32

1.9K 93 0
                                    

       "Hai anak buangan." suara itu terdengar mengiris hati Areeyata.

Gadis itu berusaha menahan diri agar air matanya tak luruh.

Di tengah lapangan basket yang dipenuhi siswa-siswi mulai dari kelas 10 sampai 12, seorang gadis tengah berdiri di atas tribun sambil memegang megaphone.

"Jangan sampai ada ya berita anak sekolah ini yang dibuang nyokapnya, gara-gara bokapnya jadi PHO." kata nya dengan lantang.

Areeyata sama sekali tak bergeming di depan koridor kelas 10.

"Bisa jadi aib 'kan kalo sampe beritanya nyebar ke sekolah lain, bokap PHO, anaknya ya gak jauh beda lah ya pasti, pantes aja sok suci, sok manis biar orang-orang pada simpati, munak gak sih-" 

Suara itu melolong di senyapnya sekolah kala itu.

"STOOOP!!" teriak Areeyata meremas rok seragamnya.

Ia sudah berdiri di dekat kerumunan itu.

"Uwhh, ngerasa ya kalo jadi anak buangan?" ejeknya.

Areeyata menelan ludah kasar, ia menatap kosong ke tribun di depannya.

"Mau lo apa sih sebenernya?!" kata Areeyata.

"Ouh bisa ngomong juga ternyata,  berarti selama ini bullshit aja ya,sok alim banget saya-saya." ujar anak di atas tribun itu.

"Munak banget, tuh pantes buat cewek munafik kaya lo."

Mereka mulai mengerubungi Areeyata, tangan-tangan kotor itu mulai melemparkan telur, dan sebangsanya yang memiliki bau-bau tak sedap.

Sesekali satu antara mereka mendorong Areeyata hingga terjerambab di paving lapangan basket.

Langit mendung yang sejak tadi mendesak ingin turun, akhirnya jebol juga.

Rintik-rintik cukup deras itu mulai berjatuhan.

Kerumunan akhirnya berhamburan pergi mencari tempat teduh, meninggalkan Areeyata yang masih terkapar di paving sambil tertunduk.

Hujan yang mengguyur, makin lama makin deras.

Areeyata masih tidak bergeming, ia membiarkan air matanya melebur bersama air hujan.

Hingga akhirnya ia melihat sepasang sepatu muncul di hadapannya, Areeyata perlahan mengangkat kepalanya.

Ia khawatirnya itu salah satu dari siswa-siswi tadi.

Saat Areeyata baru sedikit mendongak, ia sudah dapat menangkap dengan jelas sosok yang tengah bertelu di hadapannya.

Dialah Kaile.

Cowok yang kini berlutut di bawah derasnya hujan sambil sesekali menyibak rambutnya yang cukup panjang dan lepek terkena air hujan.

"Maaf aku telat dateng." Kaile membuka jaket kulitnya dan menyelimutkannya pada Areeyata.

"Please ijinin aku nebus kesalahan aku sama kamu Ka." ujar Kaile menyeka air hujan di wajahnya.

"Balik ya?" Kaile memegang kedua bahu Areeyata yang bergetar hebat.

Ia mendekap Areeyata yang sudah sangat lemas.

Bibir tipisnya pucat sepasi wajahnya.

Kaile segera membopong Areeyata sambil membenamkan wajahnya ke dadanya agar air hujan tak jatuh langsung ke wajah Areeyata.

***

       "Kaile." suara papa Kaile terdengar mengetuk tak sabaran pintu kamar anaknya saat jam sudah menunjukkan pukul 11 malam.

"Ada apa, pa?" tanya Kaile yang baru saja terlelap.

"Keluar dulu, ada Om Melvin." sahut papanya.

"Om Melvin? Ngapain malem-malem gini?" tutur Kaile membuntuti papanya sampai ke ruang tamu.

Di sana Melvin tengah berdiri dengan air wajah cemas.

"Kaile, Kaile, kamu tau Inka dimana?" semprot Melvin langsung mendekat saat melihat Kaile dan papanya.

"I-Inka, om?" kaget Kaile.

"Memangnya Inka belum pulang Om? Tadi saya yang antar dia pulang dari sekolah." lanjut Kaile.

"Tapi Bi Jah bilang, Inka belum pulang, waktu pagipun gak ada yang tau dia berangkat ke sekolah." ujar Melvin.

"Kalo gitu, aku ikut nyari Inka, boleh kan pa, mi?" izin Kaile yang berdiri di ruang tamu bersama kedua orang tuanya.

"Kamu besok sekolah Kaile." ucap Melvin.

"Gapapa om, Kaile ambil kunci mobil dulu."

Lalu Kaile pergi ke kamarnya.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

       "Teman Areeyata, siapa ya yang paling deket sama dia?" dialog Melvin.

"Kaile kurang tau om." jawab Kaile yang nyatanya semobil dengan Melvin karena Melvin tidak mengizinkan Kaile berkendara sendiri.

"Oh Filean, mudah-mudahan dia tau dimana Inka, kamu tau nomornya Filean?" tanya Melvin.

"Kaile belum join grup kelas om." ucap Kaile.

"Oh coba kamu hubungi pake HP om." tunjuk Melvin kearah dashboardnya tempat ponselnya diletakkan.

"Kaile gimana? Filean masih aktif gak?" tanya Melvin.

"Masih om." Kaile mengangguk.

"Tapi belum dibaca, kayanya udah tidur." ucap Kaile.

"Kerumahnya aja kali ya?" tutur Melvin.

"Om tau rumahnya Filean? " tanya Kaile, pria itu hanya mengangguk.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

       Saat tiba di depan gerbang rumah Filean, Kaile turun untuk menekan bel.

"Kaile, ini Filean baru balas, dia gak tau Inka dimana." dari jendela mobilnya, Melvin menunjukkan layar ponselnya.

"Om Melvin, Kaile, setau saya tadi siang Areeyata gak ikut pendalaman." ucap Filean membuka gerbang.

"Loh gue kira Inka gak ke kelas karena pendalaman." kata Kaile.

Filean menggeleng.

"Om sudah coba telfon?" tanya Filean.

"Kayanya dia memang sengaja gak bawa HP." jawab Melvin.

"Saya bantu cari ya om." ucap Filean.

"Jangan Yan, jangan, sudah malam, orang tua kamu pasti gak ijinin, kalau kamu mau bantu, besok saja."

"Lagi gak ada orang di rumah kok om, lagi keluar kota, saya bantu cari aja ya om."

"Jangan, sudah malam Yan." larang Melvin lagi.

"Kalo gitu saya bantu tanyakan sama temen-temen ya om." tawar Filean.

"Iya makasih ya Yan, maaf om ganggu kamu malam-malam." ujar Melvin.

"Gapapa kok om, kalo ada perkembangan kabarin Filean ya om." ucapnya melihat Melvin dan Kaile mulai naik ke Alphard hitam itu.

"Pasti, pamit dulu ya Yan." kata Melvin lalu pergi.

"Cabut dulu ya." pamit Kaile mengangkat sebelah tangan sebagai pamitnya.

***

🤟🤟

Areeyata [END]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang