Seandainya Papa berkata bahwa ia menyesali segalanya tepat sebelum Mama pergi, apakah Raja bisa memaafkannya?
Jam 2 dua pagi di hari berikutnya, Raja membiarkan dirinya basah kuyup di bawah guyuran shower. Dia sengaja membiarkan dirinya dijebak sepi untuk kesekian kali. Di antara kedua kakinya, darah segar jatuh mengikuti air mengalir. Luka dipunggung tangannya tidak ada apa-apanya dibanding luka yang kembali bersemi dalam dadanya. Kemunculan Papa yang mendadak seakan-akan menyirami lukanya yang semula kering dan nyaris mati. Kini, tanpa permisi, Papa membiarkan luka itu tumbuh subur lagi dalam dadanya.
Apa selama ini masih belum cukup? Apa bagi Papa, Raja masih belum cukup hancur? Padahal kalau Papa mampu memahaminya, Raja bukan hanya hancur. Jiwanya bahkan telah mati, dihujam kenyataan pahit yang bertubi-tubi.
Hatinya sakit lagi. Tapi anehnya, Raja tidak bisa menangisi apapun untuk saat ini. Tidak untuk pengkhianat Papa. Tidak untuk kematian Mama. Apa yang ia lakukan saat ini hanyalah sebagai bentuk perayaan kecil untuk hidupnya yang kacau balau. Di antara perih yang menjalari tangan dan dadanya, Raja tertawa. Harusnya ia mengingat lebih banyak hal buruk tentang Papa. Namun malam ini, kenapa ingatan-ingatan indah yang melintas dalam kepalanya?
"Pa, 1 ditambah 1 sama dengan berapa?"
"Dua dong."
"Salah!"
"Hah?"
"Iya, yang bener tuh 1 ditambah 1 sama dengan jendela."
"Kok bisa?"
"Bisalah! Nih lihat 1+1, jadi jendela kan?"
Tawa Papa saat memeluknya nampak begitu jelas.
"Pa, nanti kalau udah besar, Raja mau jadi pengusaha sukses kayak Papa ya?"
"Oh, harus itu! Raja harus sukses seperti Papa."
"Nanti kalau Raja udah sukses kayak Papa, Raja mau beli Amerika! Woooo!"
Lagi-lagi yang terlihat adalah cara bagaimana Papa tertawa.
"Paaa! Aku mau naik pesawat lagi!"
"Heh! Nggak usah ngaco ya, kita aja baru turun dari pesawat."
"Yaaaa, nggak asik. Sebentar banget naiknya."
"Kamu nih. Ada-ada aja."
"Kita kapan naik pesawat lagi, Pa?"
"Nanti lah, pas pulang."
"Kita kapan pulang, Pa?"
"Ma, lihat deh. Ini mau liburan apa mau naik pesawat doang sih?"
"Besok aku mau beli pesawat sendiri pokoknya!"
"Emang punya uang?"
"Punya lah! Nanti kalau aku sudah sebesar Papa!"
Detik dimana tawa Papa muncul lagi dalam kepalanya, Raja mengerang. Bahkan sekalipun ia memukuli kepalanya seperti orang kesetanan, wajah itu masih muncul dengan jelas di sana. Berulang-ulang kali, serupa roll film klasik yang rusak.
Saat itulah airmatanya jatuh. Dibawa guyuran air, mengalir entah sampai ke mana. Ia membiarkan dirinya menangis tersedu-sedu. Mau sampai kapan Tuhan menyiksanya begini? Batinnya bahkan sudah tidak utuh lagi!
Bahkan di hari berikutnya lagi, Raja hanya menghabiskan waktunya bergelung di bawah selimut. Kali ini ia tidak menangis. Yang ia lakukan hanya tidur dari jam 8 sampai jam 8 lagi. Ajaibnya, disaat seperti ini perutnya tidak merasakan lapar sama sekali. Ia dengar ponselnya berdering berkali-kali, namun ia biarkan saja benda itu tergeletak di atas nakas. Sampai kemudian mati dengan sendirinya karena baterainya yang sudah habis.
![](https://img.wattpad.com/cover/203348202-288-k770771.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaleidoskop✔
Romance[SUDAH TERBIT] TRILOGI BAGIAN 2 Bagi Davina, dia dan Jovanka adalah dua hal yang berbeda. Hidupnya terlalu rumit untuk dijelaskan, seperti terjebak dalam labirin waktu yang membingungkan. Tapi bagi Raja, keduanya sama saja. Raja mencintai Davina dan...