Srett!!
Tahun baru akan segera datang. Ada banyak sekali harapan dan resolusi. Tapi alih-alih resolusi dan tetebengeknya, Raja hanya punya satu keinginan. Dia ingin hidupnya kembali baik-baik saja.
Di depan jendela besar apartemennya mendung seakan-akan mengucapkan selamat pagi dalam bahasa yang tak ia mengerti. Pagi itu langit Jakarta berwarna kelabu. Klakson-klakson di jalanan sudah bersandiwara padahal jam baru menunjukkan setengah tujuh pagi.
Raja menghela napas panjang. Lantas berbalik tepat saat ponselnya di atas sofa berdering.
Setiaji is calling....
Tapi Raja melewatinya begitu saja. Bergegas menyambar handuk untuk guyuran air sebelum mengawali hari. Saat shower menyala dan dia berdiri termenung di bawahnya, sebagian hati Raja berbisik: mau sampai kapan seperti ini?
Seperti biasa, pertanyaan tanpa jawaban itu membuatnya tertawa culas. Sudah bertahun-tahun dia menghindari teman-temannya. Kepindahannya dari rumah tante Mirna sempat mendapat tentangan dari tante Mirna, Om Haris dan Lala. Mereka tidak setuju, tapi Raja tidak punya pilihan lain. Meski masih di Jakarta, tapi paling tidak teman-temannya mengerti bahwa ia baru saja memberi jarak yang teramat jauh.
Biarlah. Biar dia hadapi semuanya sendirian.
Seperti di adegan sebuah drama, rutinitas terakhir sebelum Raja keluar dari kamar mandi adalah-- mematut bayangannya di sebuah cermin. Dia tersenyum paling tidak untuk menenangkan dirinya sendiri. Tapi cairan merah yang menuruni hidung bangirnya merusak segalanya. Buru-buru dia menyalakan keran. Dan seakan-akan belum habis sampai di sana, perutnya mulai bergejolak hebat. Padahal pagi ini Raja belum menelan apa-apa, tapi dia sudah dipaksa mengeluarkan semua isi lambungnya.
Napasnya terengah, begitu juga matanya yang padam dan berair. Pahit sekali. Muntahan itu dan kenyataan hidup yang sedang ia hadapi. Bodohnya, Raja malah tertawa keras. Seirama airmatanya yang jatuh membasahi pipi.
Ma, tolong Raja, Ma....
Dan seandainya Mama betulan mendengar rintihannya, akankah Mama datang dan menjemputnya?
Sekali lagi, sebuah pertanyaan tanpa jawaban.
○○○●●●》♤♤♤《●●●○○○
Seperti hari-hari biasanya--kecuali kalau ada meeting dadakan--jam 8 lewat 25 menit, mobil SUV hitam Raja sudah terparkir di bawah rindangnya pohon akasia. Slot-slot parkir motor di sebelahnya sudah kelihatan ramai, berbanding terbalik dengan lahan parkir mobil yang masih kelihatan sepi. Setelah memastikan mobilnya terkunci dengan baik, laki-laki yang membiarkan jidatnya tertutup poni itu berjalan menuju lobi. Dandannya biasa-biasa saja, hanya kaos warna krem yang dilapisi jaket warna coklat kesayangannya.
Dipertengahan desember, cuaca mulai berubah derastis. Pagi ini saja temperatur sudah 20 derajat. Kalau bukan karena pekerjaannya yang menumpuk dan musti diselesaikan sebelum tahun baru, Raja ogah datang ke kantor.
"Pagi Mas Raja.."
Raja hanya mengangguk sekilas, "Pagi." Saat tidak sengaja berpas-pasan dengan mbak-mbak cantik dari lantai 8 bagian logistik di depan pintu lobi. Raja tidak tahu siapa namanya, tapi Raja selalu ingat sebab mbak-mbak cantik itu selalu menyapanya jika tidak sengaja bertemu.
Ditahun pertama saat Raja bekerja di tempat ini, dia pernah mendengar dari rekan-rekannya bahwa dia adalah salah satu pegawai yang tenar di kantor. Raja sendiri tidak yakin. Sebab selama dia bekerja di sana, dia sangat jarang bergaul dengan pegawai-pegawai yang lain. Rutinitasnya hanya: datang-masuk ruangan-keluar untuk makan siang-masuk ruangan lagi-lalu pulang. Raja hanya minat keluar ruangannya hanya karena 3 hal: meeting, makan siang, membuat kopinya sendiri di pantry, dan diseret Davina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaleidoskop✔
Romance[SUDAH TERBIT] TRILOGI BAGIAN 2 Bagi Davina, dia dan Jovanka adalah dua hal yang berbeda. Hidupnya terlalu rumit untuk dijelaskan, seperti terjebak dalam labirin waktu yang membingungkan. Tapi bagi Raja, keduanya sama saja. Raja mencintai Davina dan...