Empat Puluh : Clue Tidak Terduga

230 21 0
                                    

"Kita akan tinggal disini?" Aylin bertanya tanpa bisa melepaskan pandangannya dari rumah pantai yang ada di depannya, begitu kakinya kembali menginjak tanah setelah keluar dari mobil.

Setelah garasi penuh dengan mobil mewah dan cepat. Sekarang Aylin tiba di rumah pantai dua lantai dengan satu basement ber-design modern. Kaca satu arah mendominasi rumah itu sehingga cahaya matahari bisa dengan mudah masuk ke dalam rumah, serta membuat rumah itu terkesan luas dan lega. Aylin bahkan bisa mendengar suara ombak dan mencium bau laut yang menunjukkan kalau rumah ini begitu dekat dengan pantai.

"Ini adalah tempat yang paling aman." Kata Farzan sambil menyimpan kunci mobilnya dalam saku dada jas nya, setelah menekan tombol kunci. "Rumah ini dekat daerah konservasi. Hanya 100 orang yang diperbolehkan berkunjung ke pantai yang dibuka untuk umum hanya di jam-jam tertentu itu. Dan seluruh kaca di rumah ini anti peluru."

"Sebelumnya kamu juga mengatakan kalau rumahmu yang kamu tinggali bersama Gan adalah tempat yang paling aman." Ucap Aylin sambil berjalan mengikuti Farzan yang sudah beranjak menuju pintu bercat putih. "Tapi lihatlah apa yang baru kita alami dan dimana kita berada? Di luar kota dan luar peradaban."

Ponsel Aylin berdering begitu mereka sampai di ruang tengah yang luas dengan design interior modern. Nama Dhini terpampang di layar ponsel Aylin. Aylin tau sahabatnya itu pasti khawatir karena ini sudah jam 10 dan Aylin masih belum sampai di sekolah. Itu juga kalau Arya belum memberitahunya kalau Aylin baru saja kejar-kejaran dengan penguntitnya dalam kecepatan tinggi.

"Angkatlah. Arya sudah mengirimkan surat izinmu ke sekolahmu." Farzan berkata sambil duduk di sofa. Kemudian pria itu mulai membuka tas punggung hitam yang tadi diambilnya dari jok belakang mobil. Tas yang ternyata berisi perkamen Dewi Pambayun yang mulai diletakkan Farzan ke atas meja. "Silahkan ngobrol, sementara aku mencari cara agar kita bisa kembali keperadaban."

Nada sindiran yang digunakan Farzan di kalimat terakhirnya tidak luput dari telinga Aylin. Tentu saja. Pria itu berbalik menyindir Aylin karena terbukti tempat ini tidak jauh dari peradaban karena sinyal telefon masih menjangkau Aylin. Tapi bukan Aylin namanya kalau membiarkan Farzan menang begitu saja. Apalagi untuk urusan sindir menyindir.

"Kamu tau, aku pikir kamu begitu cerdas karena sudah hidup ribuan tahun." Ucap Aylin yang sengaja memberikan senyum datar pada Farzan. Dengan sengaja Aylin membiarkan deringan ponselnya menjadi latar belakang perkataanya. "Tapi kelihatannya tidak secerdas itu, karena kamu tidak menyadari keanehan yang dibuat oleh nenek moyangku."

Kening Farzan berkerut begitu mendengar perkataan Aylin itu. Aylin tau dirinya hampir menang. "Maksudmu?"

"Butuh Clue Mr. Farzan?" Tanya Aylin sambil meletakkan ponselnya di meja, begitu deringannya berakhir. Dengan sengaja kali ini Aylin merubahnya menjadi mode getar. Sehingga saat panggilan Dhin kembali masuk, ponsel itu hanya bergetar.

Namun sayang senyum arogan Farzan kembali muncul saat pria itu mengeluarkan laptop dari tas hitamnya. "Aku tidak yakin Clue yang kamu berikan akan berguna. Tapi aku akan mendengarkannya."

Pria itu memang benar-benar menyebalkan bukan? Tapi Aylin akan membungkam kearoganannya saat ini juga. "Oke, Tuan Tau Segalanya. Aku hanya ingin mengingatkan mu bahwa Dewi Pambayun, nenek moyangku itu lahir dan besar di China. Meski Bahasa ibunya adalah Bahasa jawa. Tapi bukan kah Bahasa sehari-harinya adalah Bahasa Mandarin? Bahkan nenek, mama dan bibiku lebih nyaman berbicara dalam Bahasa Mandarin satu sama lain."

Panggilan telfon Dhini kembali berakhir. Aylin bisa mengorbankan telinganya untuk diomeli Dhini nanti. Tapi kernyit di kening Farzan dan ekspresi blank nya benar-benar layak untuk dilihat dengan mempertaruhkan telinga Aylin. Kapan lagi bisa melihat pria arogan itu terperangah seperti itu?

BULANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang