29

1.9K 107 1
                                    

      "Areeyata." Bu Andrea muncul dari arah tangga saat Areeyata hendak menuju toilet sebelum ia pulang.

"Iya, Bu?"

Areeyata segera menghampirinya.

Sekolah sudah nampak sepi karena sudah hampir satu jam lalu, bel pulang telah berbunyi.

"Filean sudah pulang?" tanyanya.

"Baru saja Bu." jawab Areeyata kini berdiri di hadapan wakasek di sekolahnya itu.

"Ada yang mau saya bicarakan sama kamu." Bu Andrea menarik tangan Areeyata untuk duduk di kursi jejer di depan ruangannya.

Areeyata duduk dengan bisu menunggu ucapan Bu Andrea.

"Kamu ingat teater di perayaan hari ibu minggu lalu?" ucap wanita itu.

Areeyata mengangguk sambil mengerutkan dahi.

"Saya termasuk tipekal orang yang tidak bisa bertele-tele, sama seperti kamu." Bu Andrea menyodorkan amplop kuning berpita pink pada Areeyata.

Hingga kerutan di dahi gadis itu makin dalam.

Sepertinya ada yang gak beres.

Areeyata menerima amplop itu dengan ragu.

"Kamu baca ya, nak." ucap Bu Andrea, membuat Areeyata tiba-tiba gemetar.

Ia menelan salivanya sendiri.

Saat kertas dari dalam amplop itu sudah di tangannya, ia melihat sudut kertas itu, gambar Tinker Bell.

Ini sama seperti amplop-amplop sebelumnya.

Areeyata berusaha menyembunyikan keterkejutan sekaligus kebingungannya dalam diam.

Meskipun ia paling pandai menyembunyikan perubahan ekspresi tapi tidak untuk kali ini.

Nafasnya memburu, dan tangannya gemetar untuk sekedar membuka kertas itu.

***

     Tanah kita mungkin beda tapi kau ataupun aku sama-sama pernah menginjak tanah yang sama.

Nak...

Bunda ingin-

Areeyata hampir saja melemparkan kertas di tangannya dan berlari sejauh-jauhnya dari wanita di hadapannya itu.

Tapi tangan hangat wanita itu sudah lebih dulu menangkup tengkuk beserta punggungnya.

"Areeyata ... nama yang indah untuk kamu sayang." ucapnya serak.

Areeyata merasa kemeja bagian bahunya basah.


...memelukmu sekali saja

Tapi mengapa kau begitu rapat menutup jalan masuknya.

Bunda ingin masuk nak..

Meski hanya lewat celah jendela kecil, melihatmu tumbuh cantik sudah membuat hangat hati ini,

Andai tapi hanya andai,

Bunda ingin masuk dan memelukmu erat.

Tapi tetap hanya andai.

Kau terlalu pandai membuat semuanya baik-baik saja,

Tapi Bunda ingin itu menjadi benar-benar baik-baik saja..

Mungkin tak ada lagi nama Bunda di hidupmu,

Tapi Bunda menyesal telah mengalah pada keadaan hingga harus melepasmu.

Kamu boleh marah padaku

Tapi jangan tutup jalan untuk Bunda memanggilmu anak

Kertas itu benar-benar terlepas dari tangan Areeyata.

Badannya lemas, matanya memanas, Areeyata berusaha menahan sekuat tenaga agar air matanya tak jatuh di depan orang lain.


Dengan segala egois yang dimilikinya, Areeyata mendorong tubuh wanita itu hingga terlepas peluknya.

"Maaf nak, saya tidak yakin masihkah pantas untuk kamu panggil Bund-" 

"Ibu saya sudah meninggal sejak saya kecil." Areeyata menutup telinga dan matanya.

"Areeyata, dengar bunda nak, bunda punya alasan." Bu Andrea memegang kedua telapak tangan Areeyata yang masih tidak bisa menerima apa yang terjadi di hadapannya sekarang.

"Inka, maafkan kami sudah membawa kamu ke dalam masalah kami."

Areeyata menoleh ke arah suara berat itu.

"Papa," lirih Areeyata melihat sosok bersetelan rapi dari arah belakangnya.

"Apa-apaan ini?!!!" Areeyata makin frustasi.

"Papa minta maaf, nak." papanya kini duduk bertelu di lantai.

"Apa maksudnya, pa?"

Areeyata untuk kesekian kalinya menyeka sudut matanya agar tak terlihat menyedihkan dengan menangis di depan orang lain.

"Bu Andrea memang mama kamu." kata papanya.

"Nggak, Inka gak pernah punya mama." Areeyata terus menggeleng.

"Tap-" 

"Bukan ibu, kalau tega meninggalkan anaknya sendiri di panti!! Saya gak pernah berat hidup tanpa seorang ibu, hidup saya lebih baik saat tidak pernah tau wajah itu." kata Areeyata mengeluarkan sesaknya.

"Areeyata, bunda tidak meninggalkan kamu di panti, bunda hanya menitipkan agar papa kamu menjemput kamu, nak." Bu Andrea menangis penuh sesal.

"Menitipkan?" Areeyata tersenyum getir.

"Kenapa harus ada saya di hidup kalian, kalau kehadiran saya tidak diinginkan?!" ucap Areeyata dengan sangat datarnya dan memalingkan wajahnya dari dua manusia paruh baya itu.


"Inka,"

Kupingnya telah pekak mendengar kalimat-kalimat dari orang dewasa itu, akhirnya Areeyata berhamburan lari meninggalkan tempat itu dan tak peduli dengan teriakan keduanya yang memecah heningnya koridor sekolah.


Dari balik tembok ada seringai licik yang mengumandangkan kemenangannya.

***

Heyyahhh 6 bulan berlalu bersama on going Areeyata🤭
Dengkiu buat support nya🧡🤟💃

Areeyata [END]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang