Pasar

1.6K 113 4
                                    


Sepanjang perjalan pasangan suami istri hanya diam, menikmati keramaian pagi di kota yang sering dijuluki sebagai kota pelajar. Jarak antara pasar dan rumah mereka sebenarnya tidak terlalu jauh. Mungkin hanya membutuhkan waktu 10 menit dengan menggunakan  kendaraan pribadi, kalau pakai angkot tambah 5 menit, karena sering ngetem. Semenjak hidup di kota ini kehidupan Afif berubah, dari mulai kebiasaan, gaya hidup, makanan, semua berubah. Dulu dia terbiasa tidur lagi setelah sholat subuh, kini berubah, harus mengurus keluarga. Makanan, dulu Afif tak terlalu suka makanan, dulu dia lebih memilih menyelesaikan pekerjaan dahulu dari pada makan, sekarang berubah makan dulu baru kerja.

"Sampai". Ucapan Lucky membuyarkan lamunan Afif. Afif segera membenarkan gendongan Cantika. "Sayang turun yuk, sudah sampai". Afif ingin membuka pintu, tapi Lucky lebih cepat beberapa detik untuk membukakan pintunya. "Ayo turu sayang, atau mau di gendongan ayah". Lucky berusaha membujuk Cantika agar mau dia gendong, tapi sayang gadis itu melengos lagi.

Lucky mensejajarkan langkahnya dengan Afif yang menggendong Cantika, sedangkan dirinya membawa tas yang telah berisi beberapa sayuran yang telah mereka beli. "Kita mau beli apa lagi Fif", tanya Lucky. "Lha kamu mau aku masakin apa". Afif malah balik tanya. "Kalau aku mah, kamu masak apa aja suka", gombal Lucky. "Apaan sih, ini aku mau masak sayur bayam tapi buat Cantika, kamu emangnya mau juga sayur bayam", tanya Afif. "Kan aku sudah bilang, kamu masak apa aja yang penting makanan, pasti aku suka", Jawab Lucky sambil memamerkan senyum indahnya yang langsung membuat jantung Afif berdisco ria. 'aduh... jangan senyum kayak gitu, bikin jantungku tambah gak normal', ucap Afif dalam batinnya. "Fif,Fif, kamu kenapa". Lucky menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajah Afif. "Gak papa". Afif segera mengalihkan pandangan dari wajah indah Lucky. "Maaf ya aku goda kamu terus, kalau kamu mau sayur bayam buat Cantika sekalian buat aku gak papa", ucap Lucky tulus. "Oke deh, aku masakin sayur bayam, tapi nanti buat kamu aku tambahin sambal kelapa, pasti lebih enek". Afif membayangkan sayur bayam dengan sambal kelapa, dan ditambah hati ayam. Hehhh, nakne naknan (enak.e, enak tenan). "Sambal kelapa". Lucky mengernyitkan dahinya, membayangkan bentuk sambal kelapa. "Iya, sambal kelapa. kelapa dicampur dengan sambal. Ulekan cabai, dikasih gula sedikit sama garam dan terasi. Rasanya enak banget, gurih-gurih pedas". Lucky mengangguk-anggukkan kepalanya, lumayan ada bayangan tentang bentuk dan rasa sambal kelapa. "Oke deh, nanti aku coba, tapi aku haus nih, kita beli minum dulu yuk", ajak Lucky.

Mereka masih berjalan berkeliling pasar, mencari beberapa belanjaan yang kurang, sambil mencari penjual minuman. Mereka lupa membawa botol minuman, hanya botol susu Cantika yang mereka bawa dan kini hanya tinggal separuh. Oh iya, setelah beberapa bujuk rayu yang Lucky ucapkan, akhirnya Cantika mau berada di dalam gendongannya. "Mas, itu ada penjual cendol dawet, mas Lucky mau". Afif sekarang juga mulai membiasakan diri menyebut lucky dengan sebutan mas. Seharusnya memang dari dulu, soalnya kan usia Lucky memang lebih tua 5 tahun dari Afif, tapi dasar Afif yang dulu tak suka dengan Lucky, ya... Jadi terserah saja dia memanggil lelaki itu. "Boleh dik, mas juga sudah haus banget". Lucky berucap sambil tersenyum lagi kearah Afif. Afif yang ditatap hanya salting-salting dan senyum-senyum sendiri. Jangan lupakan hatinya. Hati dia juga seperti di ditaburi bunga-bunga indah nan harum, bikin adem perasaan. "Ya udah yuk". Karena saltingnya, Afif tak sadar menggandeng tangan Lucky yang tidak digunakan untuk menggendong Cantika. Ya Allah Afif sadar tidak dengan tingkah lakunya yang katanya belum cinta. Tapi kok selalu berbunga-bunga, dan dag-dig-dug duerrr.

"Bang, dawetnya dua". Lucky memesan dua cendol dawet buat dirinya dan istrinya. Mereka duduk di samping penjual dawet yang sedang membuatkan pesanan mereka. Dari tempat duduknya Afif dan Lucky dapat melihat ramainya hiruk pikuk orang bertransaksi, saling tawar menawar. Tempat berjualan dawet ini masih di dalam pasar, berdekatan dengan beberapa penjual jajanan pasar seperti klepon, dadar gulung, oyol-oyol, dan teman-temannya, banyak banget jajanan pasarnya. "Ini mas dawetnya". Penjual dawet itu memberikan dawetnya pada Lucky. Tapi karena Lucky masih ribet dengan posisi duduknya memangku Cantika, Afif mengambil alih dua dawet yang di pegang pejual dawet tersebut. "Gimana, bisa minum sambil pangku Cantika". Melihat posisi Lucky yang sudah nyaman Afif memberikan semangkuk dawetnya.
Lucky menikmati semangkok dawet yang lumayan bisa menghilangkan sedikit rasa hausnya, sesekali dia juga menyuapi Cantika dan saat mengetahui hal itu Afif langsung ngomel. "Mas, kok Cantika dikasih ini sih". Afif mengelap mulut Cantika yang terkena air dawet. "Gak papa ini enak, anak ayah juga suka kan". Lucky meminta pembelaan dari yang di suapinya. "Iya, tapi nanti kalau sakit gimana". Afif takut, setelah minum dawet Cantika akan batuk. "Tenang, ini pakai gula aren bukan pemanis buatan jadi gak akan sakit". Mulut Lucky bisa membedakan mana pemanis buatan mana gula aren. "Tahu dari mana kamu kalau dari gula aren". Afif belum percaya dengan jawaban Lucky, tau dari mana dia coba. "Aku bisa rasain, dulu waktu di semarang, aku sering minum ini sama pak Idris, dia juga kasih tahu aku, gimana membedakan dawet yang pakai gula Aren sama pemanis buatan". Mendengar jawaban Lucky Afif hanya menarik dua ujung bibirnya. Untung waktu perdebatan penjual dawet lagi nongkrong ke kamar mandi, jadi gak tahu kalau dawetnya lagi direview sama pasangan suami istri ini.

Estafet JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang