18# Gerimis

19.3K 4.3K 534
                                    

Sore itu hujan turun lagi. Tidak sederas semalam, namun cukup untuk membasahi aspal yang sudah disengat panas selama seharian. Setelah dokter memperbolehkan Dav untuk rawat jalan, dia memutuskan untuk pulang sore itu juga. Lagipula, siapa juga yang betah tinggal di rumah sakit lama-lama.

Seperti biasanya, jalanan macet. Bintik-bintik air dari luar jendela, hujan di tepi senja dan lagu indie yang diputar tanpa sengaja mungkin kedengaran romantis. Kehadiran Raja di sebelahnya-- dengan tampang ganteng yang fokus pada jalanan, harusnya terasa sempurna. Tapi hujan itu justru membuat Dav merasa kosong. Hal-hal di luar jendela bergerak terlalu cepat, seperti rasa takut yang tiba-tiba merayapi dadanya tanpa permisi.

Dan bukannya Raja tidak memperhatikannya. Hanya saja, dia pikir kejadian yang terjadi kemarin malam masih mengejutkan bagi Davina. Raja tahu, sejak mereka meninggalkan rumah sakit, Dav hanya melihat ke luar jendela. Tanpa suara, dengan tatapan mata yang kosong.

Hanya 200 meter setelah lampu merah, Raja menghentikan mobilnya di sebuah kedai ayam penyet pinggir jalan. Dan sesuai dugaannya, hal itu berhasil membuat Davina keluar dari lamunannya.

"Kenapa?"

Setelah mengambil ponsel dan dompet di belakang transisi, laki-laki itu menyipitkan mata. "Apanya?"

"Kenapa berhenti?"

"Emang kamu nggak butuh makan?"

Dav menghela napas rendah. Dia bahkan tidak sadar kalau mobil Raja berhenti tepat di depan angkringan ayam penyet. Jam digital pada monitor mobil sudah menunjukkan setengah 6 sore. Padahal seingatnya, mereka keluar rumah sakit sekitar jam 4 lewat dan tiba-tiba saja sekarang hampir jam 6.

"Pakai, di luar dingin." Suara tenang Raja lagi-lagi membuyarkan lamunanya.

Laki-laki itu lantas menyodorkan hoodie abu-abunya dan membuka pintu mobil begitu saja. Sampai membuat Dav mencebik karena Raja langsung masuk ke dalam warung tanpa mau menunggunya.

Untuk sejenak, Davina tersenyum tipis. Wangi Raja langsung semerbak saat pakaian laki-laki sudah melekat di tubuhnya. Hangat, rasanya seperti pelukan tadi pagi yang ia rasakan. Tapi cepat-cepat ia menggeleng. Biasanya orang yang sudah dilambung-lambungkan itu bisa dijatuhkan kapan saja. Dav boleh senang, tapi jauh di dalam hatinya, dia tidak mau berharap banyak.

Tenda warung ayam penyet kala itu ramai. Bahkan orang-orang yang mengantre untuk dibawa pulang bejibun di depan pintu masuk sampai-sampai membuat Dav kerepotan mencari jalan. Tapi untungnya, mata Davina langsung menemukan sosok Raja. Laki-laki itu duduk di meja paling ujung, dekat sepanduk bergambar bebek dan lele.

"Makanan di sini enak ya?"

Raja langsung mengalihkan eksistensinya dari ponsel, pada Davina yang duduk di seberangnya. Perempuan itu lucu, jujur saja. Rambut pendeknya dikuncir dua, dengan wajah bulat dan hoodie yang sedikit kebesaran.

"Nggak tahu." Dav langsung memutar bola matanya. Tipikal Attala Rajasa, menjawab dengan lugas dan apa adanya. "Ya, kalau rame kayak gini berarti enak."

"Yang Mulia belum pernah ke sini emang?"

"Belum."

Lalu keduanya tidak bersuara lagi. Tenda warung penyet saat itu hanya diisi oleh perbincangan pengunjung yang datang, dengan iringan lagu Evie Tamala yang selalu berhasil mengundang nostalgia. Raja sibuk mengotak-atik ponselnya, entah melakukan kesibukan apa di sana. Sementara Dav sibuk mengamati keramaian yang terjadi di tenda ayam penyet saat itu.

Dav pikir, tempat ini bisa sedemikian ramainya pasti bukan tanpa alasan. Wangi rempah-rempah dari ayam ungkep yang baru saja masuk ke dalam wajan dan aroma sambal terasi yang khas seakan-akan memberi kejelasan. Dav menghirup aroma itu dalam-dalam. Dia tidak tahu, sejak kapan wangi ayam goreng dan aroma petrichor bisa senada dan membuat perasaannya perlahan-lahan membaik.

Kaleidoskop✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang