dua puluh enam

161 5 0
                                    

Matahari mulai meredup, siap berganti tugas dengan sang bulan. Hari mulai semakin larut, tapi gadis mungil itu masih setia duduk di halte selama kurang lebih 2 jam, menunggu angkutan umum. Sebenarnya ia bisa saja meminta jemput pada abangnya tercinta, tapi sayang batrai ponselnya habis benar-benar sial. Pikir gadis itu.

Halte begitu sepi, hanya gadis itu yang duduk sendirian ditemani teh kotak yang sesekali ia sedot, mungkin karna sudah hampir larut menjelang maghrib. Saat gadis itu masih sibuk bergelut dengan pikirannya, panggilan seseorang berhasil membuyarkan lamunannya.

"Mei..." Panggil orang itu.

Mei menoleh. "Lo sya ngapain masih disini?"

Arsya tertawa kecil. "Harusnya gue yang tanya gitu, lo ngapain masih disini?"

Raut wajah mei seketika berubah jutek. "Bukan urusan lo."

Arsya tertawa ngakak. "Muka lo tolong dong kondisikan anjir."

"Apaan sih, gaada yang lucu. Gausah ketawa!"

"Ada yang lucu haha"

"Apa yang lucu jayus lo"

"Lo"

"Dih, gaada uang receh gue sya maap haha"

"Gue serius lo lucu kalo lagi sebel."

"Gembel lo receh."

"Gombal." Ralat arsya.

"Nah itu maksud gue haha" Tawa mei renyah.

"Pulang bareng ya." Ajak arsya tiba-tiba.

"Itu pertanyaan kok berasa perintah ya." Sebel mei lagi.

"Emang perintah bukan pertanyaan hahah"

"Kalo gue ga mau gimana?"

"Yaudah ga maksa." Ujar arsya seraya melangkah kembali menuju motor besarnya.

"Ih jadi cowok ga peka banget sih." Pekik mei, saat arsya hendak memakai helmnya.

Arsya terkekeh. "Cewe gitu ya. Lain di hati, lain di mulut."

Mei membrengut. "Cowo gitu ya, ga peka. Bujuk kek apa kek, ah dasar manusia ter ga peka sepanjang masa."

"Cowo tuh bukan game GTA, yang musti dikodein. Terus terang aja kali gausa gengsi, bikin rumit."

"Jawab aja terus jawab, sebel gue sama lo."

"Yauda karna gue orangnya peka gue tanya sekali lagi, mei mau pulang bareng ga?" Ucap arsya menahan tawa.

"Yaudah iya, lo yang maksa ya." Kata mei seraya menaiki boncengan motor arsya.

Arsya geleng-geleng kepala. "Dasar gue ga maksa tau."

Mei mendengus. "Iyain aja kek, bikin gue seneng dapet pahala nyaho."

Motor besar arsya pun mulai melaju membelah jalanan ibu kota yang padat. Tidak membutuhkan waktu lama, mereka sudah sampai di depan pagar rumah minimalis mei. Mei pun segera turun dari motor besar arsya.

"Udah sana balik hush hush sana..." Ujar mei seraya mengibas-ngibaskan tangannya.

"Dasar manusia kebanyakan duduk gini nih, jadi gatau diri tuh." Ketus arsya.

"Bacot lu ah, mending gue masuk. Btw thanks ya!" Ucap mei seraya membalikan badan, hendak membuka pagar rumahnya.

"Masuk sih masuk mei, tapi helm gue ga usah di bawa juga kali." Ujar arsya seraya terkekeh yang di balas pelototan dari mei, dan helm yang di berikan dengan kasar.

"Nih...udah balik sonoh lu, bikin mood gue tambah ambyar aja."kesal mei seraya memberikan helmnya pada kedua tangan arsya.

"Iye iye... ini gue balik ah, bawel lo udah kaya macan betina ga dikasih jatah aja." Ucap arsya dan segera pergi mengendarai motornya, meninggalkan mei yang merah padam menahan kekesalannya.

"Ngomong kasar boleh ga si?" Tanya mei pada dirinya sendiri.

"Gaboleh lah."

"Ah sekali mah gapapa hampura weh."

"Bangsat emang si arsya, minta gue sembelih."

"Astagfirulah mei yang solehah ini berkata kasar karna arsya ya allah, jadi arsya aja yang dosa, mei jangan. Mei ikhlas ridho lilahitaalla, kalo si curut itu yang tanggung dosa mei ya allah."




Jangan lupa vote and komen ya hargai author tq.

meiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang