34# Seruang dan Kita Bicara

14.8K 3.6K 644
                                    

Sore ini, dokter memperbolehkan Raja untuk pulang. Namun bukan berarti ia lantas pulang. Nyaris setengah jam lamanya ia habiskan untuk mematung pada sebuah pintu di lantai dua. Saat ini, pintu itu ibarat sebuah gerbang perdamaian antar dua negara yang telah lama berselisih paham dan lantai yang Raja pijak saat ini adalah zona demiliterisasi berbahaya.

"Kita pulang aja." Katanya. Raja nyaris saja berbalik, namun Davina lebih cepat menghadang langkahnya.

"Sekarang, atau kamu bakalan menyesal seumur hidup kamu?"

"Dav-"

"Kamu udah di sini. Udah nggak ada langkah mundur lagi." Dav tersenyum lebar. Lantas menuntun Raja untuk benar-benar menghadap pintu di depannya. "Sekarang, ketuk pintu ini dan selesaikan semuanya dengan cara laki-laki dewasa. Yang Mulia, semangat!"

Bisa jadi ini adalah hari paling mendebarkan bagi Raja selama ia hidup di dunia. Bahkan waktu 50 menit yang ia habiskan di ruang sidang skripsi dengan dosen paling riweuh sejagad perkampusan tidak ada apa-apanya. Seolah-olah setelah ia membuka pintu itu, akan ada musuh yang siap memberondongnya dengan peluru.

Saat Raja memejamkan mata dan menarik napas berat, ia merasakan kecupan singkat pada pipinya. Dan menemukan Davina tersenyum lebar ke arahnya. Hingga secara ajaib, keberanian itu muncul begitu saja. Di awali dengan tiga ketukan ringan, Raja akhirnya memberanikan diri untuk menekan gagang pintu.

Jika bagi Raja ia baru saja membuka gerbang perbatasan. Maka bagi Papa, seberkas cahaya musim semi baru saja menyinari daratannya. Dengan hembusan angin sejuk yang membuatnya merasakan hidup untuk kedua kalinya. Begitu juga dengan Nima. Perempuan itu nyaris tidak percaya dengan apa yang tengah ia saksikan saat ini. Hingga dengan begitu saja, airmata bahagia membanjiri kedua pipinya.

"Abang?" Ini adalah suara serak Papa yang mati-matian bertahan untuk tidak menangis.

Sementara di ambang pintu, Raja berusaha keras meredam gemuruh dalam dadanya. Dan seperti dugaannya, ingatan buruk itu kembali muncul dalam ingatannya. Namun disaat yang bersamaan, suara Davina yang terngiang lebih jelas berhasil menyelamatkannya.

"Ah, aku sampai lupa jemput Attala. Mas, aku tinggal sebentar nggak pa-pa kan?" Nima benar-benar jadi orang yang pengertian. Ia bangkit detik itu juga agar bapak dan anak itu punya ruang lebih untuk bicara.

"Jangan berdiri di situ. Sini masuk." Sambungnya. Dengan senyum hangat khas Nima.

Masih tanpa suara, Raja berjalan mendekat. Hanya untuk merasakan sesak yang bertubi-tubi sebab tubuh Papa yang kini kurus kerontang. Baru setelah Nima benar-benar berlalu dari sana, Raja memberanikan diri untuk duduk dan menatap wajah sayu Papa lekat-lekat.

Ada senyum hangat di sana. Senyum khas Papa yang sudah lama sekali tidak Raja kenali. Rasanya begitu asing bisa duduk di sini. Berdua dengan Papa dalam sebuah ruangan yang dingin dan sepi.

"Abang kemana aja?" Saat Papa berusaha menyentuh tangannya, Raja buru-buru menariknya.

Sekali lagi, ini masih terlalu asing baginya. Dia sudah hidup bertahun-tahun tanpa kehadiran Papa. Cukup terbiasa baginya menganggap Papa sudah lama mati. Namun kini, orang yang telah lama ia anggap mati itu duduk begitu ringkih di hadapannya. Dengan raga yang sudah tidak mampu berjuang, raga yang telah pasrah menunggu kematian.

"Maafin, Papa." Dengan airmata yang berhasil jatuh dalam pangkuan.

Raja tahu, meski dia enggan mengaku- bahwa selama ini Papa juga pasti mengalami banyak sekali hal sulit. Ia pikir itu hal bagus. Papanya harus mendapat balasan yang setimpal atas apa yang telah ia perbuat padanya dan juga Mama. Namun melihat tangan kurus Papa yang ditancapi jarum infus, kenapa rasanya ia ingin marah?

Kaleidoskop✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang