Warna-warni lampu disko bergerilya, menelusup ke setiap penjuru ruang tanpa terkecuali. Dentumannya meracuni siapa saja untuk turun ke lantai dansa. Merontokkan beban-beban bersama gerakan acak yang menyenangkan. Tertawa, berteriak, seakan-akan itu adalah hal terakhir yang bisa mereka lakukan sebelum mati.
Sebagian lagi mengangkat gelas mereka tinggi-tinggi, lantas menyesapnya dalam sekali tenggak. Habis tak bersisa. Kemudian dituang lagi sampai bergelas-gelas, sampai puas.
Di sudut meja bar, Ken menyulap berbotol-botol minuman beralkohol menjadi segelas cocktail yang memabukkan. Gelas itu ia sodorkan pada pria borjouis berpenampilan berantakan dengan sebatang rokok di sela jemarinya. Tampangnya bukan seperti laki-laki bejat yang sering kali Ken temui. Hanya sejenis calon suami idaman yang tiba-tiba depresi karena tunangannya dibawa kabur laki-laki lain.
Wajah-wajah menderita itu, Ken rasanya hapal betul di luar kepala.
"One shoot, Sir?" Kata Ken. Sedikit lebih kencang karena suara musik disko yang meredam suaranya.
Pria itu terkekeh dengan nada getir, begitu juga Ken. Tapi sayangnya Ken enggan menikmati kesedihan orang lain. Laki-laki itu kemudian kembali berjalan ke sudut meja bar. Mengambil satu balok es batu, lalu menyisirnya dengan pisau tajam hingga berbentuk bulat sempurna. Meletakkannya dalam sebuah gelas pendek dan menuanginya dengan setengah gelas vodka.
Gelas itu lantas ia ulurkan pada laki-laki berpenampilan rock n roll sebelum akhirnya ia meneripa tip dan laki-laki itu berlalu dari sana.
Saat Ken mengambil satu balok es dan bersiap untuk menyisirnya lagi, matanya menangkap sosok yang sama sekali tidak ia harapkan berjalan ke arahnya dengan lagak jumawa. Alih-alih menyambutnya, Ken malah menghela napas panjang sebelum akhirnya meletakkan balok es kembali ke tempatnya dan pergi begitu saja.
"Raka!"
"Oit?"
"Nih, terusin." Ken melepas apron dipinggangnya dengan wajah masam.
"Cabut lo?"
Ken tidak menjawab atau mengatakan sepatah katapun. Laki-laki itu hanya berlalu begitu saja. Bahkan setelah ia sampai di basement, dia masih harus dibuat kesal karena seseorang itu masih saja mengikutinya.
"Keenan!"
Langkah kaki pemuda itu otomatis berhenti. Kemudian berbalik, hanya untuk menemukan bibir perempuan itu menyungging.
"Lo beneran nggak ngerti bahasa manusia ya?" Ken bertanya sengak. Namun alih-alih tersinggung, perempuan itu justru tertawa. Jenis tawa yang aneh. Dan Ken sama sekali tidak suka dengan keduanya; jenis tawa itu, sekaligus pemiliknya.
"Apa yang gue tawarkan ke lo adalah jenis penawaran yang jelas-jelas menguntungkan buat kita. Lo dapetin Davina, gue dapetin Raja. Kurang menarik apa lagi?"
"Lo itu sadar nggak sih lagi berurusan sama siapa?"
Lagi-lagi, Perempuan itu hanya tertawa. "Keenan, Keenan.. gue nggak tahu lo itu beneran polos atau emang cuma pura-pura naif doang."
"Maksud lo apa?"
"Lo suka Davina kan?"
"Gue nggak tertarik sama dia." Ken tidak berbohong. Dia memang betulan tidak tertarik dengan Davina. Dia hanya tertarik dengan Jovanka.
"Mata lo bilang kalau lo suka sama dia." Perempuan itu- Jeanne, mendekat perlahan-lahan. Dan begitu ia berhenti tepat di depan Ken, wajah jumawanya semakin dibuat-buat. "Gue udah mengincar Raja udah dari lama. Bahkan jauh sebelum dia ketemu saja perempuan nggak tahu diri itu. Dan gue, gue bersumpah bakalan dapetin apapun yang gue mau. Termasuk menyingkirkan Davina, itu mudah buat gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaleidoskop✔
Roman d'amour[SUDAH TERBIT] TRILOGI BAGIAN 2 Bagi Davina, dia dan Jovanka adalah dua hal yang berbeda. Hidupnya terlalu rumit untuk dijelaskan, seperti terjebak dalam labirin waktu yang membingungkan. Tapi bagi Raja, keduanya sama saja. Raja mencintai Davina dan...