Bagi Riho, menerima adalah opsi terbaik manakala paham bahwa ia tak memiliki kemampuan untuk menolak.
Riho menerima bagaimana mahkota di kepalanya teracak-acak. Riho menerima bagaimana kedua bahunya ditolak hingga membentur dinding dan menciptakan nyeri di setiap waktu. Riho menerima bagaimana pipinya terasa perih saat salah satu telapak tangan lain menyambanginya dengan kekuatan penuh. Riho menerima bagaimana kata-kata bertendensi caci dan maki konstan menusuk, meremas lalu menginjak-injak hatinya.
Dengan keluasan hati yang tidak lagi sempurna, Riho menerima segala hal. Semuanya, kecuali mati. Riho tak dapat mengabulkan leksikal itu, kendati seluruh orang bahkan dirinya sekalipun menginginkannya. Janji hidup setidaknya sedikit lebih lama kepada sosok wanita yang senantiasa ia panggil ibu laksana belenggu.
Riho dituntut terus menantang semesta, meski berulang kali dijatuhkan. Riho dipaksa untuk selalu menerjang dirgantara, tanpa peduli fakta kalau jiwanya kepalang terbakar bersama raga ibu yang telah menjadi abu.
Keriuhan yang tadinya mencekik mendadak enyah, tersisa cicitan dan kalimat-kalimat centil lain. Riho tak perlu mengembangkan kurioritas guna tahu siapa pembungkam suasana yang sebelumnya acak-acakan. Cukup menyaring desau percakapan yang mampir di koklea, Riho sudah paham benar.
"Tomioka, angkat kepalamu."
Kendati intonasinya benar-benar rendah mengintimidasi, kepala Riho tidak juga merespon stimulus sebagaimana mestinya. Ia masih sibuk menekuk leher, berkutat dengan isi kepalanya yang berceceran. Namun, aksi tersebut tak bertahan lama lantaran si pemilik suara kembali mengulang titah.
"Choi Riho, angkat kepalamu!">
KAMU SEDANG MEMBACA
Annasach: Bluera
Fanfiction[COMPLETED] "Untuk satu hari saja, ayo berdamai." Terhadap status dan hubungan mereka yang carut-marut, terhadap semesta, terhadap semua yang membikin mereka jatuh kemudian bangkit dengan tertatih, bersama rahasia yang bersembunyi, Choi Soobin dan T...