Delapan Belas : Diawasi?

259 20 1
                                    

Aylin bangun keesokan harinya dengan mood dan badan yang terasa lebih segar. Entah karena memang masih lelah atau karena kasur berukuran king size yang begitu empuk dan nyaman itu. Aylin akhirnya langsung terlelap begitu tubuhnya menyentuh tempat tidur semalam. Setelahnya, tidak ada yang mengganggu tidurnya kecuali alarm sholat malamnya. Tidak pula mimpi aneh itu.

Tapi bagaimana pun tinggal di sebuah penthouse ditengah kota -Aylin akhirnya tau dimana dirinya berada berkat google maps- yang jauh lebih luas dari rumahnya, adalah pengalaman yang baru Aylin rasakan. Semua kemewahan ini justru membuat Aylin merasa jauh lebih kesepian daripada di rumahnya. Karena itu lah saat terdengar bunyi bell, Aylin segera beranjak meninggalkan dapur tempat dia menyiapkan sarapan pagi.

Dhini. Itu harapan Aylin saat membuka pintu. Karena memang pagi ini Aylin sudah menceritakan semua kejadian kemarin pada Dhini. Sahabatnya itu sedari kemarin mencoba menelfonnya. Tapi baru pagi ini Aylin akhirnya balik menelfonnya. Aylin pun langsung diintrogasi secara mendetail oleh Dhini, begitu sahabatnya itu menerima panggilannya.

"Kamu tau ini sama dengan penculikan." Suara tinggi Aylin langsung terdengar begitu Aylin membuka pintu.

Dhini sedang mengomel pada pria yang Aylin pernah lihat beberapa kali bersama Farzan. Tapi seperti biasa, Ayliln tidak yakin dan tidak ingat apakah sudah pernah mengetahui nama pria itu. Tapi melihat Dhini sudah mengomel pada pria itu. Kemungkinan sahabatnya itu sudah kenal dengan pria tampan berkacamata yang sekarang sedang menghembuskan nafas panjang.

"Sekali lagi, ini bukan penculikan." Pria itu menaikan posisi kacamatanya. "Justru Bos ku sudah membantu sahabat mu."

Aylin berhasil berdehem mendahului balasan Dhini yang siap dilontarkan. "Lebih baik kalian melanjutkan diskusi kalian di dalam."

"Kamu tidak perlu mengizinkannya masuk." Dhini melangkah masuk dan hendak menutup pintu.

Tapi Aylin berhasil menahannya, sebelum sahabatnya berhasil menariknya. "Maafkan sahabat saya. Silahkan masuk pak...."

"Arya. Panggil aku Arya. Tanpa pak." Arya memberikan senyum yang menghasilkan lengsung pipi andalannya. "Kita sudah sering bertemu, tapi tidak pernah punya kesempatan untuk berkenalan 'kan?"

Aylin mengangguk. Kemudian menutup pintu setelah kedua tamunya itu masuk menuju ruang tengah. Aylin dapat mendengar suara-suara kekaguman yang tidak ragu diperdengarkan Dhini meskipun ada Arya bersama mereka. Meskipun Arya terlihat tidak peduli dengan kekaguman Dhini, karena pria itu justru mendahului mereka menuju pantry dapur.

"Kamu masak nasi goreng?" Tebak Arya yang mengendus-endus udara sebelum memasuki dapur.

"Maafkan saya sudah seenaknya memakai bahan yang ada di dapur."

"Tolong berhenti berbicara dengan formal." Kata Arya sambil duduk di kursi tinggi dekat pantry. "Selain itu, baik bahan makanan, baju, sepatu dan semua barang yang ada di penthouse ini memang disediakan untukmu. Farzan secara mendadak memintaku untuk menyediakan semua itu kemarin. Beruntung ada mall di depan."

"Karena itu lah kenapa Bos mu itu mau repot-repot menyiapkan semua itu untuk Aylin?" Dhini yang ikut duduk di sebrang Arya, sengaja meletakkan tasnya dengan keras ke meja pantry. "Kamu harus menjelaskan dengan detail agar aku bisa menganggap ini bukan penculikan."

Perkataan Dhini itu membuat Aylin tersenyum. Sahabatnya itu memang selalu bertingkah seperti induk ayam setiap Aylin diganggu. Tentu saja Dhini tidak akan tinggal diam dengan segala keanehan yang menimpa Aylin.

"Oke. Kalian harus mengisi energi dulu, sebelum lanjut bertengkar." Aylin meletakkan piring berisi nasi goreng di depan kedua orang yang saat ini sedang saling melotot.

BULANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang