Langit mulai menggelap saat mobil yang ditumpangi Davina berhenti disebuah gedung bekas yang berlokasi cukup jauh di pinggiran kota. Gedung ini sekilas mengingatkan Dav pada tempat permainan casino yang dulu sering ia kunjungi bersama Ken. Hanya saja, tempat ini lebih kelihatan seperti sebuah markas alih-alih gedung kosong. Di sudut depan bangunan ada replika lampu traffic yang menyala profokatif. Lapisan luar gedung yang nampak diperbarui dipenuhi oleh graffiti-graffiti unik. Ban-ban bekas dan tong-tong minyak saling bertumpukan.
"Raja nyuruh saya ke sini?"
Pria itu mengangguk ramah, lantas menggiring Davina untuk masuk lebih jauh ke dalam gedung. Dalam hati Davina mendesis. Dia tahu bahwa pria itu baru saja mengatakan hal bohong. Raja tidak pernah menyuruh siapapun untuk menjemputnya dan membawanya kemari.
Perasaan bahagia Dav hancur dan berganti menjadi kecemasan saat tanpa sengaja ia berpas-pasan dengan mobil Raja tidak jauh setelah ia keluar dari Memorella. Dav tahu bahwa situasi ini adalah sebuah ancaman tersirat. Maka tanpa suara dan berlagak seolah-olah tidak mencurigai apapun, Dav merogoh tasnya dan menghubungi Raja.
Sesaat sebelum Dav memutuskan untuk masuk ke dalam gedung, ia sempat mengecek panggilan yang ia lakukan. Masih tersambung. Dengan begini ia bisa memberitahu Raja mengenai keberadaannya.
Suasana gedung dalam keadaan sepi saat Dav tiba. Alih-alih menyeramkan, tempat ini justru nampak baik-baik saja untuk ditempati. Di ujung ruangan ada sofa berlapis kulit sintetis yang nampak koyak dibeberapa bagian. Ada gitar klasik dan beberapa alat permainan baseball. Sticker-sticker khas anak motor tertempel acak dibeberapa sudut dinding. Asbak yang penuh dengan puntung rokok, juga kaleng-kaleng bir yang berserakan di lantai.
Tapi yang menarik, di tengah-tengah ruangan ada meja dinner lengkap dengan lilin dan bunga. Dua piring daging steak dan beberapa makanan pendamping, serta dua gelas anggur sebagai sajian pelengkap.
Dav tersenyum miring. Bagaimana mungkin Raja menyajikan dua gelas anggur sementara mencicipi setenggah tenggak bir saja tidak pernah.
"Dimana Raja?" Dav menoleh dan berusaha nampak baik-baik saja. "Saya mau ketemu."
"Tunggu. Saya panggilkan." katanya. Kemudian pria itu berlalu dengan lagak jumawa.
Kini hanya tinggal Davina seorang diri. Bahkan sekalipun ia punya kesempatan untuk berbicara dengan Raja, dia tidak melakukan apapun. Hanya diam sembari berpikir, siapa dalang dibalik semua ini?
Lantas setelah bermenit-menit dalam kekalutan, Dav akhirnya mendendengar suara hentakan sepatu yang membuatnya tersenyum sumir.
Suara stiletto? Jeanne!
Dan benar. Dav langsung disuguhi senyum skeptis perempuan itu begitu ia berbalik. Yang membuat Dav kembali bertanya-tanya, untuk apa Jean melakukan ini?
"Wow! Ternyata gampang banget buat bawa lo ke sini. Tinggal sebut nama Raja, lo datang dengan sendirinya. Jadi ini nggak bisa disebut penculikan kan? Karena lo datang secara suka rela."
"Mau lo apa sih sebenernya?"
Jean langsung tergelak. "Apalagi? Gue mau Raja! Udah jelas kan?"
"Lo udah gila ya?"
Lagi-lagi Jean hanya tertawa. "Iya. Raja udah bikin gue gila. Setiap saat gue selalu mikirin dia. Gue selalu terbayang betapa beruntungnya gue kalau Raja bisa jadi milik gue."
"Tapi sayangnya dia milih gue."
"Siapa bilang? Lo yakin dia bakalan tetep milih lo setelah ini?"
"Maksud lo?"
Disaat Dav menyelesaikan kata-katanya, segerombolan laki-laki menuruni tangga dengan senyum mengembang. Satu diantaranya menatap Dav dengan pandangan intens.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaleidoskop✔
Romance[SUDAH TERBIT] TRILOGI BAGIAN 2 Bagi Davina, dia dan Jovanka adalah dua hal yang berbeda. Hidupnya terlalu rumit untuk dijelaskan, seperti terjebak dalam labirin waktu yang membingungkan. Tapi bagi Raja, keduanya sama saja. Raja mencintai Davina dan...