37. Terbongkar Sudah

343 29 2
                                    

Tiga hari telah berlalu. Saatnya untuk kembali beraktivitas seperti biasa. Keadaan memang belum membaik sepenuhnya. Apalagi di malam hari itu setelah periksa dan mendapat pernyataan baru lagi. Sebetulnya ia sangat terpuruk, benar-benar sedih. Perasaan takut yang selalu menghantui.

Kini impian dan cinta serasa menjauh perlahan. Mereka seperti melambaikan tangan selamat tinggal untuk Syifa, berjuang sendirian. Apa yang akan dicapai lagi? Seperti tidak ada harapan baik lagi untuknya.

Gadis itu kini berjalan menyusuri koridor kelas dengan tatapan kosong. Setiap ada teman menyapanya yang mengenalinya ia abaikan. Membuat setiap mereka yang menyapa menampilkan tatapan heran. Tidak biasanya seperti itu. Namun dari sisi Syifa sendiri, gadis itu memang benar-benar tidak ngeh. Matanya memang masih melihat ia berjalan menuju kelas namun kosong. Paham kan maksudnya?

"SYIFA?!" Elina memekik begitu Syifa sampai di ambang pintu. Beberapa murid yang sudah berdatangan pun seketika menoleh kearah Syifa dengan tersenyum. Lalu setelahnya ia memeluk girang gadis itu. "Akhirnya lo udah masuk. Gue kangen banget tau, Syifff,"

Gadis itu tersenyum simpul. Wajah dan bibirnya masih terlihat sedikit pucat. Ia memaksakan untuk kembali sekolah, karena tak bisa dipungkiri juga bahwa ia juga rindu dengan sahabat-sahabatnya. Gadis itu hanya menuruti Elina yang mempersilahkannya duduk.

"Tapi lo seriusan, Syif, udah sembuh? Wajah lo masih pucet," Elina memperhatikan Syifa dengan khawatir. Gadis itu mengangguk senyum.

"Gue juga kangen sama kalian. Nggak mau lama-lama dirumah, El. Suntuk. Kalo sama kalian seenggaknya rasa sakit gue bisa berkurang," Syifa tersenyum pucat. "Oh iya, ada PR nggak kemarin?"

"Ada. Geografi. Tenang aja, punya lo udah gue tulisin, nih. Lo tinggal ngumpulin aja," ucap Elina sembari mengambil selembar kertas yang terselip di buku lks geografi nya, lalu memberikannya kepada Syifa.

"Elina baikk bangettt. Niat banget sampek nyalin jawaban lo buat gue. Mana banyak bangett, Ell. Makasih banyakk yaa,"

"Gue gabut banget, Syif, semalem. Pengen nulis-nulis gitu tapi nggak tau mau nulis apa. Yaudah lah gue salin aja jawaban gue buat lo,"

"Makasih ya, El. Lo baik banget."

"Apasih yang nggak buat cipaaku cayanggg," peluk Elina.

-

Suara decitan sepatu saling menggema begitu jam istirahat tiba. Seperti biasa, mereka cepat-cepat untuk sampai ke kantin agar tidak kehabisan makanan. Kali ini Syifa makan dengan bekal yang dibawakan Martha tadi pagi. Ia juga tidak ingin ke kantin. Membayangkan betapa ramainya murid membuatnya pusing. Tapi ia tidak hanya sendiri di kelas. Ada Angga dan Elina yang ikut gabung dengannya. Tak lama kemudian, Manda, Arnold dan Bryan juga datang ke kelasnya ikut bergabung. Ia senang hari ini. Semua sahabatnya berkumpul dengan jajanan nya masing-masing lalu saling bercanda tawa. Tak jarang suara gelak tawa terdengar dari luar kelas. Hal seperti ini yang membuat Syifa ingin menangis. Mempunyai sahabat baik seperti mereka rasanya tidak ingin meninggalkan mereka. Rasanya ingin terus bersama mereka sampai akhir hayat.

Gadis itu segar menyeka air mata sebelum ada yang tau jika ia meneteskan air mata. Namun tanpa ia sadari, Angga kekasihnya melihat itu. Kening nya berkerut seakan bertanya kenapa. Namun ia tepis pertanyaan-pertanyaan yang menjanggal itu dulu. Ia masih bersama teman-teman lain. Tidak enak jika membahas ini didepan mereka.

-
Hari ini Angga sudah meminta izin kepada Martha untuk mengantar anak gadis nya pulang dengan mobil pribadinya. Ia tidak menyetir sendiri, kali ini dia dengan supirnya.

"Angga, makasih, ya, udah nganterin aku pulang. Mau mampir dulu?"

Angga tersenyum. "Boleh?"

"Kenapa nggak boleh. Yuk,"

Surat Untukmu [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang