ke jendela kamarnya di seberang jalan.

Ya, cuma itu sih. Selebihnya aku relasiku tetap nggak melangkah ke mana-mana. Larung bahkan nggak merasa perlu menawariku tebengan jika kami bertemu di kampus dan sama-sama hendak pulang. Yang terakhir ini, terkadang membuatku merasa nelangsa.

"Bri!"

Aku menoleh. Dari kejauhan, Adri melambaikan tangan padaku, dan berjalan cepat menyusulku.

Ah, dari tadi kek. Akhirnya aku menemukan teman. Aku pun berhenti melangkah dan duduk di sebuah bangku taman, menunggu Adri.

"Toro sama Dimas mana?" tanyaku begitu Adri sudah di depanku.

"Toro nggak tahu. Dimas tadi ke toilet."

"Kok nggak lo tungguin?"

"Cih! Emangnya kita kayak cewek-cewek gitu? Ke toilet aja musti bareng-bareng dan tunggu-tungguan!"

Aku tergelak. "Gue cewek, dan gue nggak pernah ada temen kalau ke toilet."

Ya karena teman-temanku cowok semua, sih. Kan mustahil aku meminta Dimas, Adri, atau Toro untuk mengantar dan menungguiku di toilet.

Aku juga nggak paham kenapa aku lebih nyaman berteman dengan cowok-cowok selama ini. Maksudku, aku nggak punya masalah bergaul dengan orang lain. Beberapa kali aku ikut nongkrong dengan geng cewek-cewek gaul di angkatanku. Aku juga nyambung ngobrol dengan gerombolan mahasiswa-mahasiswa ambis yang berprestasi. Tapi sejak mahasiswa baru, dan bertemu dengan tiga orang pemuda berengsek di masa Ospek, aku justru paling nyaman saat bersama mereka. Formasi sahabat dekatku nggak pernah berubah: Dimas, Toro, dan Adri.

Ruang Temu RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang