Jam 12 malam. Berdua di atas tempat tidur, dengan Davina dalam pelukannya- Raja kembali teringat soal Papa. Lalu entah bagaimana, perlahan-lahan bongkahan besar dalam dadanya terkikis perlahan-lahan. Hingga tiba-tiba, ada keinginan untuk bertemu Papa dan mendengar cerita lengkap dari sudut pandang Papa.
"Dav?"
"Hmm?"
"Aku takut." Katanya, "Aku takut kalau ketemu Papa, bayang-bayang Papa waktu abusive ke Mama muncul lagi. Malah kadang, aku takut bakalan jadi kayak Papa suatu saat nanti hanya karena aku anaknya."
Tanpa sepengetahuan laki-laki itu, Dav tersenyum dalam dadanya. Setelah sekian lama, Raja kembali menyebutkan kata Papa sebagai panggilannya untuk Om Derias. Dav tahu, pasti ada pergerumulan batin hebat sebelum akhirnya Raja memutuskan untuk memanggilnya begitu.
"Kamu tahu nggak? Nggak ada orang tua yang bisa milih, seperti apa dia bakalan punya anak nanti. Sama seperti itu, kamu juga nggak bisa milih bakalan seperti apa orang tua kamu. Tapi setelah dewasa, kamu punya pilihan- kamu mau jadi seperti orang tua kamu atau tidak."
Meski ada benarnya, Raja memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa. Lalu saat ia menoleh pada Davina, ia menemukan perempuan itu balik menatapnya dengan senyum hangat yang tulus. Kemudian Raja mendekapnya. Menyimpan raga perempuan itu dalam dadanya. Ego yang semula menggunung, perlahan-lahan mulai tertepis. Serpihan-serpihannya mungkin masih akan menetap di sana. Tapi kini, rasa sakit itu berubah menjadi perasaan hangat yang menenangkan.
Rasanya seperti- kembali menemukan sesuatu miliknya yang berharga.
"Aku nggak minta kamu buat maafin Papa kamu. Kalau kamu nggak bisa, kamu nggak perlu melakukannya. Kamu hanya butuh menerima segala hal yang pernah terjadi. Mengikhlaskan dan berpikir dengan tenang- bahwa apapun yang kamu terima, adalah bagian dari mendewasakan diri. Seperti yang pernah kamu bilang, kita bukan satu-satunya orang yang pernah mengalami masa sulit. Tapi kamu lupa buat bilang sama diri kamu sendiri, bahwa sesulit apapun masa-masa itu, cepat atau lambat semuanya pasti akan berlalu."
"Hmm.." seakan-akan, tidak ada kata yang bisa Raja ucapkan. Yang bisa ia lakukan hanya mendekap Davina semampunya.
"Kamu juga lupa satu hal. Sebenci apapun kamu sama Papa kamu, dia adalah orang yang pernah dicintai sama Mama kamu. Dia adalah alasan kamu dilahirkan. Jadi meskipun kamu ngeyakinin aku kalau kamu benci sama dia, aku nggak akan pernah percaya. Karena entah seberapa benyak- kamu pasti juga kangen sama dia. Iya kan?"
Tapi alih-alih menjawab, Raja malah terkekeh. Dalam kegelapan saat ia memejamkan mata, wajah lucu Davina saat bicara ngalor-ngidul tiba-tiba saja tergambar. Ternyata dibalik kesintingan dan ketidak-jelasan tingkahnya selama ini, ada kedewasaan yang tidak pernah Raja ketahui.
"Menurut kamu, Dav- apa yang membuat Nima memutuskan menerima Papa?"
"Aku nggak tahu. Aku bukan Nima. Tapi kalau kamu nanya sama aku- apa yang membuat aku memutuskan untuk menerima kamu, itu karena---"
"Karena apa?"
"Karena, di balik keras kepalanya kamu- kamu cuma sebatang kayu yang dikikis rayap. Karena aku tahu bahwa kamu serapuh itu, aku pengen bisa peluk kamu setiap saat dan bilang kalau kamu nggak pernah sendirian. Aku bakalan ada di samping kamu. Aku nggak akan pergi. Kecuali kamu minta aku buat pergi."
Sebelumnya, Attala Rajasa adalah pohon mahoni yang nyaris mati. Rayap-rayap liar berbondong-bondong padanya agar secepat-cepatnya ia mati. Namun disaat kemarau panjang mendera, Davina adalah seguyur air yang membiarkannya kembali bertunas. Mengusir segerombol rayap sampai sejauh-jauhnya. Hingga waktu berlalu, Raja adalah tunas mahoni yang kembali memiliki harapan. Siap tumbuh dan subur saat musim penghujan datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaleidoskop✔
Romance[SUDAH TERBIT] TRILOGI BAGIAN 2 Bagi Davina, dia dan Jovanka adalah dua hal yang berbeda. Hidupnya terlalu rumit untuk dijelaskan, seperti terjebak dalam labirin waktu yang membingungkan. Tapi bagi Raja, keduanya sama saja. Raja mencintai Davina dan...