Tiga Puluh Tiga : Pria Gila

251 22 0
                                    

Kelihatannya memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari Farzan. Sifat arogan dan seenaknya sendiri khas Farzan sudah kembali seperti biasa. Bukankah itu pertanda bahwa pria itu baik-baik saja? Lihat saja bagaimana dia bangun menekan tombol darurat di dinding dekat tempat tidurnya, kemudian dengan santai mengambil ponsel yang diletakkan Arya di meja.

"Sekarang waktunya." Kata Farzan pada seseorang di sebrang telfonnya yang entah siapa. Tanpa memedulikan Aylin yang mulai merasa kesal padahal baru beberapa menit yang lalu dirinya merasa gloomy karena menceritakan masa lalunya pada pria itu. "Pastikan jadi headline di semua berita."

Karena sudah yakin keadaan Farzan baik-baik saja, Aylin memilih untuk mengambil kesempatan saat pria itu menelfon untuk kabur. Aylin sama sekali tidak merasa butuh izin Farzan untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang Guru. Meskipun pria itu sudah banyak membantu dan melindunginya, bukan berarti Farzan bisa mengatur kehidupan Aylin dengan sikap arogannya. Maaf, Aylin bukan tipe wanita penurut jika perintah yang diberikan tidak memiliki alasan yang jelas.

Aylin sudah hampir menggapai gagang pintu, saat pintu itu tiba-tiba terbuka. Sedetik kemudian dokter Akbar masuk dengan senyum hangat khas dokter ramah yang pasti disukai anak-anak. Pria itu pun kembali menutup pintu di belakangnya setelah masuk. Seakan mendapatkan perintah dari Farzan, Dokter Akbar tidak beranjak dari depan pintu. Alhasil Aylin pun tidak memiliki kesempatan untuk diam-diam membukanya dan lari dari ruangan VVIP itu.

"Senang rasanya melihatmu bangun setelah 'serangan' itu. Terutama tanpa melewati waktu bertahun-tahun di 'ranjang' khususmu." Kata Dokter Akbar tanpa beranjak dari tempatnya. "Karena aku tidak yakin, kita akan bertemu lagi kalau kamu benar-benar tertidur lama."

"Aku senang masih bisa memastikan investasiku pada penelitianmu dan rumah sakit ini tidak sia-sia." Farzan yang sudah turun dari ranjangnya menarik tiang gantungan infus dan berjalan kearah Dokter Akbar. Pria itu pun mengulurkan lengan tangannya yang diinfus pada dokter Akbar. "Lepaskan ini. Banyak hal yang harus kulakukan."

Dengan sengaja Aylin menghela nafas panjang agar terdengar oleh Farzan dan Dokter Akbar. Karena saat ini, kedua pria itu otomatis memblokir pintu dengan tubuh tinggi dan proporsional mereka. Aylin pun tidak memilki pilihan lain selain menunggu keduanya menyelesaikan urusan mereka.

"Ada apa nak?" Tanya dokter Akbar sambil menutup lubang bekas jarum infus di lengan Farzan. "Kamu tidak enak badan?"

"Tidak, dok. Saya baik-baik saja. Saya hanya ingin segera pulang karena saya harus kembali mengajar." Aylin tersenyum pada dokter Akbar sebelum beralih pada Farzan dengan raut cemberut. "Tapi ada yang berusaha menghalangi saya untuk melakukan tugas saya."

"Aku sama sekali tidak menghalangimu mengajar." Kata Farzan sambil berjalan ke meja bulat yang ada di tengah ruangan dimana Arya meletakkan kantong-kantong belanjaan dengan logo fashion terkenal diatasnya. "Aku hanya bilang kamu tidak akan pergi kemana pun. Sendiri. Karena aku akan menemanimu"

Ayliln kembali menarik nafas panjang, tapi kali ini tanpa bisa dikeluarkannya. Bagaimana tidak? Farzan dengan santainya membuka baju rumah sakit berwarna biru itu tanpa memedulikan keberadaan Aylin. Atau memang pria itu justru sangat sadar dengan keberadaan Aylin? Apapun itu, Aylin memilih memutar badannya menghadap dinding, saat seluruh kancing bajunya terlepas dan memperlihatkan dada bidang dan abs Farzan. Aylin bertekad menghitung sampai serratus sebelum kembali menghadapi pria itu. Karena Aylin yakin otaknya tidak akan berfungsi dengan baik jika dirinya berdebat sambil melihat Farzan ganti baju.

Tapi baru di hitungan ke lima puluh, Aylin mendengar bunyi pintu dibuka hingga gangangnya menghantam dinding dengan suara keras. Tanpa sadar Aylin pun berbalik melihat keributan itu dan mendapati Dhini berjalan dengan cepat berjalan kearahnya dengan kening berkerut.

BULANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang